Direksi merupakan salah satu Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengurusan sehari-hari atas Perseroan. Berdasarkan Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja dinyatakan, bahwa “Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar”. Definisi sebagaimana di atas menunjukkan bahwa Direksi memiliki tanggung jawab yang besar dalam pengurusan Perseroan. Maka dari itu, perlu adanya perlindungan hukum bagi Direksi dalam menjalankan pengurusannya terhadap Perseroan. 


Mengingat dalam bisnis, Direksi akan dihadapkan dengan adanya potensi kerugian yang dialami oleh Perseroan. Meskipun Direksi sudah menjalankan pengurusan Perseroan dengan hati-hati dan atas dasar itikad baik, tidak menjamin sebuah Perseroan terhindar dari kerugian. Di sinilah doktrin business judgement rule hadir untuk memberikan perlindungan hukum terhadap para Direksi. 


Apa Itu Doktrin Business Judgement Rule?

Dalam konteks Pertanggungjawaban Direksi, Academic Dictionary and Encyclopedia mendefinisikan business judgement rule sebagai doktrin hukum yang mengajarkan bahwa direksi tidak bertanggung jawab kepada Pemegang Saham karena suatu keputusan atau tindakan bisnis yang berakibat kerugian terhadap Perseroan sepanjang keputusan tersebut masih dalam lingkup kewenangannya, berdasarkan itikad baik tanpa adanya konflik kepentingan, jujur dan rasional, dan tindakan tersebut dilakukan semata-mata untuk kepentingan Perseroan. Angela Schneeman juga menyatakan bahwa business judgement rule adalah sebuah perlindungan hukum bagi Direksi atas keputusan yang diambilnya apabila didasarkan pada itikad baik, ketiadaan konflik kepentingan, rasionalitas dan semata-mata untuk kepentingan perusahaan.


Doktrin business judgement rule berasal dari negara dengan sistem hukum Anglo Saxon dan berakar pada prinsip fiduciary atau tanggung jawab Direksi perusahaan. Apabila prinsip fiduciary duty sudah dilaksanakan oleh Direksi, kerugian yang timbul akibat keputusannya tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada Direksi. Prof. Dr. Ridwan Khairandy dalam bukunya Hukum Perseroan Terbatas turut menuturkan bahwa dengan adanya doktrin business judgement rule, dapat diasumsikan pengadilan tidak dapat membuat sebuah keputusan bisnis lebih baik dari pada Direksi dikarenakan para hakim biasanya tidak memiliki kemampuan bisnis.  


Dalam konteks hukum positif Indonesia, doktrin business judgement rule telah diimplementasikan dalam Pasal 97 ayat (5) UU Perseroan Terbatas yang menjelaskan bahwa Direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerugian perusahaan apabila Direksi dapat membuktikan beberapa hal, yaitu:

a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; 

b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; 

c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan 

d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.


Penerapan Doktrin Business Judgement Rule 

Kasus dugaan korupsi yang menyeret nama mantan Direktur Pertamina Karen Agustiawan adalah salah satu kasus yang dalam putusannya menerapkan doktrin business judgement rule. Sebelumnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Putusan Nomor 15/Pid.Sus-TPK/2019/PN Jkt.Pst. dan Pengadilan Tinggi Jakarta melalui Putusan Nomor 34/Pid.Sus-TPK/2019/PT.DKI menyatakan bahwa Karen Agustiawan melakukan tindak pidana korupsi. Namun, pada tingkat kasasi, melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 121 K/Pid.sus/2020, hakim menyatakan bahwa Karen Agustiawan dinyatakan bebas dari seluruh tuntutan hukum karena tindakannya semata-mata bertujuan untuk mengembangkan perusahaan dan semua kebijakan yang diambil masih sesuai dengan business judgement rule, tanpa adanya indikasi kecurangan (fraud), konflik kepentingan, pelanggaran hukum, maupun kesalahan atas dasar kesengajaan.


Demikian artikel mengenai Doktrin Business Judgement Rule, semoga bermanfaat!


Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.

Direksi adalah organ penting dalam Perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan sehari-hari demi kepentingan dan tujuan perusahaan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas. Dalam menjalankan tugasnya, Direksi bisa menghadapi risiko kerugian meskipun telah bertindak dengan itikad baik dan kehati-hatian, sehingga diperlukan perlindungan hukum melalui doktrin business judgement rule. Doktrin ini menyatakan bahwa Direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas keputusan bisnis yang merugikan perusahaan selama keputusan tersebut diambil dalam lingkup kewenangan, tanpa konflik kepentingan, dan untuk kepentingan perusahaan. Di Indonesia, prinsip ini diadopsi dalam Pasal 97 ayat (5) UU Perseroan Terbatas dan telah diterapkan dalam kasus Karen Agustiawan, di mana Mahkamah Agung membebaskannya dari tuntutan hukum karena keputusannya dianggap memenuhi syarat business judgement rule.

Referensi

Khairandy, Ridwan. Perseroan Terbatas: Doktrin, Peraturan Perundang-Undangan, dan Yurisprudensi. Yogyakarta: Kreasi Total Media Yogyakarta, 2009.

Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas. UU Nomor 40 Tahun 2007, LN Tahun 2007 No. 106, TLN No. 4756, sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, LN Tahun 2023 No. 41, TLN No. 6856. 

Mahkamah Agung. Putusan Kasasi No. 121 K/Pid.sus/2020. RI melawan Karen Agustiawan (2020).

Hertiawan, Eri. “Penerapan Doktrin Business Judgment Rule di Indonesia.” Hukumonline. 12 September 2024. Tersedia pada https://www.hukumonline.com/klinik/a/penerapan-doktrin-ibusiness-judgment-rule-i-di-indonesia-lt62565dbe855a0/. Diakses pada tanggal 8 Mei 2025.