Dalam dinamika hubungan antarnegara, isu pemberian suaka sering menimbulkan perdebatan hukum dan politik. Suaka diberikan kepada individu yang melarikan diri dari ancaman penganiayaan, pelanggaran HAM, atau penuntutan bermotif politik. Namun, muncul pertanyaan penting: bagaimana perbedaan antara suaka teritorial dan suaka diplomatik? Pemahaman terhadap keduanya sangat penting karena masing-masing memiliki dasar hukum, praktik, serta implikasi diplomatik yang berbeda.


Hukum Internasional Melindungi Buronan?

Banyak orang mengira buronan internasional pasti akan ditangkap di negara manapun mereka berada. Namun kenyataannya, hukum internasional justru membuka celah bagi seseorang yang dikejar negara asalnya untuk dilindungi oleh negara lain melalui mekanisme suaka. Inilah instrumen yang sering mengejutkan publik di mana seseorang yang dicap penjahat oleh negaranya belum tentu dianggap bersalah oleh negara lain bahkan bisa diberikan perlindungan resmi. Praktik perlindungan seperti ini dibedakan menjadi dua yakni, Suaka Teritorial dan Suaka Diplomatik.


Pengertian dan Dasar Hukum Suaka Teritorial

Suaka teritorial adalah perlindungan yang diberikan sebuah negara kepada seseorang yang berada dalam wilayah kedaulatannya. Para ahli seperti Oppenheim dan Starke menegaskan bahwa suaka teritorial merupakan hak penuh negara berdaulat berdasarkan pertimbangan kemanusiaan dan perlindungan terhadap penganiayaan. Dasar hukumnya terdapat dalam Pasal 14 DUHAM 1948, Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967. Dalam praktik modern, prinsip non-refoulement menjadi pilar utama, yakni larangan memulangkan individu ke negara di mana mereka terancam dengan penyiksaan atau diskriminasi berat.


Pengertian dan Dasar Hukum Suaka Diplomatik

Suaka diplomatik adalah perlindungan yang diberikan oleh suatu negara di dalam kedutaan atau fasilitas perwakilan diplomatiknya di wilayah negara lain. Oppenheim menyatakan bahwa suaka diplomatik bukan hak universal dan hanya dapat dibenarkan dalam keadaan luar biasa. Tidak seperti suaka teritorial, Vienna Convention 1961 tidak mengatur legalitas suaka diplomatik, sehingga dasar hukumnya terbatas pada kebiasaan regional seperti Konvensi Caracas 1954 yang berlaku di Amerika Latin. Oleh karena itu, praktik pemberian suaka diplomatik cenderung dipandang sebagai tindakan politik ketimbang norma hukum universal.


Praktik dan Implementasi di Berbagai Negara

Pemberian suaka teritorial telah banyak diimplementasikan, misalnya Rusia yang memberikan suaka kepada Edward Snowden atau Jerman yang menerima pengungsi Suriah. Sementara itu, suaka diplomatik memiliki contoh yang jauh lebih terbatas, seperti kasus Julian Assange yang memperoleh suaka di Kedutaan Ekuador di London, serta Chen Guangcheng yang sempat berlindung di Kedutaan AS di Beijing. Kedua contoh tersebut menimbulkan ketegangan diplomatik karena negara penerima dianggap mencampuri yurisdiksi negara tuan rumah atau negara asal penerima suaka.


Kategori Status Buronan Internasional

Status buronan internasional harus dipahami dengan membedakan secara jelas antara fugitives, refugees, dan asylum seekers, karena masing-masing memiliki konsekuensi hukum yang berbeda dalam konteks perlindungan internasional. 


a) Fugitives adalah individu yang melarikan diri dari yurisdiksi negara asal karena diduga melakukan tindak pidana dan biasanya menjadi subjek penangkapan melalui red notice Interpol; namun red notice sendiri bukan perintah internasional yang mengikat, melainkan hanya permintaan pencarian dan penahanan sementara yang tetap harus dinilai ulang oleh negara tujuan. 

b) Refugees adalah orang yang telah diakui secara resmi sebagai pengungsi karena terbukti mengalami persekusi, 

c) Asylum seekers adalah individu yang masih dalam proses mengajukan perlindungan dan belum memperoleh status pengungsi. 


Dalam mekanisme suaka, red notice tidak otomatis membatalkan hak seseorang untuk mengajukan perlindungan, karena negara pemberi suaka wajib menilai apakah tuduhan pidana tersebut benar-benar murni kriminal atau memiliki unsur politis. 


Adanya Prinsip Non-Refoulement

Prinsip kunci yang membatasi tindakan negara adalah non-refoulement, yaitu larangan untuk mengembalikan seseorang ke negara asal jika terdapat risiko penyiksaan, penghilangan paksa, persekusi politik, atau pelanggaran HAM berat, meski jika mereka berstatus buronan. Dengan demikian, penilaian terhadap buronan dalam konteks suaka tidak hanya bergantung pada status kriminalnya, tetapi juga pada perlindungan fundamental yang dijamin hukum internasional.


Relevansi Pemberian Suaka di Masa Sekarang

Saat ini, suaka teritorial tetap menjadi instrumen perlindungan yang kuat dan diakui secara global, terutama dalam konteks perlindungan pengungsi dan HAM. Negara-negara menerapkan sistem penilaian ketat untuk menimbang permohonan suaka agar tidak disalahgunakan oleh pelaku kriminal biasa. Sebaliknya, suaka diplomatik semakin jarang digunakan karena dianggap bertentangan dengan prinsip non-intervensi. Pemberiannya hanya dipertimbangkan dalam kondisi ekstrem yang berhubungan dengan persekusi politik dan pelanggaran HAM berat.



Demikian artikel mengenai Suaka Teritorial dan Suaka Diplomatik Dalam Hukum Internasional, semoga bermanfaat!

Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.


Suaka teritorial dan suaka diplomatik sama-sama memberikan perlindungan kepada individu yang terancam, tetapi berbeda dari sisi lokasi, dasar hukum, dan implikasi politiknya. Suaka teritorial diberikan di wilayah suatu negara dan diakui luas oleh hukum internasional, terutama melalui prinsip non-refoulement. Sebaliknya, suaka diplomatik diberikan di kedutaan dan tidak memiliki dasar hukum universal sehingga hanya dibenarkan dalam keadaan luar biasa. Dalam praktiknya, negara masih menilai apakah seseorang benar-benar pengungsi atau hanya buronan kriminal, termasuk mempertimbangkan red notice dan risiko pelanggaran HAM. Saat ini, suaka teritorial tetap dominan sebagai instrumen perlindungan, sementara suaka diplomatik semakin jarang digunakan karena rawan menimbulkan ketegangan diplomatik.

Referensi

Suastama, I. Gede P. N., I. N. P. Budiartha, dan I. G. A. A. Pritayanti Dinar. “Pemberian Suaka Diplomatik Berkaitan dengan Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Hukum Internasional.” Jurnal Interpretasi Hukum 4. No. 1 (2023). Hlm. 7–13.

Kusuma, Willy, dan A. C. Kurnia. “Pemberian Suaka Diplomatik dalam Pengaturan Hukum Internasional.” RIO LAW Journal 3. No. 1 (2022). Hlm. 1–14.

Tahamata, L. C. O. “Suaka Diplomatik dalam Kajian Hukum Internasional.” SASI 17. No. 2 (2011). Hlm. 83–88.

Rizki, I. N., S. Widagdo, dan Ikaningtyas. “Tinjauan Yuridis Pemberian Suaka Teritorial oleh Rusia kepada Edward Snowden dalam Perspektif Hukum Diplomatik dan Konsuler.” Brawijaya Law Student Journal 5. No. 2 (2023). Hlm. 1–15.

Turangan, M. “Aspek Hukum Tata Negara terhadap Pencari Suaka dan Pengungsi yang Menetap di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011.” Jurnal Lex Administratum 8. No. 3 (2020). Hlm. 1–12.

Muraga, A. R. “Analisis Hukum Internasional terhadap Pemenuhan Hak Pencari Suaka dan Pengungsi di Indonesia Menurut Konvensi Jenewa Tahun 1951.” Jurnal Lex Privatum 8. No. 3 (2020). Hlm. 25–38.