Jakarta – Dalam gebrakan baru kebijakan agraria, Presiden Prabowo Subianto memerintahkan Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, memangkas drastis proses penetapan tanah terlantar dari 587 hari menjadi hanya 90 hari. Keputusan ini diumumkan di Kompleks DPR, Rabu (24/9), dan digadang-gadang sebagai langkah cepat untuk mengembalikan jutaan hektar lahan nganggur kepada rakyat, sekaligus mempercepat reforma agraria yang selama ini terhambat. 


Di Kompleks DPR, Jakarta Pusat, Rabu (24/9), Menteri ATR/BPN Nusron Wahid mengumumkan percepatan proses penetapan tanah terlantar. "Karena prosesnya untuk menentukan tanah terlantar itu lama, berdasarkan PP Nomor 20 Tahun 2021 butuh waktu 587 hari. Atas perintah Bapak Presiden Prabowo, demi untuk rakyat, kami diperintah revisi. Prosesnya kami persingkat, hanya 90 hari.” Ujarnya.


Nusron menambahkan bahwa revisi aturan tersebut sebenarnya telah rampung dan kini tinggal menunggu tanda tangan Presiden Prabowo. Ia juga menegaskan komitmen pemerintah untuk menertibkan lahan-lahan berstatus Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) yang terbengkalai. 


Mengutip dari detik.com, Nusron mengakui adanya jutaan hektar tanah dengan status HGU dan HGB yang dibiarkan mangkrak. "Kita perlu jujur mengakui ada jutaan hektar tanah dengan status HGU, hak guna usaha, dan HGB, hak guna bangunan, yang kondisinya terlantar, tidak produktif, dan tidak memberikan manfaat secara optimal bagi masyarakat," ungkap Nusron dalam konferensi persnya di Kementerian ATR/BPN, Jakarta, Selasa (12/8/2025).


Pemerintah berharap kebijakan ini mampu menghidupkan kembali lahan-lahan terlantar untuk mendukung agenda reforma agraria. Tanah-tanah tersebut rencananya dialokasikan untuk kepentingan rakyat, mulai dari pertanian, ketahanan pangan, perumahan murah, sampai dengan penyediaan lahan bagi kepentingan umum seperti sekolah rakyat, dan Puskesmas.


Meski demikian, Nusron menekankan bahwa penertiban aturan lahan ini tidak berlaku bagi tanah dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) dan Sertifikat Hak Pakai (SHP). Mereka juga memastikan penertiban tidak akan dilakukan untuk lahan sawah rakyat, pekarangan rakyat, dan tanah waris. 


Kebijakan ini bak pisau bermata dua. Di satu sisi, tentu aturan ini dapat mempercepat reforma agraria dan mencegah adanya tanah mangkrak. Tetapi disisi lain, aturan ini juga berpotensi menimbulkan sengketa baru jika diterapkan secara serampangan tanpa ada mekanisme pengawasan yang ketat.


Pengamat Hukum Universitas Pamulang, Dian Eka Prastiwi, menilai bahwa dari sisi niat kebijakan, percepatan ini dibuat untuk mempercepat redistribusi aset agraria kepada rakyat, khususnya petani dan masyarakat yang membutuhkan lahan produktif. Dengan memangkas waktu, pemerintah berharap dapat mengurangi spekulasi lahan, mencegah pengangguran aset strategis, serta mempercepat pemanfaatan tanah untuk kepentingan umum seperti pertanian, perumahan, atau infrastruktur. 


Di samping itu, Dian Eka  juga mengingatkan bahwa kebijakan ini berpotensi menimbulkan ketidakadilan prosedural, melemahkan kepastian hukum, dan bahkan memicu konflik sosial bila tidak diiringi dengan perlindungan hak, transparansi, serta partisipasi publik yang memadai. Karena itu, pemerintah perlu menyeimbangkan percepatan dengan kehati-hatian, serta memastikan prinsip “tanah untuk rakyat” benar-benar terwujud, bukan sekadar slogan politik.


“Meskipun proses harmonisasi revisi PP sudah selesai dan tinggal menunggu tanda tangan Presiden, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa revisi ini melalui uji publik, konsultasi dengan pemangku kepentingan, dan kajian dampak sosial-hukum yang mendalam. Kebijakan agraria yang baik bukan hanya cepat, tetapi juga adil, partisipatif, dan berkelanjutan,” pungkas Dian Eka pada Rabu (26/9)


Pada akhirnya, percepatan pengambilalihan tanah terlantar ini akan diuji bukan di atas kertas regulasi, melainkan kenyataan di lapangan. Sejauh mana negara mampu memastikan bahwa tanah benar-benar kembali ke rakyat, tanpa melahirkan luka hukum baru yang sulit disembuhkan.


Penulis: Geria Rahma

Editor: I Gusti Ayu Agung Erlina Putri Astana