Belum lama ini, publik dihebohkan dengan kabar pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang dilakukan oleh PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara. Ribuan pekerja dikabarkan kehilangan pekerjaan dalam waktu singkat, menimbulkan kekhawatiran terhadap stabilitas ekonomi lokal dan perlindungan tenaga kerja. Kejadian ini memicu perhatian luas karena menyangkut hak-hak pekerja serta kepatuhan terhadap ketentuan hukum ketenagakerjaan di Indonesia.


Menanggapi krisis ini, Presiden Prabowo Subianto segera mengambil langkah tegas dengan melakukan mediasi dan membuka jalur pemulihan. Pemerintah menegaskan pentingnya penyelesaian yang adil melalui mekanisme hukum dan dialog sosial, serta berkomitmen untuk memberikan kesempatan kerja kembali bagi para pekerja yang terdampak. Langkah ini mencerminkan keseriusan negara dalam menjamin hak konstitusional setiap warga untuk memperoleh pekerjaan yang layak.


Pada awalnya, PHK massal di PT Sritex terjadi sebagai puncak dari krisis keuangan yang telah berlangsung selama beberapa tahun. Permasalahan bermula ketika Sritex gagal membayar utang, sehingga pada Januari 2022 dimohonkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh kreditur, yang kemudian berlanjut pada putusan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada Oktober 2024. Status pailit ini diperkuat oleh Mahkamah Agung setelah upaya kasasi dan peninjauan kembali yang diajukan manajemen Sritex ditolak. Kondisi keuangan perusahaan semakin tertekan akibat persaingan industri tekstil yang makin ketat, penurunan permintaan global, serta dampak kebijakan impor yang membuat tekstil lokal sulit bersaing dengan produk luar negeri yang lebih murah. Akumulasi masalah tersebut menyebabkan operasional Sritex tidak dapat dipertahankan, hingga akhirnya pada 26 Februari 2025 diumumkan PHK massal terhadap lebih dari 10.000 karyawan, diikuti dengan penutupan total perusahaan pada 1 Maret 2025.


Presiden Prabowo Ambil Langkah Pemulihan Tenaga Kerja

Dalam upaya pemulihan, Presiden Prabowo tidak hanya memberikan instruksi politis, namun juga menekankan pentingnya penegakan hukum ketenagakerjaan. Pemerintah mendorong penyelesaian sengketa ketenagakerjaan melalui mekanisme tripartit yang melibatkan pekerja, pengusaha, dan pemerintah. Selain itu, Presiden juga memastikan bahwa pekerja yang terdampak PHK akan mendapatkan prioritas dalam proses rekrutmen kembali, serta menjamin hak-hak normatif mereka tidak dilanggar.


Langkah Presiden Prabowo dalam pemulihan sektor ketenagakerjaan, penegakan hukum, mekanisme tripartit, prioritas bagi korban PHK, dan perlindungan hak normatif pekerja didasarkan pada pernyataan langsung Prabowo yang diucapkan dalam pidato resminya saat peringatan Hari Buruh Internasional 2025 di Monas, Jakarta.


Dalam pidatonya, Prabowo menegaskan, “Saya akan tegakkan hukum. Mereka yang mencuri kekayaan negara akan saya tindak,” serta menekankan pentingnya keadilan ekonomi dan perlindungan buruh, termasuk upah layak dan pengawasan ketenagakerjaan yang lebih ketat. Komitmen ini juga ditegaskan lewat pernyataan bahwa negara tidak boleh lepas tangan dalam persoalan ketenagakerjaan dan harus hadir untuk membela buruh


Dasar Hukum PHK dan Perlindungan Pekerja

Apabila dianalisis dari perspektif dasar hukum pemutusan hubungan kerja dan perlindungan pekerja, PHK massal yang terjadi di Sritex harus merujuk pada ketentuan hukum yang berlaku, yakni:

  • Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya Pasal 151 ayat (1) yang menyebutkan bahwa


pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja”

 

  • UU Cipta Kerja (UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perpu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang) yang memperbarui sejumlah ketentuan tentang PHK, termasuk mekanisme pemberian kompensasi dan mediasi perselisihan hubungan industrial.


 

  • Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021, sebagai aturan pelaksana, mengatur prosedur PHK, hak pekerja atas pesangon, dan bentuk-bentuk penyelesaian perselisihan hubungan kerja.


Tindakan PHK harus melalui tahapan dialog, pemberitahuan, dan bahkan pengesahan dari Dinas Ketenagakerjaan bila terjadi penolakan. Jika tidak dilakukan sesuai mekanisme, maka PHK tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum.

 

Peluang Pemulihan dan Reindustrialisasi

Pemerintah, melalui Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Perindustrian, kini merancang program reindustrialisasi dan pelatihan ulang (reskilling) bagi eks pekerja Sritex agar tetap memiliki daya saing. Insentif fiskal juga disiapkan untuk perusahaan yang bersedia mempertahankan atau mempekerjakan kembali tenaga kerja terdampak. Upaya ini merupakan bentuk nyata komitmen negara terhadap Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menjamin hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.

 

Demikian artikel mengenai PHK Massal Sritex Berakhir? Presiden Prabowo Buka Jalan Pemulihan, semoga bermanfaat!


Jika kamu sudah memahami artikel di atas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.

 

PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara, melakukan PHK massal terhadap lebih dari 10.000 pekerja akibat krisis keuangan dan kebangkrutan, yang memuncak pada penutupan perusahaan pada 1 Maret 2025. Kejadian ini memicu keprihatinan publik terkait hak pekerja dan kepatuhan hukum ketenagakerjaan. Menanggapi hal ini, Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah mediasi, menegaskan pentingnya penyelesaian melalui hukum dan dialog sosial, serta menjamin hak dan prioritas kerja kembali bagi para korban PHK. Dalam pidatonya pada Hari Buruh Internasional, Prabowo menekankan penegakan hukum dan keadilan ekonomi bagi buruh. Pemerintah juga menyiapkan program pelatihan ulang, reindustrialisasi, dan insentif bagi perusahaan yang bersedia mempekerjakan kembali tenaga kerja terdampak, sejalan dengan amanat UUD 1945.

Referensi: