AS Keluar dari Perjanjian Paris. Indonesia Bagaimana?
Krisis iklim bukan lagi sekadar isu lingkungan, tetapi juga krisis eksistensial yang mengancam seluruh kehidupan di Bumi. Masalah ini tidak hanya tentang kenaikan suhu akibat pemanasan global. Sebab krisis iklim adalah krisis eksistensial yang bila tidak diatasi dapat membuat seluruh spesies di muka bumi ini mengalami kepunahan masal akibat bencana alam, perubahan cuaca ekstrem, kenaikan permukaan air laut, tenggelamnya daratan, ancaman pangan, dan lainnya. Penyebab utama krisis iklim adalah pembakaran yang dilakukan umat manusia. Penumpukan karbon dioksida di atmosfer menyebabkan efek rumah kaca, yaitu ketika panas yang seharusnya dipantulkan kembali ke luar angkasa justru terperangkap, sehingga suhu bumi meningkat.
Kesadaran akan ancaman ini mendorong negara-negara di seluruh dunia untuk membuat kesepakatan guna mengurangi dampak perubahan iklim. Sejak pembentukan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada 1992, berbagai perjanjian internasional telah dirancang, seperti Protokol Kyoto (1997) dan Perjanjian Paris (2015). Perjanjian ini berlaku efektif ketika setidaknya 55 negara yang menghasilkan 55% total emisi gas rumah kaca dunia menyampaikan ratifikasi pada Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Indonesia termasuk salah satu di antara negara-negara yang memiliki komitmen tersebut. Hal ini terbukti ketika negara itu menandatangani Perjanjian Paris pada 22 April 2016 di New York, Amerika Serikat. Perjanjian Paris bertujuan membatasi kenaikan suhu global di bawah 2°C, dengan target lebih ambisius menekan kenaikan hingga 1,5°C dibandingkan tingkat pra-industri.
Setiap negara yang bergabung dalam Perjanjian Paris harus menetapkan Nationally Determined Contribution (NDC), yaitu komitmen nasional dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Indonesia, sebagai salah satu negara yang meratifikasi perjanjian ini pada 2016, menargetkan pengurangan emisi sebesar 31,89% secara mandiri dan 43,20% dengan dukungan internasional pada 2030. Pemerintah juga menyusun strategi jangka panjang melalui Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050 serta menetapkan target Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.
Sifatnya yang sukarela membuat kegagalan menerapkan perjanjian ini tidak memiliki sanksi tegas. Ketiadaan sanksi membuat sebagian negara-negara anggota lebih memilih memprioritaskan kepentingan nasional yang biasanya beriringan dengan kepentingan ekonomi di atas kepentingan menjaga bumi itu sendiri. Bahkan Amerika Serikat, negara penghasil emisi karbon terbesar setelah Cina, justru memutuskan keluar dari perjanjian ini.
Hal tersebut terjadi setelah Donald Trump, Presiden Amerika Serikat, menandatangani keputusan eksekutif pada tanggal 20 Januari 2025. Judul dokumennya “Putting America First in International Environmental Agreements” jelas sekali menandakan bahwa Amerika Serikat akan mengurangi perannya sebagai pemimpin global, khususnya pada masalah iklim, dan hanya fokus pada kepentingan nasionalnya. Sikap Amerika Serikat tersebut berpotensi memicu perilaku serupa dari negara-negara lain untuk meninggalkan komitmen pada isu ini. Hal tersebut akan sangat menghambat seluruh upaya selama ini.
Kondisi Konsentrasi CO2 Global dan Indonesia
Source: BMKG
Distribusi CO2 global pada wilayah daratan secara umum berada pada rentang nilai rata-rata tahunan 410 sampai dengan 416 ppm. Konsentrasi CO2 global menunjukkan pola yang bervariasi di tiap belahan bumi. Pada belahan bumi bagian selatan, konsentrasi CO2 cenderung memiliki nilai yang masih berada di interval rata-rata global pada tahun 2021. Dengan variasi yang lebih beragam, pada belahan bumi bagian utama, konsentrasi CO2 menunjukkan nilai rata-rata tertinggi yakni mencapai 423,58 ppm. Wilayah negara yang secara spasial menggambarkan pola konsentrasi yang tinggi adalah China, Amerika Serikat, dan beberapa wilayah di sekitar Saudi Arabia. Selain itu, konsentrasi dengan jangkauan rata-rata terendah, di bawah 400 ppm, tersebar pada benua antartika dan arktik.
Source: BMKG
Kondisi CO2 tahunan pada tahun 2021 pada Gambar 10 secara spasial memiliki nilai rata-rata 413,5 ppm. Sebaran konsentrasi CO2 cenderung tinggi di wilayah Kalimantan Utara, Kalimantan Tengah, Riau dan Jambi. Nilai tertinggi dari hasil pengolahan rata-rata data satelit OCO-2 NASA pada Gambar 10 berada pada nilai 416,6 ppm. Sementara itu, wilayah Papua dan Sulawesi menggambarkan sebaran yang nilainya cenderung rendah dengan nilai konsentrasi terendah pada wilayah tersebut sekitar 402,3 ppm. Namun, secara umum konsentrasi CO2 tertinggi di Indonesia masih berada di bawah konsentrasi global.
Dapat disimpulkan, data dari BMKG menunjukkan bahwa pada 2021, rata-rata konsentrasi CO2 global berada di kisaran 410 hingga 416 ppm, dengan wilayah seperti Tiongkok, Amerika Serikat, dan Arab Saudi mencatatkan angka tertinggi hingga 423,58 ppm. Sementara di Indonesia, konsentrasi CO2 tertinggi ditemukan di wilayah Kalimantan Utara, Kalimantan Tengah, Riau, dan Jambi, dengan nilai rata-rata 416,6 ppm, masih di bawah angka global.
Krisis iklim yang semakin parah membuat Sekjen PBB, dalam Climate Ambition Summit 2023, menyatakan bahwa “humanity has opened the gates of hell” (kemanusiaan telah membuka gerbang menuju neraka). Pernyataan ini menggarisbawahi urgensi tindakan nyata dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Kebijakan Iklim Indonesia: Upaya dan Tantangan
Indonesia telah menunjukkan komitmennya dengan berbagai kebijakan, di antaranya:
- Rencana Operasional FOLU Net-Sink 2030 untuk memastikan sektor kehutanan berkontribusi dalam penyerapan karbon.
- Peningkatan energi terbarukan dalam bauran energi nasional menjadi 23% pada 2025.
- Penurunan deforestasi hingga titik terendah dalam 20 tahun terakhir, dengan angka 0,11 juta ha pada 2021–2022.
- Pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang berhasil menekan luas kebakaran hutan pada 2023 sebesar 1.161.192 ha, turun 29,59% dibanding 2019.
Namun, di tengah upaya ini, keputusan Amerika Serikat keluar dari Perjanjian Paris pada 2026 menimbulkan tantangan baru. Sebagai salah satu penyandang dana utama dalam Kemitraan Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership/JETP) senilai US$20 miliar, keluarnya AS berpotensi menghambat pendanaan proyek-proyek energi terbarukan di Indonesia.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, menegaskan bahwa Indonesia tetap berkomitmen pada Perjanjian Paris. Namun, ada dilema besar antara menjaga kepentingan ekonomi dan mempertahankan komitmen lingkungan. Jika Indonesia ikut keluar, dampaknya bisa sangat serius, antara lain:
- Hilangnya kepercayaan internasional, yang dapat menghambat kerja sama lingkungan dan diplomasi global.
- Tertutupnya akses ke pendanaan hijau, seperti Green Climate Fund (GCF) yang mendukung proyek berkelanjutan.
- Menurunnya investasi asing, terutama pada sektor energi terbarukan yang diprediksi bisa menciptakan hingga 23 juta lapangan kerja.
- Dampak lingkungan yang semakin sulit dikendalikan, seperti meningkatnya bencana alam akibat perubahan iklim.
Langkah ke Depan: Memastikan Transisi yang Berkelanjutan
Saat ini, pemerintah tengah merevisi Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2024 agar tetap menargetkan 23% energi terbarukan pada 2025, tetapi masih memberikan izin bagi PLTU batubara. Ini menunjukkan adanya kompromi antara kebutuhan ekonomi jangka pendek dan ambisi lingkungan jangka panjang.
Beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan Indonesia untuk memastikan transisi energi berkelanjutan meliputi:
- Mempercepat investasi dalam energi terbarukan, seperti tenaga surya, angin, dan hidro untuk menggantikan ketergantungan pada batubara.
- Mendorong industri hijau, seperti kendaraan listrik dan teknologi ramah lingkungan, guna mengurangi emisi sektor transportasi dan manufaktur.
- Memperkuat regulasi lingkungan, termasuk memberikan insentif pajak bagi perusahaan yang menerapkan praktik rendah karbon.
- Melibatkan masyarakat dalam aksi iklim, dengan edukasi dan kampanye tentang pentingnya mengurangi jejak karbon individu dan kolektif.
- Mengembangkan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) untuk mengurangi dampak industri yang masih bergantung pada bahan bakar fosil.
Demikian artikel mengenai posisi Indonesia pasca keluarnya AS dalam Paris Agreement, semoga bermanfaat!
Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis No. 1 di Indonesia. Kunci Hukum adalah solusi dari permasalahan kamu!
Mundurnya Indonesia dari Perjanjian Paris akan menimbulkan konsekuensi serius, termasuk terputusnya bantuan keuangan internasional untuk program iklim, menurunnya kepercayaan masyarakat global terhadap kesungguhan Indonesia dalam pembangunan berkelanjutan, serta melemahnya dukungan bagi gerakan perlindungan lingkungan yang digalang oleh kelompok masyarakat sipil. Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, mempertahankan komitmen iklim bisa memperkuat kerja sama global dan mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis energi hijau. Di sisi lain, tekanan ekonomi dan politik dalam negeri bisa menggoyahkan langkah menuju transisi energi berkelanjutan. Oleh karena itu, kebijakan yang diambil harus mampu menyeimbangkan ambisi lingkungan dengan kepentingan nasional, memastikan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.
Sumber
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). (n.d.). Naskah akademik RUU ratifikasi Paris Agreement. BPHN. https://bphn.go.id/data/documents/na_ruu_ratifikasi_paris_agreement.pdf
The White House. (2025). Putting America first in international environmental agreements. The White House. https://www.whitehouse.gov/presidential-actions/2025/01/putting-america-first-in-international-environmental-agreements/
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). (2015). The Paris Agreement. UNFCCC. https://unfccc.int/sites/default/files/resource/parisagreement_publication.pdf
Worldometer. (n.d.). CO2 emissions by country. Retrieved March 20, 2025, from https://www.worldometers.info/co2-emissions/co2-emissions-by-country/
Artikel ini disusun oleh Kunci Hukum Indonesia dan Peace Conflict and Development Studies Center
Editor: Ardhana Zaky Nur Effendi
Baca Artikel Menarik Lainnya!

Apakah Perjanjian Nominee antara WNA dan WNI Sah?...
30 May 2025
Waktu Baca: 6 menit
Baca Selengkapnya →
Dosen PNS boleh Menjadi Advokat: Apa Kabar Nasib T...
30 April 2025
Waktu Baca: 3 menit
Baca Selengkapnya →
Jaringan Narkoba Internasional Terbongkar, Makassa...
21 June 2025
Waktu Baca: 2 menit
Baca Selengkapnya →