Kunci Hukum, Jakarta - Pemerintah Sri Lanka menetapkan status darurat nasional setelah bencana banjir dan tanah longsor merenggut setidaknya 334 korban jiwa. Keputusan tersebut diumumkan langsung oleh Presiden Sri Lanka, Anura Kumara Dissanayake, menyusul dampak kerusakan luas akibat cuaca ekstrem yang dipicu Siklon Ditwah.


Bencana hidrometeorologi tersebut terjadi sejak akhir November 2025 dan melanda berbagai wilayah negara kepulauan di Asia Selatan itu. Hujan berintensitas tinggi yang berlangsung berhari-hari menyebabkan sungai meluap, memicu banjir bandang, serta tanah longsor, terutama di kawasan tengah dan wilayah dataran rendah.


Presiden Dissanayake menyampaikan bahwa penetapan keadaan darurat diperlukan untuk mempercepat proses penyelamatan, distribusi bantuan, serta pemulihan infrastruktur. “Kita sedang menghadapi bencana alam terbesar dan paling menantang dalam sejarah negara ini,” kata Dissanayake dalam pidatonya kepada publik, Senin (1/12/2025), dikutip dari Detik.com. Ia juga menegaskan komitmen pemerintah untuk membangun kembali wilayah terdampak secara lebih tangguh ke depan.


Data terbaru dari Disaster Management Centre (DMC) menunjukkan hampir 400 orang masih dinyatakan hilang. Selain korban jiwa, bencana ini berdampak pada kehidupan lebih dari 1,3 juta penduduk. Sebanyak 20.000 hingga 200.000 rumah dilaporkan rusak atau hancur berdasarkan pendataan awal dari berbagai wilayah, sementara lebih dari 108.000 warga terpaksa mengungsi ke tempat penampungan sementara yang dikelola pemerintah.


Hujan ekstrem yang memicu banjir bandang dipicu oleh Siklon Ditwah yang melanda pantai timur Sri Lanka. Kendati siklon telah bergerak menjauh, intensitas hujan di wilayah hulu masih tinggi sehingga memperparah kondisi banjir. “Meskipun siklon telah meninggalkan wilayah kami, hujan deras di daerah hulu kini menyebabkan banjir di kawasan dataran rendah di sekitar Sungai Kelani,” ujar seorang pejabat DMC, dikutip dari Al Jazeera melalui Tempo.co.


Tidak hanya sektor perumahan, fasilitas publik turut terdampak. Sekitar sepertiga wilayah Sri Lanka dilaporkan mengalami gangguan pasokan listrik dan air bersih akibat jaringan utilitas yang rusak serta instalasi pemurnian air terendam banjir. Layanan komunikasi dan internet juga terputus di sejumlah daerah, memperlambat proses penyaluran bantuan dan pendataan korban.


Untuk menangani situasi darurat, pemerintah mengerahkan lebih dari 24.000 personel gabungan dari kepolisian, angkatan darat, laut, dan udara guna menjangkau warga yang terisolasi, membuka akses jalan, dan melakukan evakuasi menggunakan perahu maupun helikopter militer. Operasi ini masih terus berlangsung seiring potensi hujan lanjutan dalam beberapa hari ke depan.


Presiden Sri Lanka juga secara resmi meminta dukungan internasional. Sejumlah negara, termasuk India, Pakistan, dan Jepang, telah merespons dengan mengirimkan bantuan logistik, tenaga medis, serta sarana penyelamatan. Pemerintah turut mengimbau warga Sri Lanka di luar negeri untuk berpartisipasi memberikan donasi kemanusiaan.


Peristiwa siklon ini menempati posisi sebagai bencana alam yang serius di Sri Lanka sejak 2017. Sementara itu, peristiwa ini menjadi bencana banjir terburuk sejak tahun 2003 dengan jumlah korban meninggal mencapai 254 orang. Hingga kini, upaya pencarian korban, pemulihan layanan dasar, serta pendataan kerugian masih terus dilakukan di bawah koordinasi status darurat nasional.


Penulis: Fuji Mayumi Riyenti

Editor: Kayla Stefani Magdalena Tobing