Dunia game online kini dihuni oleh jutaan pemain dan percakapan yang saling bersilangan tanpa henti. Di balik ramainya dinamika yang tampak menyenangkan itu, muncul celah interaksi yang perlahan dimanfaatkan oleh oknum pelaku kejahatan yang menargetkan anak sebagai sasarannya. Siapa yang sesungguhnya mampu memastikan bahwa ruang bermain digital ini tetap aman bagi mereka?


Sistem moderasi platform, pengawasan orang tua, dan aturan hukum seringkali berjalan tidak seimbang sehingga banyak ancaman justru luput terdeteksi. Pelaku cyber child grooming terus beradaptasi dengan fitur baru, komunitas baru, dan pola komunikasi yang membuat mereka semakin sulit dikenali. Maka timbullah satu pertanyaan yang kian mendesak dijawab: masihkah dunia game online layak disebut ruang bermain yang aman bagi anak?


Jejak Halus Child Grooming yang Bermuara dalam Ruang Bermain Digital

Modus grooming biasanya dimulai dari percakapan sederhana yang dipenuhi pujian, perhatian, dan kedekatan emosional untuk membuat anak merasa aman. Penelitian David Finkelhor pada tahun 2022 menunjukkan bahwasannya predator digital memanfaatkan kebutuhan afeksi dan rasa ingin tahu dari anak sebagai pintu masuk manipulasi.


Banyak kasus menunjukkan bahwa permainan game secara daring memberi ilusi persahabatan yang membuat anak sulit membedakan teman dari pelaku. Data United Nations Children's Fund (UNICEF) tahun 2023 mengungkapkan bahwa lebih dari 45 persen anak Indonesia pernah menerima pesan yang tidak pantas saat online, suatu indikasi bahwa risiko tersebut nyata dan telah tersebar secara luas. 


Tanggung Jawab Platform Game yang Belum Berpihak Penuh pada Keamanan Anak

Sebagian besar platform game masih mengandalkan moderasi otomatis yang tidak mampu membaca konteks psikologis dan pola manipulatif dalam percakapan. Model bisnis yang mendorong interaksi panjang membuat celah grooming semakin mudah dimanfaatkan pelaku.


Padahal, UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menegaskan kewajiban setiap pihak, termasuk dunia usaha, untuk memastikan anak terlindungi dari kekerasan dan eksploitasi dalam bentuk apa pun. Laporan Kominfo yang mencatat jutaan konten berbahaya yang diblokir setiap tahun memperlihatkan bahwa skala ancaman jauh lebih besar daripada kapasitas pengawasan yang tersedia.


Eksistensi Hukum yang Belum Mampu Mengimbangi Kecepatan Ancaman Digital

Walaupun UU Perlindungan Anak telah mengatur sanksi berat terhadap eksploitasi seksual, regulasi terkait child grooming dalam game online masih membutuhkan penajaman khusus. Tantangan teknis seperti bukti percakapan yang mudah hilang dan pelaku lintas negara membuat aparat sering kesulitan menindak kasus dengan cepat.


Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat bahwa laporan kekerasan daring pada anak terus meningkat setiap tahun, namun banyak kasus tidak berlanjut ke proses hukum karena minimnya alat bukti digital yang valid. Hal ini menunjukkan perlunya penguatan prosedur forensik digital, kewajiban pencatatan data minimal oleh platform, dan koordinasi lintas lembaga agar penegakan hukum menjadi lebih efektif. 


Langkah Kolektif untuk Mengubah Ruang Game Menjadi Tempat Bermain yang Aman Kembali

Pendidikan literasi digital bagi anak dan orang tua perlu diperluas agar tanda bahaya dapat dikenali sejak tahap awal. Pemerintah, industri game, dan lembaga masyarakat dapat menyusun pedoman bersama yang mewajibkan fitur pelaporan instan yang ramah anak serta mekanisme intervensi cepat.


Save the Children menekankan pentingnya ekosistem perlindungan yang melibatkan komunitas pengguna sehingga keamanan anak bukan hanya tugas negara tetapi gerakan bersama. Dengan peningkatan moderasi berbasis kecerdasan buatan, dukungan psikologis bagi korban, dan standar perlindungan wajib bagi platform, ruang bermain digital dapat kembali menjadi lingkungan yang aman bagi anak.



Demikian artikel mengenai Maraknya Cyber Child Grooming: Masihkah Dunia Game Online Layak Disebut Ruang Bermain yang Aman bagi Anak? semoga bermanfaat!

Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.


Referensi

Buku

Winters, Georgia M. dan Jeglic, Elizabeth L. Sexual Grooming: Integrating Research, Practice, Prevention, and Policy. Berlin: Springer Nature, 2022.

Jurnal

Finkelhor, David dan Turner, Heather. “Prevalence of Online Sexual Offenses Against Children in the US.” JAMA Network Open 5, no. 10 (2022): 1-11. https://doi.org/10.1001/jamanetworkopen.2022.34471.  

Ramawan, Rayhan Rizky dan Zaky, Muhammad. “Analisis Kejahatan Siber (Cyber Child Grooming) Pada Game Online Roblox.” Innovative: Journal of Social Science Research 5 no. 4 (2025): 1656-1669. https://doi.org/10.31004/innovative.v5i4.20325

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 35 Tahun 2014. LN Tahun 2014 No. 297 TLN No. 5606.

Artikel Webpage

Jannah, Rikhul. “45 Persen Anak Jadi Korban Perundungan Lewat Chatting.” nu.or.id, 20 November 2025. Tersedia pada:   https://nu.or.id/nasional/45-persen-anak-jadi-korban-perundungan-lewat-chatting-WEMq4. Diakses pada 29 November 2025.

KPAI, Humas. “Tingginya Angka Anak Yang Terlibat Dalam Dunia Digital: KPAI desak Presiden Segera Mengesahkan Peraturan Pemerintah Tentang TKPAPSE.” kpai.go.id, 2 Desember 2024. Tersedia pada: https://www.kpai.go.id/publikasi/tingginya-angka-anak-yang-terlibat-dalam-dunia-digital-kpai-desak-presiden-segera-mengesahkan-peraturan-pemerintah-tentang-tkpapse. Diakses pada 29 November 2025.