Sumber: rri.co.id
Implikasi dan Peran Pemerintah Terhadap Kebijakan Penambahan Etanol Pada BBM
ISU PENAMBAHAN ETANOL
Pada akhir bulan September hingga awal Oktober lalu, mencuat pemberitaan mengenai batalnya pembelian bahan bakar minyak (BBM) oleh perusahaan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) swasta yakni PT Vivo Energy Indonesia dan PT Aneka Petroindo Raya kepada Pertamina. Usut punya usut, hal tersebut terjadi dikarenakan di dalamnya ditemukan kandungan etanol sebesar 3,5%. Padahal perjanjian yang disepakati kedua pihak adalah base fuel (BBM murni/mentah, tanpa pewarna/dyes, dan zat adiktif). Pembatalan yang dilakukan pada tanggal 26 September 2025 oleh kedua perusahaan swasta diketahui membuat pembelian base fuel sebanyak 40 ribu barel oleh PT Vivo Energy Indonesia urung dilakukan.
Meski batal dibeli oleh perusahaan swasta, pemerintah pada pemberitaan bulan Oktober minggu kedua mencanangkan kebijakan pemberlakuan etanol (E10) pada BBM dalam kurun waktu tiga tahun ke depan. E10 sendiri merupakan BBM yang berisi campuran 90% bensin dan 10% etanol. Dilansir dari BBC Indonesia, Bahlil Lahadalia selaku Menteri ESDM mengatakan mandatori pencampuran etanol 10% telah disetujui oleh Presiden Prabowo. Etanol tersebut nantinya akan diproduksi dengan bahan baku tebu dan singkong serta dalam mengimplementasikan secara riil dibutuhkan lahan yang luas.
Faktanya, kebijakan E10 turut masuk menjadi bagian PSN di pemerintahan Prabowo–Gibran untuk mendukung swasembada energi. Hal tersebut tidak serta merta hanya mendatangkan keuntungan sebagai dampak positif melainkan juga sebaliknya, baik dari sisi etanol itu sendiri ataupun implikasinya. Penggunaan lahan yang diperlukan berhadapan dengan masyarakat adat selaku pemilik sah dari tanah adat, membuat pemerintah secara turun temurun menggunakan pola kreatif agar realisasi tetap berjalan.
Dalam pembuatan aturan tersebut pun pemerintah membuat kebijakan tanpa adanya konsultasi publik yang memadai. Sejatinya konsultasi publik yang memadai tercermin dengan adanya RDPU bersama DPR, DPD, dan perwakilan masyarakat sebagai bentuk minimum implementasi dari asas meaningful participation UU 13/2022. Dengan demikian tidak terpenuhinya asas meaningful participation yang merupakan syarat dari kebijakan yang demokratis perlu adanya pengkajian kembali, serta termuatnya berbagai problematika yang ada pada saat pengambilan kebijakan yang tidak mengedepankan transparansi publik sehingga pengkajianya perlu memperhatikan UU 13/2022 dan UU 30/2014.
FAKTA-FAKTA
a) Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Eniya Listiani, memprediksi pada 2028 atau lebih cepat dapat dilakukan mandatori E10 dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XII DPR RI di Jakarta pada Hari Selasa tanggal 11 November 2025.
b) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyebutkan Presiden Prabowo Subianto setuju dengan campuran etanol 10% dengan bensin murni. Bahlil juga menambahkan kebijakan mandatori E10 dilakukan agar tidak terlalu banyak mengimpor dan membuat minyak yang bersih dan ramah lingkungan. Hal ini dinyatakan dalam detikSore on Location di Sarinah pada hari Selasa tanggal 7 November 2025.
c) E10 adalah produk bensin yang mencampurkan bensin murni dengan bahan bakar etanol sebanyak 10 %. Etanol sendiri merupakan bahan bakar alternatif yang dihasilkan dari fermentasi gula dari bahan tanaman seperti jagung dan tebu
d) Pencampuran etanol ke dalam bensin telah diterapkan di sejumlah negara karena E10 dinilai dapat membantu proses pembakaran mesin yang lebih maksimal. Dari beberapa pengujian dan analisis juga disimpulkan bahwa bensin yang dicampur dengan etanol meningkatkan performa mesin dan mengurangi konsumsi bahan bakar.
e) Di sisi lain, bensin yang mengandung 10% etanol dapat menimbulkan risiko kepada pemilik kendaraan bermotor berbahan bakar bensin dikarenakan etanol dapat merusak bagian selang saluran bensin dan memunculkan karat di bagian dalam tangki. Selain itu, terdapat risiko pemborosan konsumsi bahan bakar dikarenakan tingkat energi pada etanol lebih rendah dibandingkan BBM murni.
f) Penggunaan E10 di negara lain umumnya dibarengi dengan kesiapan teknologi dan kompabilitas kendaraan. Sedangkan di Indonesia, sebagian besar kendaraan yang beredar belum seluruhnya kompatibel dengan campuran etanol.
g) Kebijakan E10 ini berawal dari perancangan pemerintah yang melakukan proyek swasembada gula dan penyediaan bioetanol dan didasarkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel). Peraturan tersebut bertujuan untuk mempercepat swasembada gula nasional dan penyediaan bioetanol sebagai bahan bakar nabati (Biofuel). Untuk mendukung hal tersebut, disebutkan juga dalam peraturan tersebut berupa penugasan kepada PT Perkebunan Nusantara III untuk memperluas area perkebunan paling sedikit seluas 179.000 hektar. Hal ini direalisasikan dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) di tahun 2024 dengan membangun beberapa lahan untuk perkebunan gula dan industri bioetanol, salah satunya berada di Papua, yang akan membutuhkan lahan seluas 2 juta hektar di Merauke.
h) PSN ini kemudian membuat masyarakat adat bersuara dikarenakan PSN ini akan membuka beberapa lahan yang ada di Papua. Berdasarkan laporan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, masyarakat kecewa dengan beberapa tanah adat dirampas, salah satunya oleh PSN ini. Melansir dari BBC, Pada tahun ini pemerintah mengubah status PSN Kawasan Pengembangan Pangan dan Energi Merauke, Provinsi Papua menjadi Program Swasembada Pangan, Energi, dan Air Nasional. Perubahan status ini juga menyatakan adanya perluasan cakupan wilayah dan programnya, yaitu di Merauke, Mappi, Asmat, dan Boven Digoel. Salah satu masyarakat Adat, Yakobus Mahuze, menyatakan bahwa ia telah melepas 5.000 hektar tanah adatnya bersama marga lain untuk dibuka dan diubah menjadi kebun tebu sebagai bagian dari PSN. Penyerahan ini pun juga dilakukan karena ketakutan masyarakat jika menolak untuk menyerahkan lahannya. Kemudian, Yakobus memberikan bukti akibat dari pembukaan lahan ini dengan sumber air yang sudah keruh dikarenakan bercampur dengan tanah pembongkaran hutan dan mengakibatkan ikan-ikan perlahan menghilang.
REGULASI TERKAIT
1) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan;
3) Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel);
4) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2025–2029 pada Lampiran I.
5) Instruksi Presiden RI No. 14 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembangunan Kawasan Swasembada Pangan, Energi, dan Air Nasional;
6) Peraturan Menteri ESDM No. 4 Tahun 2025 tentang Pengusahaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati.
PEMBAHASAN
A. Penggusuran Lahan Masyarakat Adat di Merauke demi Melancarkan Kebijakan E10
Etanol dalam campuran BBM sebenarnya bukan praktik yang baru ditemukan akhir-akhir ini, melainkan sudah diimplementasikan sejak lama oleh beberapa negara, seperti Amerika Serikat dengan program Renewable Fuel Standard (RFS) dan Brazil sebagai pelopor penggunaan etanol berbasis tebu. Selanjutnya, ada dari kawasan Uni Eropa, seperti Prancis, Jerman, dan Inggris yang kini menjadikan campuran E10 sebagai standar mengurangi polusi udara.
Bagaimana dengan Indonesia? Tak mau ketinggalan tren global positif untuk mengurangi emisi karbon dan juga dalam rangka mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060, Indonesia gencar mengembangkan energi terbarukan secara masif, salah satunya dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan. Contoh konkrit untuk mewujudkan hal tersebut yakni melalui kebijakan E10 yang dijadikan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), tertera dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2025–2029, tepatnya pada Lampiran I. Diketahui etanol yang akan digunakan diperoleh melalui proses fermentasi gula atau pati dari sumber nabati, seperti tebu dan singkong yang akan diterapkan di Indonesia, atau yang lebih dikenal dengan bioetanol. Kedua bahan tersebut banyak tersedia di Indonesia sehingga pemanfaatannya dapat dioptimalkan dan berpotensi memperkuat posisi Indonesia dalam produksi bioetanol.
Munculnya kebijakan E10 juga dilatarbelakangi oleh tingginya impor BBM sehingga perlu adanya langkah preventif untuk mengurangi ketergantungan dengan cara menekan kuantitas serta dana impor. Data menunjukkan sepanjang Januari–Desember 2024, konsumsi impor BBM meningkat daripada tahun 2023 dengan sebaran, yakni dari Singapura mencapai 54,3%, Malaysia 22,12%, Arab Saudi 13,35%, dan sisanya ada dari Korea Selatan, Uni Emirat Arab, Taiwan, Rusia, Qatar, Bahrain, Yunani, Malta, Brunei, dan Irak.
Selain itu, pengembangan etanol turut menjadi strategi meningkatkan pendapatan petani, mendorong hilirisasi sektor perkebunan, dan diharapkan menciptakan kawasan pertumbuhan ekonomi baru di berbagai daerah penghasil bahan baku. Untuk merealisasikan kebijakan tersebut, Indonesia tidak sendiri, melainkan turut menggandeng Brazil untuk bekerja sama yang ditandai dengan penandatanganan memorandum of understanding pada Kamis, 23 Oktober 2025 di Istana Negara.
Terdapat dua alasan didukungnya penggunaan etanol sebagai pencampur BBM, yaitu kemampuannya menekan emisi karbon dan keunggulan teknis. Sebagai bahan bakar nabati, karbon yang dilepaskan etanol dianggap sebagai bagian dari siklus karbon yang lebih berkelanjutan dibandingkan bahan bakar fosil. Secara teknis, etanol memiliki angka oktan (RON) yang sangat tinggi, yaitu 110–120, yang pada teorinya dapat meningkatkan efisiensi pembakaran, terutama pada mesin modern yang dirancang untuk itu. Di balik klaim tersebut, E10 membawa sejumlah konsekuensi terhadap tanah dan air tanah. Etanol dapat mempercepat korosi pada tangki penyimpanan bawah tanah dan merusak komponen karet atau logam tertentu di SPBU sehingga meningkatkan potensi kebocoran. Jika kebocoran terjadi, etanol mempermudah bensin meresap lebih dalam ke tanah dan melarutkan zat beracun, seperti benzena, sehingga mencemari air tanah lebih luas serta menghambat pembersihan alami oleh mikroba.
Dari sisi penurunan emisi, manfaat E10 ternyata terbatas. Analisis siklus hidup menunjukkan pengurangan emisi gas rumah kaca oleh E10 hanya sekitar 1–5% dibandingkan bensin murni (E0). Yang lebih memprihatinkan, sebuah analisis di Australia memperkirakan biaya abatement gas rumah kaca oleh E10 hanya mencapai US$186–194 per ton CO2. Tidak hanya itu, manfaat teknis dari oktan tinggi ini pun tidak universal. Kendaraan modern dengan teknologi terbaru memang dapat diuntungkan oleh E10. Sebaliknya, bagi kendaraan lama (umumnya sebelum tahun 2000), E10 justru berisiko karena sifat etanol yang menyerap air dan korosif dapat merusak komponen sistem bahan bakar yang tidak dirancang untuknya, seperti tangki yang berkarat atau selang karet yang rapuh.
Dengan demikian, kebijakan penggunaan E10 menghadapi situasi trade-off yang kompleks. Di satu sisi, E10 menawarkan penurunan emisi yang kecil dan keunggulan teknis untuk kendaraan tertentu. Namun di sisi lain, dapat membawa risiko besar dan nyata. Oleh karena itu, pertimbangan untuk mengadopsi E10 harus dilakukan dengan matang, menimbang secara jernih agar manfaat yang didapat tidak menimbulkan dampak negatif yang lebih besar dan permanen.
1) Keterkaitan Penggunaan Etanol Dan Penggusuran Lahan Masyarakat Di Merauke
Dalam rangka melancarkan kebijakan E10, dibutuhkan lahan yang luas sebagai tempat penanaman bahan baku serta pembangunan pabrik untuk mendukung proses produksi bioetanol. Bahlil, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, menyebut akan dibangun dua jenis pabrik etanol, yakni yang berbahan baku tebu bertempat di Merauke, Papua Selatan dengan target lahan seluas satu juta hektar dan singkong pada tempat yang sedang dipetakan. Diketahui sebanyak sembilan perusahaan perkebunan tebu telah dijatah untuk mengelola sekitar 600.000 hektar lahan yang tersebar di Distrik Tanah Miring, Animha, Jagebob, Eligobel, Sota, Ulilin, dan Muting. Sebagian mulai digarap dengan cara menggusur lahan masyarakat adat, hutan, dan rawa.
Salah seorang warga lokal di Merauke, dalam sebuah wawancara, mengatakan bahwa ia terpaksa melepas sebagian tanah adatnya pada perusahaan dengan kompensasi berbentuk “uang tali asih” senilai Rp300.000,00 per hektar karena menghindari hal-hal buruk yang terjadi pada keluarganya. Dalam pengambilan keputusan tersebut, masyarakat tidak dapat sepenuhnya menggunakan hak untuk menolak dan justru menghadapi tekanan batin demi kelancaran kebijakan. Nilai kompensasi yang tidak sebanding tersebut berimplikasi pada sikap pasrah masyarakat untuk mengikuti kehendak pemerintah.
Berbeda pikiran dan tindakan dari kebanyakan masyarakat adat di sekitar, tetua adat Distrik Jagebob, Vincen Kwipalo ,yang dengan gagah berani menolak untuk menjual lahan adatnya dan menentang keras PSN di Merauke. Ia menghentikan ekskavator dan buldoser milik sebuah perusahaan perkebunan tebu, yakni PT Murni Nusantara Mandiri kala mereka menyerobot masuk lahan adat milik Marga Kwipalo dengan tujuan berencana membuka akses jalan untuk perkebunan. Ia juga beradu mulut dengan orang-orang perusahaan yang membongkar lahannya dengan mengatakan, “Kami manusia, kau lihat. Kau punya tangan, kami juga punya tangan”. Atas dasar kesewenang-wenangan perusahaan, Vincen bersama kuasa hukumnya melayangkan somasi atau teguran dengan tuduhan penyerobotan tanah adat suku Yei, Merauke.
Balasan yang didapat berbentuk penyerangan dengan menggunakan panah, parang, kapak, senapan angin, hingga seruan ancaman pembunuhan kepada keluarga Vincen oleh sekelompok orang. “Mereka berteriak, ‘bongkar rumah, bakar rumah, bunuh orangnya’,” kata Vincen. Diketahui penyerangan tersebut dilakukan oleh empat orang dalam keadaan mabuk yang berasal dari kampungnya. Penyerangan itu bukanlah pertama kali dilakukan, melainkan sudah lima kali dilakukan kepada keluarga Vincen semenjak 2024. Vincen tak menepis hal tersebut terjadi berkaitan dengan penolakannya menjual lahan adat Kwipalo dan PSN tebu.
“Semua berdasar pada kehadiran perusahaan ini. Kami diadu oleh perusahaan,” ujar Vincen. Laksmi Andriani Savitri, selaku antropolog dan peneliti Centre of Restoration and Regeneration Studies, mengatakan pola tersebut secara kreatif digunakan oleh perusahaan demi memecah belah masyarakat dari dalam bahkan satu suku dengan cara mengintimidasi untuk melancarkan proyek yang ditolak sebagian pihak. Usut punya usut, konflik antar marga di Papua sudah berlangsung lama dan terus meningkat sejak proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) digagas pada 2010 yang berimbas pada munculnya sejumlah proyek sehingga peristiwa yang menimpa Vincen merupakan rentetan dari pola yang sudah dibangun sejak lama.
Realita penggusuran lahan masyarakat adat oleh mereka yang berkepentingan atau demi kebijakan yang hendak dilancarkan berkutat pada dua hal sebagai awalan yakni penerimaan terpaksa atau penolakan dimana keduanya memiliki kesamaan terkait adanya HAM yang dilanggar. Dalam kasus nyata, masyarakat adat yang berani menolak malah dinodai dengan dibungkam, disakiti, diperangi oleh sesama masyarakat adat, pemerintah, atau perusahaan, padahal terdapat jaminan perlindungan dalam UUD NRI Tahun 1945, yakni tertera di Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28. Dengan melanggar dan melawan peraturan itulah lahan luas didapat, konflik pun menjadi-jadi. Bukan sekali dua kali, tetapi lebih dari itu hingga berlarut-larut.
Pada dasarnya orang-orang di pemerintahan sana adalah kaki tangan rakyat yang dipilih untuk melayani kepentingan demi kesejahteraan rakyat, seperti prinsip yang dianut yakni welfare state. Dalam menjalankannya pun terdapat berbagai mekanisme pengawasan oleh berbagai pihak. Apabila keluar dari jalur, rakyat sebagai entitas individu atau tergabung dalam sebuah organisasi berhak memberi peringatan agar kembali on track. Namun, segala teori yang tak diikuti praktik menjadi pupus musnah dengan melihat, mendengar, atau mengalami hasil pekerjaan pemerintah. Keseimbangan adalah kunci yang harus dilakukan pemerintah dengan cara fokus kepada pekerjaan juga rakyat, jangan sampai ada kejomplangan di antaranya. Memang tidak semudah teori, tetapi mencoba untuk yang terbaik tidaklah salah.
B. Pertentangan yang Muncul Akibat Kebijakan Sepihak
1) Faktor Pembentukan Peraturan
Kebijakan BBM E10 merupakan langkah strategis pemerintah Indonesia untuk mengatasi dua masalah utama, yakni tingginya ketergantungan pada impor minyak bumi dan komitmen terhadap isu lingkungan global. E10 diformulasikan dari 90% bensin dan 10% etanol, bertujuan mengurangi impor bensin yang kini masih mencapai sekitar 60% dari total kebutuhan domestik sehingga diharapkan dapat menciptakan stabilitas ekonomi yang lebih baik. Selain itu, adanya kebijakan ini juga merupakan komitmen dari negara untuk menekan emisi gas rumah kaca dan mencapai target energi yang lebih bersih serta ramah lingkungan. Hal tersebut sejalan dengan adanya Paris Agreement pada 2015 dan Conference of The Parties (COP). Kemudian, hasil dari konferensi tersebut, memuat perjanjian yang dikenal Nationally Determined Contribution (NDC). Indonesia memiliki target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% secara mandiri, sebagaimana tercantum dalam NDC.
Aktivitas transportasi di Indonesia sebagian besar didominasi dengan kendaraan yang berbahan bakar bensin yang mana bensin sendiri dalam penggunanya masih menyumbang emisi karbon yang cukup besar. Sejalan dengan komitmen NDC, banyak negara mendorong penggunaan bahan bakar rendah emisi, salah satunya etanol untuk sektor transportasi. Etanol dipandang sebagai bahan bakar yang memiliki emisi lebih rendah dibandingkan bensin konvensional, meskipun tidak sepenuhnya bersifat carbon neutral.
2) Analisis Kebijakan
Kebijakan E10 merupakan produk yang diinisiasi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan penerapannya telah mendapatkan persetujuan dari Presiden. Hal tersebut tertuang dalam Instruksi Presiden RI Nomor 14 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembangunan Kawasan Swasembada Pangan, Energi, dan Air Nasional dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 4 Tahun 2025 tentang Pengusahaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati. Berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2022, setiap kebijakan yang berdampak pada masyarakat wajib memenuhi asas meaningful participation.
Namun, penyusunan kebijakan E10 dinilai tidak melibatkan konsultasi publik yang memadai karena sepenuhnya berasal dari inisiatif eksekutif tanpa melalui mekanisme partisipatif yang semestinya, seperti RDPU bersama DPR dan masyarakat. Adanya Inpres dan Permen, Inpres adalah suatu produk kebijakan yang bersifat regeling yang mana produk tersebut mengikat secara umum. Padahal, E10 adalah kebijakan yang secara umum langsung berdampak pada aktivitas harian dan ekonomi masyarakat sebagai konsumen utama bahan bakar. Oleh karena itu, pemenuhan asas meaningful participation dalam proses pengambilan keputusan ini menjadi perhatian yang mengindikasikan adanya potensi pelanggaran asas transparansi dan partisipasi publik dalam penetapan kebijakan yang memiliki konsekuensi nasional.
3) Penyelewengan AAUPB
Kebijakan E10 dinilai tidak memenuhi asas meaningful participation sebagaimana dipersyaratkan dalam UU No.13 Tahun 2022 tentang Pembentuk Peraturan Perundangan-undangan. Ketidakpatuhan ini berimplikasi pada tidak diterapkannya Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014).
AAUPB menurut Pasal 1 angka 17 UU 30/2014 merupakan prinsip acuan penggunaan wewenang bagi Pejabat Pemerintahan dalam mengeluarkan keputusan atau tindakan, terlihat diabaikan dalam proses penetapan kebijakan E10. Pemerintah dinilai gagal memenuhi asas keterbukaan dan asas kepentingan umum. Kegagalan ini terlihat jelas pada proses penginisiasian kebijakan yang dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan audiensi atau konsultasi publik yang memadai.
Selain itu, pemerintah dinilai tidak transparan karena mengeluarkan kebijakan yang berdampak luas tanpa dilandasi produk kebijakan yang merupakan dasar dari pembentuk peraturan seperti AAUPB dan UU 13/2022, serta tanpa melibatkan masyarakat sebagai komponen utama negara. Padahal kebijakan E10 ini memiliki dampak langsung dan signifikan pada kehidupan sehari-hari masyarakat. Berdasarkan Pasal 7 UU 30/2014, Pejabat Pemerintahan berkewajiban menyelenggarakan Administrasi Pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, kebijakan pemerintahan, dan AAUPB. Oleh karena itu, tidak terpenuhinya klausul AAUPB, khususnya asas partisipasi dan keterbukaan, menandakan adanya potensi penyelewengan dalam prosedur pembuatan dan pengeluaran kebijakan E10.
4). Respon masyarakat
a. Penggunaan E10 Harus Sukarela
Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada, Fahmi Rady, berpendapat bahwa program E10 dapat dilakukan pada tahun depan. Namun, program ini harus dilakukan secara sukarela sebagaimana diberlakukannya program E5 saat ini. Untuk diketahui, Pertamax Green merupakan hasil program sukarela campuran 5% etanol atau E5. Alhasil, bahan bakar tersebut kini hanya dijual di Pulau Jawa dengan harga Rp13.000,00 per liter, lebih tinggi dari harga Pertamax senilai Rp12.500,00 per liter. Fahmi menjelaskan penetapan program sukarela pada E10 penting agar tidak mendongkrak harga bahan bakar di dalam negeri. “Yang penting implementasi program E10 tidak mengandung 'pemaksaan' pada konsumen. Biarkan E10 menjadi varian bahan bakar baru di pasar,” pendapatnya.
b. E10 pada BBM Belum Cocok Diterapkan di Indonesia
Anggota Komisi XII DPR RI, Ateng Sutisna, menilai kebijakan ini belum sepenuhnya sesuai dengan kondisi mesin kendaraan yang digunakan masyarakat Indonesia saat ini. Sebagian besar kendaraan di Indonesia masih menggunakan sistem pembakaran konvensional yang belum sepenuhnya siap menerima kadar etanol tinggi dalam bahan bakar. Campuran etanol yang terlalu besar berpotensi memengaruhi performa dan daya tahan komponen tertentu.
C. Bentuk Pertanggungjawaban Pihak Terkait
PT Pertamina (Persero) sebagai penyedia layanan BBM kepada masyarakat memiliki peran penting dalam penerapan kebijakan E10. Pertamina tidak hanya bertindak sebagai operator kebijakan, tetapi juga sebagai pihak yang berinisiatif mendukung transisi energi dan pengurangan emisi pada produk BBM. Dalam rangka tersebut, Pertamina tengah menyiapkan riset serta formula aditif khusus yang bertujuan untuk menjaga kualitas campuran etanol agar tidak menimbulkan korosi maupun penurunan performa mesin. Aditif tersebut berfungsi sebagai corrosion inhibitor, demulsifier, dan performance improver. Direktur PT Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra, juga menyatakan kesiapan Pertamina untuk berkolaborasi dalam mendukung pemanfaatan bioetanol.
Kebijakan E10 dipandang sebagai peluang bagi Pertamina untuk berkolaborasi dengan pabrikan otomotif, akademisi, dan praktisi dalam melakukan edukasi kepada masyarakat guna mendukung program pemerintah. Menurut beliau, pabrikan otomotif juga telah mengantisipasi kebijakan ini melalui pengembangan teknologi kendaraan yang mampu menggunakan bahan bakar berbasis bioetanol. Selain itu, Pertamina juga mendorong adanya negosiasi dan kerja sama antar pelaku usaha, baik BUMN maupun swasta, dengan skema yang saling menguntungkan.
Dukungan terhadap kebijakan E10 juga datang dari Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI). Sekretaris Jenderal AISI, Hari Budianto, menyampaikan bahwa mesin sepeda motor anggota AISI telah dirakit agar dapat menggunakan bahan bakar dengan kandungan etanol hingga 10%. Untuk menjawab kekhawatiran masyarakat terkait kompatibilitas campuran etanol dengan bensin pada kendaraan bermotor, Kementerian ESDM akan bekerja sama dengan industri otomotif untuk menguji penerapan BBM dengan kandungan etanol 10% di Indonesia. Pengujian ini akan dilakukan secara menyeluruh agar dapat diketahui kondisi mesin kendaraan setelah menggunakan bensin campur etanol tersebut. Selain itu, rencana penggunaan etanol ini juga akan dilaksanakan secara bertahap dan tidak terburu-buru sehingga pemerintah memiliki waktu yang cukup untuk melakukan pemutakhiran kebijakan, standar teknis, maupun infrastruktur pendukung yang diperlukan.
D. Masukan Kepada Pemangku Kebijakan atas Aturan yang Ada
Kebijakan E10 yang memiliki dampak luas terhadap masyarakat konsumen dan petani harus melalui proses diskusi yang lebih terbuka. Proses pengambilan keputusan perlu memenuhi asas meaningful participation dan asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, UU 13/2022 tentang Pembentukan Perundang-undangan, serta AAUPB. Lebih lanjut, Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan mengenai kewajiban penggunaan bahan bakar E10 tidak hanya berfokus pada target substitusi impor dan keberlanjutan energi, tetapi juga pada kesiapan teknis kendaraan dalam negeri.
Negara-negara yang telah berhasil menerapkan E10 umumnya memiliki standar otomotif yang telah diselaraskan sejak awal agar sesuai dengan campuran etanol. Mengingat bahwa sebagian besar konsumen pengguna kendaraan di Indonesia masih menggunakan spesifikasi lama yang tidak seluruhnya tahan terhadap sifat korosif etanol, perlu dilakukan pemeriksaan teknis nasional mengenai kompatibilitas kendaraan sebelum kebijakan diberlakukan secara menyeluruh. Untuk mencapai hal tersebut, pemerintah dapat meminta dukungan industri otomotif untuk menyediakan data resmi serta melakukan pengujian bersama lembaga independen, sehingga risiko kerusakan selang bahan bakar, tangki, maupun komponen mesin yang berpotensi menimbulkan kerugian konsumen dapat diminimalkan. Selain itu, Pemerintah juga perlu mempertimbangkan strategi komunikasi publik yang efektif dan berbasis data.
Pengumuman kebijakan sebaiknya disertai penjelasan ilmiah, hasil uji lapangan, manfaat jangka panjang, serta mitigasi risiko. Pendekatan komunikasi yang terbuka dan transparan akan meningkatkan kepercayaan publik sekaligus memberikan ruang partisipasi bagi pemangku kepentingan seperti produsen kendaraan, perusahaan energi, akademisi, dan kelompok masyarakat sipil.
Kebijakan penambahan etanol pada BBM melalui program E10 pada dasarnya merupakan upaya strategis pemerintah untuk menjawab dua tantangan besar, yakni ketergantungan impor energi fosil dan komitmen nasional terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca. Secara konseptual, etanol,sebagai biofuel berbasis tebu dan singkong,menawarkan potensi pengurangan emisi, peningkatan angka oktan, serta peluang penguatan ekonomi lokal melalui pengembangan industri bioetanol. Pemerintah juga melihat kebijakan ini sebagai bagian dari percepatan transisi energi yang tercantum dalam berbagai instrumen hukum, mulai dari Perpres 40/2023 hingga Inpres 14/2025. Namun, implementasi E10 tidak dapat lepas dari masalah. Pertama, proses perumusan kebijakannya dinilai tidak memenuhi asas meaningful participation sebagaimana diamanatkan oleh UU 30/2014 dan UU 13/2022. Minimnya konsultasi publik, ketidakhadiran RDPU, serta ketergantungan pada instrumen regeling yang sifatnya tidak mengikat secara umum menandakan adanya kekurangan dalam aspek transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan kepentingan publik. Kedua, kesiapan teknis kendaraan masyarakat Indonesia belum merata. Tingginya risiko kerusakan komponen mesin, korosi, serta perbedaan spesifikasi kendaraan menunjukkan bahwa kebijakan E10 berpotensi menimbulkan beban biaya bagi konsumen jika diterapkan secara wajib tanpa kesiapan matang. Di sisi lain, dampak sosial berupa penggusuran lahan masyarakat adat di Merauke menjadi titik paling kritis dalam kebijakan ini. Penyiapan lahan satu juta hektar untuk perkebunan tebu sebagai pemasok bioetanol menunjukkan bahwa transisi energi tidak selalu “hijau” bagi semua pihak. Praktik intimidasi, kompensasi yang tidak layak, konflik horizontal, hingga potensi pelanggaran HAM memperlihatkan bahwa percepatan pembangunan tidak boleh mengorbankan hak konstitusional masyarakat adat sebagaimana dijamin Pasal 18B Ayat (2) dan Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian, meskipun kebijakan E10 dirancang sebagai langkah menuju kemandirian energi dan keberlanjutan lingkungan, pelaksanaannya masih memerlukan koreksi mendasar. Pemerintah harus memperbaiki mekanisme partisipasi publik, menjamin perlindungan masyarakat adat, memastikan kesiapan teknis kendaraan dan infrastruktur, serta membangun komunikasi kebijakan yang transparan dan berbasis data. Energi terbarukan hanya dapat benar-benar disebut sebagai kemajuan apabila proses lahirnya kebijakan tersebut menghormati prinsip keadilan, keberlanjutan sosial, serta tidak meninggalkan kelompok rentan di belakangnya.
REFERENSI
Artikel Webpage
BBC News Indonesia, “Kebijakan 10% etanol pada BBM dikhawatirkan memperparah deforestasi dan konflik lahan”, bbc.com, 13 November 2025. Tersedia pada https://www.bbc.com/indonesia/articles/ced5qvp2q3go. Diakses pada tanggal 13 November 2025
BBC News Indonesia, “ 'Kami diadu perusahaan' – Penyerangan terhadap masyarakat adat penentang PSN Merauke”, bbc.com, 18 November 2025. Tersedia pada https://www.bbc.com/indonesia/articles/c8d7z5e9qveo. Diakses pada tanggal 18 November 2025
Dewanto, Kelik. “Pertamina Patra Niaga siap berkolaborasi untuk edukasi soal bioetanol.” antaranews.com. 14 Oktober 2025. Tersedia pada https://www.antaranews.com/berita/5172897/pertamina-patra-niaga-siap-berkolaborasi-untuk-edukasi-soal-bioetanol. Diakses pada tanggal 17 November 2025
Genta Tenri Mawangi, "Pakar sebut kebijakan E10 jadi langkah konkret menuju energi hijau", Antara News, 23 Agustus 2024, https://www.antaranews.com/berita/5169717/pakar-sebut-kebijakan-e10-jadi-langkah-konkret-menuju-energi-hijau, diakses pada 16 November 2025.
Firda Dwi Muliawati, “Impor BBM RI dari Singapura Ternyata Lebih dari 50%, Ini Datanya”, cnbcindonesia.com, 15 November 2025. Tersedia pada https://www.cnbcindonesia.com/news/20250528141513-4-636994/impor-bbm-ri-dari-singapura-ternyata-lebih-dari-50-ini-datanya#:~:text=Mengutip%20data%20dari%20Badan%20Pusat,BBM%20di%20Indonesia%20tahun%202024. Diakses pada tanggal 15 November 2025
Gilang Satria, Aditya Maulana, “Etanol di Bensin Sudah Lazim: AS, Eropa, dan Brasil Jadi Contoh”, Kompas.com, 14 November 2025. Tersedia pada https://otomotif.kompas.com/read/2025/10/08/121200415/etanol-di-bensin-sudah-lazim--as-eropa-dan-brasil-jadi-contoh. Diakses pada tanggal 14 November 2025
Kumparan, “Vivo dan BP-AKR Batal Beli BBM dari Pertamina, Bahlil Minta Dikomunikasikan Lagi”, Kumparan.com, 13 November 2025. Tersedia pada https://kumparan.com/kumparanbisnis/vivo-dan-bp-akr-batal-beli-bbm-dari-pertamina-bahlil-minta-dikomunikasikan-lagi-25y4C5ffkEJ/full. Diakses pada tanggal 13 November 2025
Laoli, Noverius. “BBM Etanol 10% Siap Berlaku 2026, Dipastikan Tak Ganggu Performa Kendaraan.” industri.kontan.co.id. 26 Oktober 2025. Tersedia pada https://industri.kontan.co.id/news/bbm-etanol-10-siap-berlaku-2026-dipastikan-tak-ganggu-performa-kendaraan. Diakses pada tanggal 17 November 2025
Laoli, Noverius. “Pertamina ikut arahan pemerintah soal campuran etanol 10 persen di BBM.” antaranews.com. 17 Oktober 2025. Tersedia pada https://www.antaranews.com/berita/5181377/pertamina-ikut-arahan-pemerintah-soal-campuran-etanol-10-persen-di-bbm. Diakses pada tanggal 17 November 2025
Liputan 6 “Pemerintah Dorong BBM Etanol 10%, Benarkah Jadi Kiamat bagi Motor 2-Tak", https://otosia.liputan6.com/otosia/read/6190178/pemerintah-dorong-bbm-etanol-10-benarkah-jadi-kiamat-bagi-motor-2-tak , diakses pada 16 November 2025.
Mela Syaharani, “BBM di RI akan Mengandung Etanol 10%, Pemerintah Gandeng Brazil Bangun Pabrik”, katadata.co.id, 16 November 2025. Tersedia pada https://katadata.co.id/berita/energi/68fb0c82521e1/bbm-di-ri-akan-mengandung-etanol-10-pemerintah-gandeng-brasil-bangun-pabrik. Diakses pada tanggal 16 November 2025
Nordiansyah, Eko. “Kementerian ESDM: Mandatori Bioetanol E10 Mulai 2028 atau Lebih Cepat.” metrotvnews.com. 12 November 2025. Tersedia pada https://www.metrotvnews.com/read/NG9CQDEY-kementerian-esdm-mandatori-bioetanol-e10-mulai-2028-atau-lebih-cepat. Diakses pada tanggal 15 November 2025
Nordiansyah, Eko. “Mengenal E10, Inovasi Bahan Bakar Ramah Lingkungan.” metrotvnews.com. 12 Oktober 2025. Tersedia pada https://www.metrotvnews.com/read/k8oCVdg3-mengenal-e10-inovasi-bahan-bakar-ramah-lingkungan. Diakses pada tanggal 15 November 2025
Prinada, Yuda. “Apa Itu Etanol & Bagaimana Dampaknya pada Kendaraan Bermotor?.” tirto.id. 8 Oktober 2025. Tersedia pada https://tirto.id/apa-itu-etanol-bagaimana-efek-etanol-pada-bbm-untuk-kendaraan-bermotor-hjaZ. Diakses pada tanggal 15 November 2025
Pusaka, “Lini Masa Proyek Strategis Nasional Merauke”, pusaka.or.id, 18 November 2025. Tersedia pada https://pusaka.or.id/lini-masa/lini-masa-proyek-strategis-nasional-merauke/#:~:text=23%20Juli%202024,%2C%20Distrik%20Salor%2C%20Kabupaten%20Merauke. Diakses pada tanggal 18 November 2025
Rini Hairani, “Indonesia Diyakini Capai Net Zero Emission pada 2060”, rri.co.id, 14 November
2025. Tersedia pada https://rri.co.id/nasional/1786708/indonesia-diyakini-capai-net-zero-emission-pada-2060. Diakses pada tanggal 14 November 2025
Savitri, Putu Indah. “ESDM akan uji kandungan etanol 10 persen di iklim Indonesia.” antaranews.com. 14 Oktober 2025. Tersedia pada https://www.antaranews.com/berita/5173993/esdm-akan-uji-kandungan-etanol-10-persen-di-iklim-indonesia. Diakses pada tanggal 17 November 2025
Tim BBC News Indonesia. “Kebijakan 10% etanol pada BBM dikhawatirkan memperparah deforestasi dan konflik lahan.” bbc.com. 11 Oktober 2025. Tersedia pada https://www.bbc.com/indonesia/articles/ced5qvp2q3go. Diakses pada tanggal 15 November 2025
Tim Kompas Indonesia “Komitmen Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca", Kompas.id, 26 Agustus 2021, Https://www.kompas.id/artikel/komitmen-pengurangan-emisi-gas-rumah-kaca, diakses pada 16 November 2025.
Tempo, “Bisa Dibuat dari Singkong hingga Tebu, Begini Proses Membuat Bioetanol, BBM Baru yang Dikenalkan Pertamina”, tempo.co, 15 November 2025. Tersedia pada https://www.tempo.co/sains/bisa-dibuat-dari-singkong-hingga-tebu-begini-proses-membuat-bioetanol-bbm-baru-yang-dikenalkan-pertamina--178759. Diakses pada tanggal 15 November 2025
Tempo, “Bahlil: Indonesia-Brasil Sepakat Kembangkan Bahan Bakar Etanol”, tempo.co, 16 November 2025. Tersedia pada https://www.tempo.co/ekonomi/bahlil-indonesia-brasil-sepakat-kembangkan-bahan-bakar-etanol-2082940. Diakses pada tanggal 16 November 2025
Verda Nano Setiawan, "BBM Pertamina Mengandung Etanol, Ahli Beberkan Kelebihan-Kekurangannya", CNBC Indonesia, 6 Oktober 2025, https://www.cnbcindonesia.com/news/20251006112539-4-673163/bbm-pertamina-mengandung-etanol-ahli-beberkan-kelebihan-kekurangannya, diakses pada 16 November 2025.
SKRIPSI
Munandar, Aldi. “Pengaruh Campuran Ethanol pada Bahan Bakar Bensin terhadap Kinerja dan Emisi Gas Buang Motor Bakar 2 Langkah 150cc.” Skripsi Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2016.
PERATURAN
Undang-Undang Tentang Administrasi Pemerintahan", UU No. 30 Tahun 2014, LN No. 292 Tahun 2014, TLN No. 5601.
Undang-Undang Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan", UU No. 13 Tahun 2022, LN No. 143 Tahun 2022, TLN No. 6801.
Peraturan Presiden Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2025–2029, Perpres Nomor 12 Tahun 2025, LN No.19 Tahun 2025, Lampiran I.
Baca Artikel Menarik Lainnya!
Good Governance: Sekadar Wacana atau Kenyataan dal...
12 November 2025
Waktu Baca: 8 menit
Baca Selengkapnya →
Ngasih Kuasa Kewenangan Kita ke Orang Lain? Begini...
03 July 2025
Waktu Baca: 3 menit
Baca Selengkapnya →
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/202...
21 July 2025
Waktu Baca: 6 menit
Baca Selengkapnya →