Sumber: jdih.sukoharjokab.go.id
Yudikatif punya KY, Tetapi Mengapa Legislatif dan Eksekutif Tidak Memiliki Lembaga Pengawas Etik Khusus?
Dalam beberapa tahun terakhir, publik kerap menyaksikan berbagai ucapan, tindakan, dan perilaku tidak etis dari oknum pejabat legislatif maupun eksekutif mulai dari komentar merendahkan rakyat, penyalahgunaan fasilitas negara, hingga perilaku arogan dalam pelayanan publik. Namun, kasus-kasus tersebut jarang berujung pada sanksi etik yang tegas. Tidak adanya mekanisme etik yang jelas di dua cabang kekuasaan ini membuat pelanggaran etis sering hanya berakhir sebagai kontroversi di media tanpa konsekuensi nyata. Hal ini memunculkan pertanyaan mengapa legislatif dan eksekutif tidak memiliki lembaga pengawas etik khusus seperti yudikatif?
Dasar Pembagian Kekuasaan dalam Negara
Konsep pembagian kekuasaan (separation of powers) berasal dari gagasan klasik Montesquieu yang membagi kekuasaan negara ke dalam tiga cabang, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Tujuannya bukan hanya mencegah kekuasaan terpusat, tetapi juga memastikan setiap cabang memiliki mekanisme kontrol satu sama lain. Namun dalam praktik modern, pembagian kekuasaan tidak hanya menyangkut mandat hukum, tetapi juga standar etika. Setiap cabang kekuasaan mengemban kepercayaan publik yang mewajibkan pejabatnya bertindak dengan integritas, menjaga kehormatan jabatan, dan menjamin pelayanan publik yang adil.
Mengapa Etika Penting dalam Setiap Cabang Kekuasaan?
Di Indonesia, kerangka pembagian kekuasaan tertuang dalam UUD 1945 setelah amandemen. Namun, mekanisme etik antar cabang kekuasaan tidak diatur sekuat struktur cabang kekuasaannya. Hakim memiliki Komisi Yudisial yang mengawasi etika peradilan, tetapi legislatif dan eksekutif tidak memiliki lembaga serupa yang independen. Akibatnya, standar etika di dua cabang ini masih bergantung pada mekanisme penyelesaian internal yang lemah, tidak independen, dan tidak mampu memberikan konsekuensi nyata terhadap pelanggaran.
Kontroversi Etik Pejabat Legislatif dan Eksekutif yang Berakhir dengan Permintaan Maaf Tanpa Konsekuensi.
Ketiadaan lembaga etik independen berdampak nyata pada tingginya kasus pejabat publik yang melakukan tindakan tidak etis tetapi hanya berujung permintaan maaf tanpa sanksi atau penyelidikan etik yang tegas. Contoh pola kasus yang sering terjadi di antaranya pejabat eksekutif dan legislatif di Indonesia kerap melontarkan pernyataan yang dianggap meremehkan kondisi rakyat, menyalahkan rakyat, menghina rakyat, atau pernyataan spontan yang tidak sensitif terhadap situasi krisis.
Tidak jarang juga terdapat tindakan arogan yang anti kritik hingga gaya hidup yang memamerkan kemewahan. Reaksi publik biasanya menekan oknum pejabat terkait, namun penyelesaiannya hanya berupa klarifikasi atau permintaan maaf di media. Tidak ada pemeriksaan etik, tidak ada sanksi, dan tidak ada evaluasi jabatan. Mengapa hanya berakhir dengan permintaan maaf? Karena tidak ada lembaga etik yang memiliki kewenangan untuk menilai apakah pernyataan itu melanggar standar etika pejabat negara.
Implementasi Pengawasan Etik Independen Lembaga Yudikatif Oleh Komisi Yudisial
Yudikatif merupakan cabang yang memutus perkara sehingga integritas hakim menjadi elemen paling sensitif dalam menjaga keadilan. Karena itu, UUD 1945 melalui Pasal 24B membentuk Komisi Yudisial (KY) sebagai pengawas independen yang menjaga kehormatan dan perilaku hakim fungsi yang tidak dimiliki cabang legislatif dan eksekutif.
KY secara nyata telah menangani berbagai kasus, misalnya pemeriksaan terhadap hakim yang bertemu pihak berperkara di luar persidangan, hakim yang memamerkan gaya hidup mewah, hingga hakim yang berlaku kasar dan merendahkan pihak berperkara di mana kasus-kasus tersebut berujung pada sanksi seperti teguran keras, mutasi, hingga rekomendasi pemberhentian. Mekanisme etik seperti ini menunjukkan bahwa cabang yudikatif memiliki standar akuntabilitas moral yang lebih terstruktur dibanding dua cabang kekuasaan lainnya.
Mengapa Eksekutif dan Legislatif Tidak Perlu Lembaga Pengawas Etik Independen?
Ketiadaan ini berakar dari cara pandang historis bahwa pejabat legislatif dan eksekutif adalah aktor politik, bukan profesi teknis seperti hakim. Mereka dipilih melalui proses politik, integritas dan etika mereka dianggap sebagai urusan politik yang seharusnya dikontrol melalui mekanisme politik pula seperti evaluasi partai, pengawasan DPR/DPRD, serta pertanggungjawaban melalui pemilu. Pandangan ini membedakan mereka dari hakim yang harus bekerja secara profesional, netral, dan bebas dari intervensi, sehingga membutuhkan pengawasan etik yang berdiri di luar ranah politik.
Selain itu, pengawasan ketatanegaraan terhadap pejabat legislatif dan eksekutif sudah diletakkan dalam mekanisme politik dan konstitusional, misalnya melalui interpelasi, angket, pemakzulan, serta mekanisme internal fraksi atau Badan Kehormatan di di DPR/DPRD. Namun, mekanisme ini sangat bergantung pada kepentingan politik, sehingga tidak selalu efektif menangani pelanggaran etik yang bersifat personal atau non-kriminal. Pembentukan lembaga etik independen untuk legislatif dan eksekutif sering dinilai berpotensi menciptakan dualisme otoritas.
Terdapat kekhawatiran bahwa komisi etik semacam itu dapat membatasi kewenangan Presiden atau DPR, atau justru menjadi alat yang mudah dipolitisasi untuk menyerang lawan politik. Dalam konteks eksekutif, Presiden juga diposisikan sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi sehingga pengawasan etik dianggap cukup melalui instrumen internal seperti inspektorat, sistem kode etik ASN, dan mekanisme politik antar lembaga negara. Namun mekanisme ini sangat bergantung pada kepentingan politik, sehingga tidak selalu efektif menangani pelanggaran etik yang bersifat personal atau non-kriminal.
Demikian artikel mengenai Yudikatif punya KY, Tetapi Mengapa Legislatif dan Eksekutif Tidak Memiliki Lembaga Pengawas Etik Khusus? Semoga bermanfaat!
Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.
Melihat semakin banyaknya ucapan dan tindakan pejabat legislatif maupun eksekutif yang tidak sesuai dengan standar etik, mulai dari konflik kepentingan, pernyataan yang kontroversial, penyalahgunaan wewenang, hingga tindakan tidak pantas yang merusak kepercayaan masyarakat akhir-akhir ini, maka menjadi sangat mendesak bagi Indonesia untuk membentuk lembaga pengawas etik independen yang berdiri di luar kepentingan politik, sebagaimana model yang telah berhasil diterapkan di Amerika Serikat melalui Office of Government Ethics, keberadaan lembaga semacam ini diharapkan mampu menciptakan standar etika yang jelas, penegakan yang objektif, serta mekanisme akuntabilitas yang tidak bergantung pada tarik-menarik kepentingan politik internal, sehingga pejabat publik dapat benar-benar menjalankan jabatan dengan integritas dan tanggung jawab moral yang sejalan dengan prinsip demokrasi.
Referensi
Buku dan Jurnal
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Pers, 2006. Hlm 47
Lestari, Anita. “Politik Etika dalam Penegakan Kode Etik DPR: Efektivitas dan Tantangannya.” Jurnal Politik Indonesia 6. No. 1 (2021). Hlm. 23–41.
Putra, Rizky dan Dina Handayani. “Pengawasan Etik Pejabat Publik dan Relevansinya bagi Indonesia.” Jurnal Konstitusi 17. No. 2 (2020). Hlm. 331–355.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang tentang Perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, UU Nomor 18 Tahun 2011. LN Tahun 2011 No. 106 TLN No. 5251.
Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara, UU Nomor 5 Tahun 2014. LN Tahun 2014 No. 6 TLN No. 5494.
Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan, UU Nomor 30 Tahun 2014. LN Tahun 2014 No. 292 TLN No. 5601.
Laporan
Komisi Yudisial Republik Indonesia. Laporan Tahunan Komisi Yudisial 2022–2023. Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2023.
Baca Artikel Menarik Lainnya!
Negara Kembali Merugi, Telkom dan Proyek Fiktifnya...
28 May 2025
Waktu Baca: 4 menit
Baca Selengkapnya →
Perdagangan Digital Melaju Cepat, Desakan RUU Perl...
28 April 2025
Waktu Baca: 2 menit
Baca Selengkapnya →
Perseroan Perorangan: Inovasi Hukum Baru untuk Mem...
06 October 2025
Waktu Baca: 5 menit
Baca Selengkapnya →