Jakarta, Kunci Hukum – Kasus dugaan pengancaman dan perampasan karya jurnalistik terhadap jurnalis Kompas TV di Aceh oleh oknum anggota TNI kini memasuki babak baru. Setelah menuai sorotan publik dan kecaman dari berbagai organisasi pers nasional, kedua pihak akhirnya sepakat untuk menyelesaikan hal tersebut secara damai. Pihak TNI telah menyampaikan permintaan maaf secara resmi kepada jurnalis yang menjadi korban, sementara pihak Kompas TV menyatakan menerima permintaan maaf tersebut dengan semangat menjaga hubungan baik antara media dan institusi negara.


Kronologi Kejadian


Kejadian ini bermula pada awal Desember 2025, ketika seorang jurnalis Kompas TV yang tengah meliput kegiatan pengamanan di wilayah Kabupaten Aceh Timur diduga diintimidasi oleh oknum TNI. Jurnalis Kompas TV, Davi Abdullah, pada saat kejadian sedang bertugas di Posko Terpadu Penanganan Bencana Alam di Lanud Sultan Iskandar Muda, Aceh, pada Kamis, 11 Desember 2025.


Foto: Jurnalis Kompas TV, Davi Abdullah

Sumber: YouTube Kompas TV


Berdasarkan laporan yang dimuat oleh Tempo, rangkaian peristiwa tersebut pertama kali diungkap melalui keterangan Davi. Saat kejadian, Davi tengah mempersiapkan siaran langsung sekitar pukul 10.05 WIB. Dalam proses peliputan, perhatian Davi tertuju pada kedatangan sekelompok warga negara asing yang mengenakan pakaian dengan lambang bendera Malaysia. Ia menyaksikan sejumlah personel TNI bersama individu yang mengaku sebagai aparat intelijen mendekati rombongan tersebut.


Davi menuturkan bahwa sempat terjadi ketegangan antara aparat TNI dan rombongan WNA terkait kelengkapan dokumen resmi kedatangan mereka. Aparat meminta rombongan itu, yang di dalamnya terdapat staf khusus Gubernur Aceh, untuk segera meninggalkan area. Berdasarkan pengamatan Davi, staf gubernur tersebut telah berupaya menjelaskan bahwa rombongan WNA bermaksud menuju Aceh Tamiang guna memberikan bantuan kepada korban banjir.


Namun demikian, menurut Davi, seorang perwira TNI yang dikenalnya sebagai Asisten Teritorial (Aster) Kepala Staf Komando Daerah Militer (Kasdam) Iskandar Muda, Kolonel Inf Fransisco, tetap meminta rombongan tersebut meninggalkan lokasi. Seluruh peristiwa itu direkam oleh Davi menggunakan kamera pada telepon genggamnya, sebagaimana disampaikan Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ).


Foto: Aster Kasdam IM, Kolonel Inf Fransisco

Sumber: RMOL Aceh


Setelah kejadian tersebut, Davi mengaku didatangi oleh seorang anggota TNI Angkatan Udara yang memintanya untuk menghapus rekaman video. Permintaan itu ditolak oleh Davi dengan alasan bahwa perekaman dilakukan dalam rangka kegiatan jurnalistik di ruang publik. Meski mendapat teguran keras, Davi tetap bertahan dan menyatakan tidak akan menayangkan rekaman tersebut.


Tidak lama berselang, Davi menyebut Kolonel Inf Fransisco kembali mendatanginya bersama beberapa aparat lain. Ia mengaku kembali diminta menghapus rekaman dengan nada yang mengandung unsur ancaman. Situasi tersebut berujung pada perampasan ponsel Davi, yang kemudian diserahkan kepada seorang anggota provos TNI.


dua berkas rekaman audio visual berdurasi sekitar empat menit yang sebelumnya direkam oleh Davi akhirnya dihapus. Setelah memastikan rekaman tersebut tidak lagi tersimpan, Fransisco mengembalikan ponsel kepada Davi sambil melontarkan pernyataan bernada intimidasi.


Reaksi Publik dan Pihak Terkait


Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) dalam pernyataannya menyebut bahwa insiden ini termasuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.

"KKJ Aceh mengutuk setiap perbuatan yang mengarah kepada kekerasan jurnalistik atau aksi-aksi yang bertentangan dengan spirit, nilai-nilai, dan prinsip kebebasan pers," dikutip melalui pernyataan resmi KKJ Aceh melalui media Kompas TV.


“Tindakan pengambilan alat kerja dan karya jurnalistik oleh siapapun merupakan pelanggaran serius terhadap kebebasan pers. Kami meminta TNI segera mengusut oknum yang terlibat,” kemudian dalam keterangan resminya melalui Media Tempo.


KKJ juga menegaskan bahwa peristiwa yang menimpa Davi merupakan bentuk pelanggaran terhadap pelaksanaan profesi jurnalistik yang secara tegas mendapat perlindungan hukum. 


"Konstitusi kita telah memberi dasar yang kuat dalam pasal 28F UUD 1945, yang menyatakan setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, yang menggarisbawahi bahwa informasi bukanlah milik negara, tetapi warga negara," ujarnya.


Menurut penilaian KKJ, tindakan yang diduga dilakukan oleh oknum TNI tersebut dapat dikualifikasikan sebagai praktik penyensoran yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Lebih lanjut, KKJ berpandangan bahwa tindakan aparat TNI dimaksud juga memenuhi unsur perbuatan menghambat dan menghalangi kegiatan jurnalistik sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Pers.


Kemudian KKJ Aceh meminta agar Aster Kasdam Iskandar Muda, Kolonel Inf Fransisco, dikenai sanksi administratif atas tindakannya yang dianggap telah melanggar prinsip kebebasan pers serta merugikan kehormatan dan reputasi institusi TNI.


"Ankum (Atasan Langsung) di level Kodam IM dari Aster Kasdam IM, Kolonel Inf Fransisco agar menjatuhkan sanksi administratif berupa teguran lisan/tertulis, tunda kenaikan pangkat, atau penundaan gaji, sesuai UU Disiplin Militer. Perbuatan Aster Kasdam IM, Kolonel Inf Fransisco telah mencoreng kebebasan pers serta menodai moral, martabat, kehormatan, citra, juga kredibilitas prajurit TNI di mata publik, terutama dalam situasi penanganan darurat bencana seperti saat ini."


Sementara itu, Kolonel Inf Fransisco menyampaikan penjelasan untuk meluruskan kabar yang beredar di kalangan pers terkait dugaan tindakan kekerasan yang dialami jurnalis Kompas TV, Davi Abdullah, ketika menjalankan tugas peliputan di area Pangkalan TNI AU Sultan Iskandar Muda (SIM).


“Kalau soal kejadian kemarin, dia memang sedang meliput. Tapi liputan itu berkaitan dengan hal-hal sensitif. Seharusnya, dalam meliput berita seperti itu, harus ada izin dari pemilik tempat dan melihat dulu konteks yang mau diliput. Kita punya aturan, dia juga punya aturan. Intinya saling menghargai saja. Kejadian kemarin itu bukan kekerasan, karena kita sama-sama menjalankan aturan,” mengutip dari Media RMOL Aceh dari keterangan Fransisco kepada sejumlah jurnalis di Posko Darurat Bencana Kantor Gubernur Aceh, Banda Aceh, Jumat malam, 12 Desember 2025.


“Iya, harus izin. Ada posko di situ, ada dinas terkait. Silakan sampaikan, ‘Saya mau meliput.’ Silakan saja meliput, tapi liput yang positif dan sesuai konteks. Karena kita sedang bekerja untuk Aceh, bekerja untuk kemanusiaan. Saya sendiri bekerja tidak digaji,” tambahnya.


Dari pihak TNI sendiri, Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) Iskandar Muda Kolonel Teuku Mustafa Kamal menerima kasus ini sebagai bahan evaluasi.


Foto: Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) Iskandar Muda Kolonel Teuku Mustafa Kamal 

Sumber: Reportase Bima


"ini menjadi bahan evaluasi dan masukan sangat beharga bagi kami, mohon maaf apabila masih ada anggota kami yang bersikap kurang baik," katanya kepada media Kompas TV.


"Semoga ke depan para prajurit pelaku di lapangan lebih mengerti dan memahami akan tugas jurnalistik," tambahnya.


Pemimpin Redaksi Kompas TV, Yogi Arief Nugraha, menyampaikan bahwa persoalan tersebut telah diselesaikan menyusul adanya iktikad baik serta penyampaian permohonan maaf dari pihak TNI Angkatan Darat.


KG Media: Indonesia's Leading Media Group and Business Solution Ecosystem

Foto: Pemimpin Redaksi Kompas TV, Yogi Arief Nugraha

Sumber: KG Media


"Tentu insiden ini tidak baik, tapi kami redaksi Kompas TV melihat ini sudah selesai karena pihak Dispenad sudah datang dan menyampaikan permohonan maaf. Kami tentu menerima iktikad baik ini," ucapnya.


"Pada dasarnya media dan TNI adalah mitra dan harus berkolaborasi untuk Indonesia. Saya kira ini baik untuk kedepannya. Semoga insiden seperti ini tidak terjadi dan kita bisa saling menghormati tugas masing-masing," tambahnya.


Penutup


Kasus ini berakhir damai, namun meninggalkan catatan penting: kebebasan pers harus dilindungi oleh semua pihak, termasuk aparat negara. Harmonisasi hubungan antara media dan militer menjadi kunci menjaga kepercayaan publik terhadap demokrasi dan transparansi informasi.


Penulis: Almerdo Agsa Soroinama Hia

Editor : Kayla Stefani Magdalena Tobing