Kunci Hukum - Kritik publik mengalir pada University of Oxford setelah lembaga pendidikan ternama itu mengunggah temuan Rafflesia Hasseltii tanpa mencantumkan nama para peneliti asal Indonesia yang turut bekerja dalam ekspedisi. Ketidakhadiran identitas ilmuwan lokal tersebut menimbulkan sorotan, terutama karena penelitian dilakukan di hutan Sumatera Barat. 


Penemuan bunga langka itu terjadi pada November 2025 ketika tim gabungan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Universitas Bengkulu, Komunitas Peduli Puspa Langka Bengkulu, serta Botanic Garden and Arboretum University of Oxford melakukan survei lapangan di kawasan hutan Nagari Sijunjung, Sumatera Barat. Lokasi tersebut dikelola masyarakat melalui Lembaga Pengelola Hutan Nagari dan bukan termasuk kawasan konservasi formal.


Peneliti BRIN, Joko Ridho Witono, menjelaskan bahwa bunga tersebut ditemukan di area hutan rakyat. “Habitat bunga ini bukan di kawasan konservasi, melainkan di hutan yang dikelola oleh Nagari. Ini menjadi catatan penting bagi upaya konservasi ke depan,” ujarnya, Senin (24/11/2025), dikutip dari Kompas.com.


Kontroversi bermula ketika akun resmi University of Oxford membagikan video temuan Rafflesia Hasseltii di Sijunjung, Sumatera Barat, pada Senin (24/11/2025). Dalam rekaman tersebut tampak seorang anggota tim asal Indonesia meneteskan air mata ketika melihat bunga raksasa langka itu mekar di habitatnya. Peneliti Oxford, Chris Thorogood, terdengar berkata, “We made it,” sementara suara lain menyahut, “Terima kasih Pak Iwan.”


Namun, unggahan tersebut hanya mencantumkan nama Thorogood. Oxford menulis bahwa pihaknya “menjelajahi hutan hujan Sumatera yang dijaga harimau siang dan malam untuk menemukan Rafflesia Hasseltii,” tanpa menyebutkan bahwa penelitian ini adalah proyek bersama dengan para peneliti Indonesia.


Respons keras datang dari publik Indonesia, termasuk Mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Ia menegaskan bahwa beberapa peneliti Indonesia terlibat aktif dalam ekspedisi.

“Kepada @UniofOxford, para peneliti Indonesia kita Joko Witono, Septi Andriki, dan Iswandi bukanlah NPC. Sebutkan juga nama mereka,” tulis Anies, Senin (24/11/2025), dikutip dari detik.com. Ia menilai hilangnya kredit ilmiah kepada peneliti lokal tidak sesuai dengan prinsip kolaborasi etis.


Sementara itu, Joko Ridho Witono menuturkan bahwa temuan tersebut memperkuat posisi Indonesia sebagai wilayah dengan keragaman Rafflesia tertinggi. Dari total 16 jenis yang telah teridentifikasi, 13 sampel telah dikumpulkan untuk keperluan analisis DNA. Ia menyebut riset lapangan terhadap bunga holoparasit ini sangat menantang karena waktu mekarnya singkat dan lokasi tumbuhnya berada di medan terpencil. “Dibutuhkan informasi akurat dari komunitas lokal agar penelitian tidak sia-sia,” katanya dalam laporan BRIN.


Penelitian terkait Rafflesia dilakukan dalam proyek The First Regional Pan-Phylogeny for Rafflesia, yang bertujuan memetakan hubungan genetik seluruh jenis Rafflesia di Asia Tenggara menggunakan metode Whole Genome Sequencing. Joko menjelaskan, pendekatan tersebut berbeda dari penelitian terdahulu yang hanya mengkaji potongan gen pendek.


“Kami memetakan jutaan pasangan basa untuk mendapatkan gambaran utuh genom Rafflesia,” ucapnya, dilansir Kompas.com. Pendekatan tersebut diharapkan dapat mengungkap potensi keberadaan spesies baru di Indonesia.


Penulis: Fuji Mayumi Riyenti

Editor: I Gusti Ayu Agung Erlina Putri Astana