Sumber: www.acton.org
Power Tends To Corrupt, and Absolute Power Corrupts Absolutely
Kekuasaan bisa menjadi alat untuk membangun tetapi juga bisa jadi senjata untuk menghancurkan. Lord Acton pernah berkata, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Ungkapan ini tetap relevan sampai hari ini, terutama dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, di mana kekuasaan sering kali diuji oleh kepentingan dan godaan untuk menyimpang.
Makna Filosofis dibalik “Power Tends to Corrupt”
Kutipan Lord Acton mencerminkan bahwa kekuasaan tinggi membawa godaan besar untuk menyalahgunakannya. Meskipun Acton tidak secara eksplisit membahas aspek psikologis dalam kutipannya, tetapi banyak studi modern yang mendukung pandangannya. Penelitian menunjukkan bahwa kekuasaan dapat mengubah cara seseorang memandang diri sendiri dan orang lain. Individu dengan kekuasaan tinggi cenderung mengalami peningkatan rasa superioritas, penurunan empati, dan kecenderungan untuk mengeksploitasi posisi mereka demi keuntungan pribadi.
Dalam hukum tata negara, ini disebut abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan. Agar kekuasaan tidak berubah menjadi tirani, sistem hukum modern mengadopsi prinsip checks and balances dan supremasi hukum (rule of law). Prinsip ini memastikan bahwa lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif saling mengawasi agar tidak ada satu lembaga yang menguasai semua. Menurut artikel Abuse of Power “Understanding the Dynamics of Corruption by Indonesian Government Authorities”, korupsi sering muncul karena kelemahan institusional, intervensi politik, dan kurangnya transparansi.
Begitu juga dalam Perspektif Akuntabilitas dalam Abuse of Power Pejabat Publik di Indonesia, menjelaskan bahwa sistem checks and balances yang lemah serta minimnya akuntabilitas publik adalah penyebab penting munculnya penyalahgunaan kekuasaan. Dengan kata lain, kekuasaan tanpa pengawasan adalah undangan terbuka bagi penyimpangan.
Praktik Pembatasan Kekuasaan di Indonesia
Secara normatif, UUD 1945 melembagakan prinsip pembagian kekuasaan di antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kerangka ini diperkuat oleh instrumen pengawasan konstitusional dan administratif seperti Mahkamah Konstitusi (MK), KPK, dan BPK. MK, misalnya, menjalankan fungsi vital judicial review untuk menjaga supremasi konstitusi atas produk legislasi. Akan tetapi, berbagai studi empiris menegaskan bahwa eksistensi kelembagaan tidak serta-merta menjamin efektivitas pengawasan. Kinerja pengawasan secara signifikan dipengaruhi oleh variabel independensi institusional, intervensi politik, dan tingkat transparansi. Analisis terhadap sistem checks and balances di Indonesia kerap kali menyoroti adanya ketidakharmonisan antara desain konstitusional yang ideal dengan implementasi politik praktis sehingga menciptakan kerentanan terhadap abuse of power.
Kaitan Antara Struktur Institusional dan Fenomena Abuse of Power
Dinamika korupsi di lingkungan birokrasi Indonesia menegaskan bahwa kelemahan institusional seperti kurangnya akuntabilitas, konflik kepentingan, dan lemahnya penegakan hukum memperbesar peluang munculnya penyalahgunaan jabatan. Penelitian terapan mengindikasikan bahwa bahkan ketika aturan formal tersedia, praktik politik transaksional dan budaya organisasi dapat melemahkan efektivitas pengawasan. Upaya reformasi institusional, termasuk penguatan akuntabilitas publik dan transparansi proses pengambilan keputusan, disebut sebagai langkah penting untuk menutup celah penyalahgunaan.
Upaya tersebut secara konkrit dapat dilaksanakan dengan:
- penguatan independensi lembaga pengawas (mis. MK, KPK) melalui aturan yang menjamin integritas dan sumber daya;
- transparansi prosedural dan akses publik terhadap keputusan kenegaraan;
- mekanisme akuntabilitas administratif dan pidana yang konsisten;
- peningkatan peran masyarakat sipil dan media sebagai pengawas eksternal. Intervensi semacam ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga kultural untuk mendorong norma birokrasi yang menghargai etika publik. Literatur menekankan bahwa tanpa kombinasi reformasi hukum, penguatan institusional, dan partisipasi publik, ancaman korupsi kekuasaan sulit diatasi.
Relevansi Abadi Peringatan Lord Acton
Pernyataan Lord Acton tetap relevan sebagai peringatan normatif bahwa kekuasaan tanpa batas cenderung menimbulkan penyalahgunaan. Hukum tata negara Indonesia telah menyediakan design kelembagaan untuk menahan kecenderungan ini, namun efektivitasnya bergantung pada independensi lembaga, kualitas penegakan hukum, dan kesiapan publik untuk mengawasi.
Ungkapan Lord Acton “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” menegaskan bahwa kekuasaan yang tidak diawasi berpotensi besar disalahgunakan. Dalam konteks Indonesia, penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power sering muncul akibat lemahnya sistem checks and balances, rendahnya akuntabilitas publik, serta intervensi politik yang mengganggu independensi lembaga negara. Meskipun UUD 1945 telah menetapkan pembagian kekuasaan dan membentuk lembaga pengawas seperti MK, KPK, dan BPK, efektivitasnya bergantung pada transparansi, integritas, dan partisipasi publik dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Oleh karena itu, pencegahan korupsi kekuasaan tidak hanya memerlukan reformasi hukum dan penguatan institusional, tetapi juga perubahan budaya birokrasi dan kesadaran etika publik agar kekuasaan benar-benar dijalankan untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi.
Referensi
Jurnal
Ismail, Audaraziq, Febby Mutiara Nelson, and Basuki Rekso Wibowo. “Abuse of Power: Understanding the Dynamics of Corruption by Indonesian Government Authorities.” Lex Localis - Journal of Local Self-Government 23. No. 10 (2025). Hlm. 595-604.
Sari, Estika. “Mahkamah Konstitusi sebagai Sarana Check And Balances Keberadaan Undang-undang.” Demokrasi 5. No. 1 (2006). Hlm. 18-19
Slamet Riyadi, Bambang. “Culture of Abuse of Power in Indonesia from the Perspective of Criminology and Law.” International Journal of Criminology and Sociology 9 (2022). Hlm. 274-284.
Sunarto, Sunarto. “Prinsip Checks and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia.” Masalah-Masalah Hukum 45. No. 2 (2016). Hlm. 157-163.
Website
Othering & Belonging Institute. “UC Berkeley professor Dacher Keltner explains how power makes people selfish.” Berkeley Blog. 18 Oktober 2016. Tersedia pada https://belonging.berkeley.edu/uc-berkeley-professor-dacher-keltner-explains-how-power-makes-people-selfish. Diakses pada tanggal 16 Oktober 2025.
Baca Artikel Menarik Lainnya!
Tindakan Obstruction of Justice oleh Direktur Pemb...
30 April 2025
Waktu Baca: 4 menit
Baca Selengkapnya →
Umrah Mandiri dalam UU Baru: Langkah Progresif ata...
26 October 2025
Waktu Baca: 4 menit
Baca Selengkapnya →
Ultimum Remedium Prinsip Hukum Pidana sebagai Lang...
16 October 2025
Waktu Baca: 5 menit
Baca Selengkapnya →