Sumber: Tuban Smart City
Polemik Makan Bergizi Gratis: Perlukah Ahli Gizi, Atau Bisa Digantikan Dengan Yang Lain?
Jakarta, Kunci Hukum – Beberapa waktu terakhir, media sosial diramaikan oleh video pernyataan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Cucun Ahmad Syamsurijal, yang menyebut bahwa dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) tidak diperlukan ahli gizi. Menurutnya, posisi tersebut bisa digantikan dengan lulusan Sekolah Menengah Atas dengan pelatihan tiga bulan. Sontak hal tersebut menimbulkan polemik, hingga akhirnya Cucun pun menyampaikan permintaan maaf. Nsmun, perdebatan sudah terlanjur membesar dan meluas.
Pernyatan Cucun tersebut mendapat perhatian dari berbagai kalangan, termasuk dokter dan ahli gizi masyarakat, Tan Shot Yen, yang menilai bahwa Cucun tidak cukup paham akan peran penting profesi ahli gizi. Menurutnya, Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) tanpa ahli gizi adalah hal yang tidak masuk akal. Menyajikan makanan bergizi dibutuhkan tenaga profesional yang berkompetensi dalam penyusunan dan penyajian makanan. Fenomena pernyataan tersebut mengindikasikan masih rendahnya apresiasi terhadap suatu kompetensi.
Melansir dari thestance.id "Jika ahli gizi tidak diisi tenaga dengan keilmuan gizi, porsi dan kandungan gizi hanya mengira-ngira, sedangkan ahli gizi menghitung sampai ke gram dan metode masaknya, Bahan pun bisa diganti seenaknya dan cara masak bisa tidak sesuai standar." kata Tan pada Selasa (18/11/2025).
Terkait pelatihan tiga bulan yang ditawarkan Cucun, Tan menilai bahwa ini tidak bisa dipikirkan sesederhana itu. Menurutnya, MBG membutuhkan pemetaan gizi akurat bagi tiap penerima manfaat. Dari siswa yang obesitas sampai yang mengalami wasting memiliki kebutuhan berbeda dan hal tersebut tidak cukup dipelajari hanya dalam pelatihan singkat.
Ketiadaan ahli gizi ditakutkan akan menyebabkan edukasi gizi menjadi salah kaprah, dampak program tidak terukur, serta masalah gizi tidak mengalami perbaikan meski program tersebut mengusung konsep makan bergizi.
Sejalan dengan hal tersebut, Ketua Umum Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi), Doddy Izwardy, menyatakan bahwa pemenuhan gizi harus memenuhi standar yang mengacu pada angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Menurutnya, setiap kelompok membutuhkan perhitungan gizi yang berbeda. Mulai dari anak sekolah, ibu hamil, dan ibu menyusui mereka memiliki perhitungan gizi yang tidak dapat disamaratakan.
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, juga mengakui bahwa ahli gizi memiliki peran krusial dalam mengolah menu MBG. Akan tetapi, dalam permasalahan lain, ia mengaku lembaganya kesulitan mencari ahli gizi untuk ditempatkan di dapur umum. Pertumbuhan jumlah dapur umum tetap tidak berbanding lurus dengan jumlah ahli gizi yang tersedia.
"Tadinya ahli gizi agak sulit mencari pekerjaan, sekarang menjadi salah satu profesi yang langka. Sehingga tadi Komisi IX memberikan saran agar BGN mencari jalan keluar atas kelangkaan tersebut," kata Dadan beberapa waktu lalu.
Tetapi disisi lain, Guru Besar Ilmu Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB), Hardinsyah, meyakini bahwa Indonesia punya cadangan tenaga gizi yang sangat besar. Ia menilai persoalan utama masalahnya bukan pada ketersediaan tenaga gizi, melainkan kurangnya informasi yang jelas. Banyak lulusan gizi di Indonesia tidak mengetahui dimana SPPG dibangun, berapa kebutuhan tenaga kerjanya, bagaimana mekanisme rekrutmen, dan masih banyak kebingungan lainnya.
Di samping itu, Tan Shot Yen menyampaikan bahwa banyak lulusan ahli gizi yang mengaku enggan terlibat dalam program MBG. Penyebabnya beragam, mulai dari ketidakjelasan kontrak kerja, jam kerja yang tidak jelas, hingga kasus perlakuan semena-mena dari pimpinan SPPG.
Guru Besar Pangan dan Gizi IPB, Prof Ali Khomsan, menilai pemerintah perlu menyiapkan strategi perekrutan ahli gizi secara matang agar Program MBG dapat berjalan optimal. Ali menegaskan pentingnya pemetaan menyeluruh mengenai penyebaran tenaga gizi di Indonesia.
“Kita juga tahu bahwa lulusan sarjana gizi atau diploma gizi ini sebagian bekerja di tempat lain yang bukan MBG. Oleh karena itu, perlu perencanaan atau strategi yang baik untuk bagaimana bisa merekrut para ahli gizi sesuai dengan yang tersedia,” ujarnya.
Tanpa perekrutan yang jelas, kelangkaan tenaga gizi dapat terus terjadi dan berdampak pada kualitas layanan di lapangan.
Penulis: Geria Rahma
Editor: I Gusti Ayu Agung Erlina Putri Astana
Baca Artikel Menarik Lainnya!
Serba-Serbi HUT ke-80 TNI: Unjuk Kekuatan, Kritik...
06 October 2025
Waktu Baca: 4 menit
Baca Selengkapnya →
Apa Sebenarnya Residivis? Fakta yang Perlu Kamu Ta...
15 April 2025
Waktu Baca: 2 menit
Baca Selengkapnya →
Ketegangan Memuncak! Iran Ancam Segel Selat Hormuz...
23 June 2025
Waktu Baca: 3 menit
Baca Selengkapnya →