Sumber: www.detik.com
Gelar Pahlawan untuk Soeharto: Penghargaan atas Jasa atau Pengabaian atas Luka?
Siapa yang sejatinya layak disebut pahlawan? Mereka yang menorehkan jasa besar bagi bangsa, yang memegang tampuk kekuasaan terlama, atau yang meninggalkan warisan penuh luka bagi rakyatnya? Gelar pahlawan nasional bukan sekadar penghargaan simbolik dari negara, melainkan bentuk legitimasi moral atas jejak sejarah seseorang. Dalam bingkai tersebut, nama Soeharto kembali mencuat, sosok yang di satu sisi dianggap penyelamat ekonomi dan stabilitas, namun di sisi lain diingat sebagai penguasa otoriter yang membungkam kebebasan rakyat.
Perdebatan tentang kelayakannya bukan hanya soal ingatan sejarah, tetapi juga ujian bagi konsistensi negara dalam menegakkan parameter kepahlawanan yang adil dan beretika. Sebab di antara penghargaan dan penilaian moral, terdapat garis tipis antara jasa yang patut dikenang dan kekuasaan yang patut dipertanyakan. Pertanyaannya: dalam memuliakan masa lalu, apakah bangsa ini sedang menghargai pengorbanan, atau justru mengabadikan kekuasaan?
UU No. 20 Tahun 2009 dan PP No. 35 Tahun 2010 sebagai Penimbang
Gelar pahlawan dikodifikasikan dalam UU No. 20 Tahun 2009 dan dioperasionalkan lewat PP No. 35 Tahun 2010, di mana tersurat syarat seperti jasa luar biasa, integritas moral, dan ketiadaan putusan pidana berkekuatan hukum tetap. Peraturan pelaksana memerinci tata cara pengusulan berjenjang, dokumen pendukung, kajian historis, serta peran Dewan Gelar sebagai filter administratif dan substantif.
Secara formal, rangkaian itu dimaksudkan untuk mengubah penilaian sejarah menjadi proses yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun istilah-istilah kunci (jasa, keteladanan, dan integritas) menyisakan ruang interpretasi sehingga penilaian hukum bercampur dengan politik memori. Kerangka hukum ini oleh karenanya berperan simultan: sebagai alat ukur sekaligus cermin kegamangan ketika dipakai menilai figur yang menyisakan kontroversi.
Narasi Pembangunan dan Klaim Jasa: Soeharto di Mata Pendukung
Bagi pendukungnya, nama Soeharto bergema sebagai arsitek stabilitas pasca-1965 dan penggerak pembangunan infrastruktur serta program pangan yang mengubah peta ekonomi nasional. Mereka merujuk pada capaian terukur (seperti jalan, irigasi, industrialisasi, dan indikator makroekonomi) sebagai bukti “jasa luar biasa” yang layak mendapat pengakuan negara. Dalam perspektif ini, pemenuhan prosedur UU/PP dan rekomendasi berjenjang dianggap memberikan legitimasi administratif yang kuat.
Narasi pembangunan memisahkan penilaian teknis atas hasil dari persoalan moral-politik yang lebih luas, sehingga penghargaan dipandang sebagai rekognisi atas dampak struktural. Dengan demikian, penghormatan tidak dilihat sebagai pemutihan sejarah, melainkan pengakuan atas kontribusi yang dinilai menyelamatkan stabilitas dan kelangsungan negara.
Bayang Luka dan Moralitas Kepahlawanan: Ketika Penghormatan Menjadi Luka Kolektif
Di sisi lain, suara penolakan datang dari mereka yang melihat masa Orde Baru sebagai periode pembungkaman, penangkapan tanpa proses hukum, dan pelanggaran HAM sistemik. Dalam pandangan ini, gelar kepahlawanan bagi Soeharto bukan sekadar penghormatan simbolik, melainkan penegasan narasi tunggal yang mengabaikan derita korban. Mereka menilai bahwa pemberian gelar tanpa penyelesaian historis adalah bentuk amnesia politik yang menghapus akuntabilitas moral rezim.
UU No. 20 Tahun 2009 memang tidak menutup kemungkinan pemberian gelar bagi tokoh yang kontroversial, namun tidak pula memberi ruang yang cukup bagi mekanisme moral dan etik publik untuk bersuara. Di titik inilah, gelar pahlawan menjadi pertarungan antara memuliakan jasa dan mengingat luka, antara sejarah yang ingin disucikan dan sejarah yang menuntut disembuhkan.
Menimbang Ulang Kepahlawanan: Dari Penghargaan Negara ke Rekonsiliasi
Mungkin sudah saatnya gelar pahlawan tidak hanya dimaknai sebagai penghargaan atas jasa, tetapi juga sebagai proses pendidikan sejarah dan rekonsiliasi nasional. Transparansi publik, partisipasi keluarga korban, dan keterlibatan sejarawan independen dapat menjadikan proses penilaian lebih berimbang dan bermartabat. Reformasi terhadap Dewan Gelar yang melibatkan ahli HAM, sosiolog, dan sejarawan moral dapat memperluas tafsir tentang “jasa luar biasa” menjadi “jasa yang memanusiakan”.
Negara perlu berhenti menjadikan penghargaan ini sebagai alat legitimasi politik, melainkan sebagai sarana refleksi bangsa atas masa lalunya. Sebab, gelar pahlawan sejatinya bukan hanya soal siapa yang berjasa, tetapi juga tentang bagaimana bangsa memilih untuk mengingat.
Kesimpulan
Kesimpulannya, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bukan sekadar persoalan administratif yang diatur oleh UU No. 20 Tahun 2009 dan PP No. 35 Tahun 2010, melainkan perdebatan moral dan historis yang menyinggung ingatan kolektif bangsa. Ia membuka pertanyaan mendasar tentang bagaimana negara menafsirkan “jasa luar biasa” dalam konteks figur yang juga meninggalkan jejak luka sosial dan politik. Penghormatan formal dapat menjadi bentuk pengakuan terhadap kontribusi, tetapi tanpa ruang refleksi dan keadilan, penghargaan itu berisiko meneguhkan kekuasaan ketimbang kemanusiaan.
Dalam persimpangan ini, bangsa dihadapkan pada pilihan: apakah akan memuliakan masa lalu tanpa menimbang dampaknya, atau menata ulang parameter kepahlawanan agar lebih etis, inklusif, dan berkeadilan. Pilihan terbaik tentu bukan meniadakan penghargaan, tetapi menjadikannya instrumen rekonsiliasi nasional, yang menghormati jasa, tanpa menafikan penderitaan, serta menegaskan bahwa kepahlawanan sejati lahir dari keberanian untuk menanggung kebenaran sejarah, bukan sekadar kemenangan atasnya.
Demikian artikel mengenai Pahlawan atau Penguasa? Menelisik Ulang Parameter Gelar Kepahlawanan Soeharto di Tengah Gejolak Kontroversi, semoga bermanfaat!
Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.
Perdebatan mengenai rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto menyingkap dilema antara penghargaan atas jasa dan pengabaian atas luka sejarah. Di satu sisi, ia dipuji sebagai arsitek stabilitas dan pembangunan nasional, namun di sisi lain, masa pemerintahannya meninggalkan catatan panjang pelanggaran HAM dan represi politik. Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2009 dan PP No. 35 Tahun 2010, gelar pahlawan seharusnya mencerminkan integritas moral dan jasa luar biasa bagi bangsa. Namun, ketika figur yang dinilai menyisakan kontroversi, proses hukum dan politik kepahlawanan berpotensi menjadi sarana legitimasi kekuasaan ketimbang refleksi moral bangsa. Maka, pemberian gelar pahlawan perlu dimaknai bukan semata penghormatan formal, melainkan momentum untuk menata ulang memori kolektif dan mendorong rekonsiliasi nasional yang menghargai jasa tanpa menafikan penderitaan.
Referensi
Buku
Wiharyanto, A. Kardiyat. Sejarah Indonesia dari Proklamasi Sampai Pemilu 2009. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press, 2022.
Jurnal
Agustin, Yeni. “Soeharto: Kontroversi dan Kelayakan Sebagai Pahlawan Nasional.” Santhet: Jurnal Sejarah, Pendidikan, dan Humaniora 9, no. 5 (2025): 1743-1748. DOI: 10.36526/js.v3i2.4709.
Nugroho, Fajar. “Tragedi Pelanggaran HAM di Masa Orde Baru: Pencarian Keadilan dan Keterbukaan.” RISOMA: Jurnal Riset Sosial Humaniora dan Pendidikan 2 no. 5 (2024): 1-10. https://doi.org/10.62383/risoma.v2i5.289.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Penerimaan Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan.
Artikel Webpage
Agung Purwandono. “Kami Berdoa Setiap Hari Agar Soeharto Jadi Pahlawan Nasional.” Mojok.co, 12 November 2025. Tersedia pada https://mojok.co/liputan/ragam/kami-berdoa-setiap-hari-agar-soeharto-jadi-pahlawan-nasional-sejarawan-pragmatis-dan-keliru/
Antara News. “Pengamat Nilai Penganugerahan Gelar Pahlawan Wujud Kedewasaan Sejarah.” AntaraNews.com, 12 November 2025. Tersedia pada https://www.antaranews.com/berita/5231373/pengamat-nilai-penganugerahan-gelar-pahlawan-wujud-kedewasaan-sejarah
H. Asmu’i Syarkowi. “Soal Gelar Pahlawan untuk Pak Harto: Antara Ingatan, Luka, dan Jasa yang Tak Terhapus.” MariNews, 12 November 2025. Tersedia pada https://marinews.mahkamahagung.go.id
Baca Artikel Menarik Lainnya!
Sumatra Meratap: 127 Tewas dan 104 Hilang, Preside...
30 November 2025
Waktu Baca: 4 menit
Baca Selengkapnya →
Optimalisasi Kinerja Kemenkum: Pendaftaran Merek d...
19 May 2025
Waktu Baca: 2 menit
Baca Selengkapnya →
Antara Rehabilitasi dan Penjara: Dilema Penegakan...
07 November 2025
Waktu Baca: 6 menit
Baca Selengkapnya →