Kunci Hukum, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menjadi Undang-Undang dalam rapat paripurna di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. Sidang dipimpin langsung oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani, didampingi para wakil ketua, dan dihadiri oleh pemerintah yang diwakili Menteri Hukum Supratman Andi Agtas.

“Tibalah saatnya kami meminta persetujuan fraksi-fraksi terhadap RUU KUHAP, apakah dapat disetujui menjadi undang-undang?” tanya Puan dalam sidang paripurna. Seluruh fraksi menyatakan setuju, dan palu sidang pun diketok.


Namun, pengesahan ini menuai gelombang kritik dari berbagai organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP. Koalisi yang terdiri atas YLBHI, LBHM, IJRS, LBH Apik, Lokataru Foundation, ILRC, Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas, dan AJI itu menilai sejumlah pasal dalam KUHAP baru membuka ruang penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum.

 

Pasal-Pasal yang Dinilai Bermasalah

Mengutip dari IDN Times dan Tempo.co, Koalisi Masyarakat Sipil mencatat sedikitnya tujuh pasal kontroversial dalam KUHAP baru.


1. Pasal 16: Semua Bisa Dijebak Aparat

Pasal ini mengatur bahwa penyelidikan dapat dilakukan melalui berbagai metode, termasuk “penyamaran”, “pembelian terselubung (undercover buy)”, dan “pengiriman di bawah pengawasan (controlled delivery)”. Kewenangan tersebut kini dapat diterapkan di tahap penyelidikan tanpa pengawasan hakim. Koalisi menilai hal ini berpotensi membuka peluang penjebakan (entrapment) dan rekayasa perkara.

 

2. Pasal 5 Ayat (2): Penangkapan di Tahap Penyelidikan

Pasal ini menyebutkan bahwa penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan “penangkapan, penggeledahan, dan penahanan” bahkan sebelum tindak pidana dipastikan terjadi. Menurut Koalisi, aturan ini menjadikan siapa pun dapat “diamankan” tanpa dasar yang jelas, sehingga disebut sebagai pasal karet. 


3. Pasal 90 dan 93: Penangkapan dan Penahanan Sewenang-wenang

Pasal 90 menyebutkan penangkapan dapat dilakukan hingga 1x24 jam atau lebih, sedangkan Pasal 93 membuka opsi penahanan tanpa izin hakim. Koalisi menilai mekanisme ini menghapus prinsip pengawasan yudisial dan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan upaya paksa. 


4. Pasal 105, 112A, 132A, dan 124: Geledah, Sita, dan Sadap Tanpa Izin Hakim

Dalam pasal-pasal ini, penyidik diberi kewenangan melakukan penggeledahan, penyitaan, pemblokiran, dan penyadapan tanpa izin pengadilan dengan alasan “keadaan mendesak”. Koalisi menilai hal ini membuka peluang pelanggaran privasi dan penyalahgunaan data pribadi warga.


5. Pasal 74a, 78, dan 79: Restorative Justice di Ruang Gelap Penyelidikan

Pasal ini memungkinkan kesepakatan damai antara pelaku dan korban pada tahap penyelidikan. Koalisi menilai aturan ini bisa disalahgunakan sebagai alat pemerasan dan pemaksaan damai, terlebih karena hasilnya tidak dilaporkan kepada otoritas manapun.


6. Pasal 7 dan 8: Polisi Jadi Lembaga Superpower

Kedua pasal ini menempatkan seluruh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Penyidik Khusus di bawah koordinasi Polri. Menurut Koalisi, ketentuan ini menjadikan Polri lembaga dengan kekuasaan yang terlalu besar tanpa mekanisme pengawasan yang memadai.


7. Pasal 137A: Disabilitas Mental Terancam Dihukum Tanpa Batas Waktu

Pasal ini memberi kewenangan pengadilan untuk menetapkan tindakan rehabilitasi atau perawatan bagi penyandang disabilitas mental berat tanpa batas waktu yang jelas. Koalisi menilai aturan ini berpotensi melegitimasi pengurungan sewenang-wenang (arbitrary detention).


8. Pasal 99: Penyandang Disabilitas Tanpa Perlindungan Setara

Koalisi Masyarakat Sipil menyoroti Pasal 99 yang memperlakukan orang dengan gangguan fisik maupun mental berat secara tidak setara dengan menambah durasi penahanan paling lama 60 hari. Aturan ini dinilai diskriminatif karena justru memperpanjang masa penahanan bagi kelompok rentan, bertentangan dengan prinsip perlindungan hak penyandang disabilitas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

 

Koalisi Desak Pemerintah Tarik Draf KUHAP

Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Presiden agar menarik kembali draf KUHAP yang baru disahkan dan membahas ulang konsep pembaruannya. Mereka juga meminta agar pemerintah tidak menggunakan alasan pemberlakuan KUHP baru untuk mempercepat pengesahan KUHAP tanpa perbaikan substansial.


“RUU KUHAP masih menyimpan banyak masalah, baik dari sisi proses pembahasan maupun substansinya,” tegas perwakilan koalisi, seperti dikutip dari Tempo.co.


Mereka menegaskan bahwa sistem peradilan pidana harus menjamin hak asasi, kontrol pengadilan, dan prinsip keadilan, bukan memperluas kekuasaan aparat.

 

Penulis: Zidan Fachrisyah

Editor: I Gusti Ayu Agung Erlina Putri Astana