Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan dengan kabar mengenai komedian Pandji Pragiwaksono yang diduga mendapat tuntutan denda hingga miliar rupiah dari masyarakat adat lantaran materi stand-up comedy-nya dianggap menyinggung nilai dan tradisi adat tertentu. Isu ini menimbulkan sebuah pertanyaan: apakah masyarakat adat memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi atau denda berdasarkan hukum adat terhadap individu di luar komunitasnya? Dan sejauh mana hukum adat diakui dan berinteraksi dengan sistem hukum positif Indonesia?


Kronologi dan Kewenangan Masyarakat Adat dalam Menjatuhkan Sanksi

Kasus yang menimpa Pandji Pragiwaksono bermula dari salah satu materi stand-up comedy-nya yang viral di media sosial dan dianggap menyinggung suatu tradisi adat yang masih dijunjung tinggi oleh masyarakat di daerah tertentu di Indonesia. Dalam penampilannya, Pandji mencoba mengangkat fenomena sosial dan kebudayaan lokal sebagai bahan humor. 


Namun, hal yang bagi sebagian orang dianggap sekadar hiburan justru dipandang sebagai bentuk pelecehan terhadap nilai-nilai sakral dan identitas kultural. Ungkapan-ungkapan Pandji yang dinilai menertawakan praktik adat itu memicu ketersinggungan kolektif, dan beberapa tokoh adat menilai bahwa tindakannya telah melanggar norma adat yang melindungi kehormatan dan martabat komunitas mereka.


Dalam menanggapi hal tersebut, lembaga adat setempat menggelar musyawarah adat yang melibatkan para tetua dan tokoh masyarakat. Dalam forum tersebut dibahas kemungkinan menjatuhkan denda adat atau yang dikenal dengan istilah hukuman ganti malu sebagai bentuk pemulihan keseimbangan sosial yang dianggap telah terganggu. 


Denda tersebut ditaksir bernilai miliar rupiah, jumlah tersebut merupakan total hasil dari taksiran atas 2 Miliar Rupiah, 48 ekor babi, dan 48 ekor kerbau. Hal tersebut merupakan suatu jumlah yang bukan hanya mencerminkan nilai ekonomi, tetapi juga simbol penghormatan terhadap nilai-nilai luhur dan martabat masyarakat adat yang dilanggar. 


Dasar Hukum Adat dan Pengenaan Sanksinya

Dalam logika hukum adat, denda tidak semata-mata dimaksudkan sebagai hukuman, melainkan juga sebagai mekanisme restoratif untuk mengembalikan keharmonisan sosial antara pihak pelaku dan komunitas yang merasa dirugikan. Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru dalam praktik kehidupan masyarakat adat di Indonesia. 


Prinsip dasar dari sanksi ini adalah “pemulihan keseimbangan kosmis” yang terganggu akibat perbuatan seseorang. Seperti yang dikemukakan oleh Van Vollenhoven, hukum adat merupakan “hukum yang hidup” (living law) karena ia tumbuh dan berkembang dari kebutuhan serta kesadaran hukum masyarakatnya sendiri, bukan dari teks undang-undang tertulis.


Secara konstitusional, keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya memiliki dasar pengakuan yang kuat. Pasal 18B Ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menegaskan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Artinya, negara memberikan ruang bagi masyarakat adat untuk menegakkan sistem hukumnya sendiri selama masih hidup dan tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum. 


Selain itu, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) juga mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat, menunjukkan bahwa sistem hukum nasional tetap menghormati eksistensi hukum adat selama dalam batas-batas yang selaras dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan.


Meski demikian, permasalahan muncul ketika hukum adat diterapkan terhadap individu yang bukan bagian dari komunitas adat tersebut. Hukum adat secara esensial bersifat komunal dan partikular, artinya ia hanya mengikat anggota masyarakat hukum adat yang berada dalam lingkungan sosial tertentu dan tunduk pada norma-norma adat tersebut. Dengan demikian, penerapan denda adat terhadap pihak luar menimbulkan perdebatan yuridis terkait yurisdiksi sosial dari masyarakat adat itu sendiri.


Memahami Kasus Pandji Pragiwaksono berdasarkan Hukum Positif di Indonesia

Dalam perspektif hukum positif Indonesia, kasus yang menimpa Pandji Pragiwaksono perlu dipahami melalui kacamata sistem hukum nasional yang menempatkan konstitusi sebagai norma tertinggi. Indonesia menganut sistem civil law, yang menegaskan bahwa segala bentuk tindakan hukum, termasuk sanksi, harus memiliki dasar dalam peraturan perundang-undangan yang sah. 


Dalam konteks ini, denda adat yang dijatuhkan oleh masyarakat adat terhadap Pandji tidak dapat memiliki kekuatan hukum yang mengikat secara yuridis, sebab tidak melalui proses peradilan negara dan tidak memiliki dasar eksekutorial sebagaimana diwajibkan oleh prinsip negara hukum.

Dalam sistem hukum positif, suatu sanksi atau denda baru dapat diakui apabila dijatuhkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan hukum, seperti pengadilan. Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 secara tegas menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum,” yang berarti segala tindakan yang menimbulkan akibat hukum harus tunduk pada peraturan yang berlaku. 


Maka dari itu, jika masyarakat adat merasa dirugikan atau dilecehkan oleh tindakan Pandji, langkah hukum yang tepat adalah mengajukan gugatan perdata atau laporan pidana melalui mekanisme hukum formal. Dalam hal ini, dasar hukum yang relevan adalah Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tentang perbuatan melawan hukum yang berbunyi: “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”


Selain itu, jika materi Pandji dianggap mengandung unsur penghinaan terhadap kelompok masyarakat, Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga dapat dijadikan dasar untuk menilai apakah tindakannya termasuk kategori pencemaran nama baik atau fitnah. 

Namun demikian, seluruh proses tersebut harus melalui penegak hukum negara, bukan melalui peradilan adat, karena hanya lembaga peradilan yang memiliki legitimasi konstitusional untuk menjatuhkan sanksi dengan kekuatan hukum tetap. Hal ini sejalan dengan asas due process of law dan prinsip equality before the law, di mana setiap orang memiliki hak atas proses hukum yang adil dan kesetaraan di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.


Konflik antara hukum adat dan hukum positif sering kali berakar pada perbedaan tujuan antara keduanya. Hukum adat berorientasi pada pemulihan keseimbangan sosial, menitikberatkan pada keadilan komunal dan harmonisasi hubungan sosial. Sementara hukum positif menekankan kepastian hukum, prosedur formal, dan perlindungan hak individu. 


Dalam kasus Pandji, masyarakat adat berusaha menegakkan keadilan berdasarkan nilai-nilai yang hidup dalam komunitas mereka, yaitu menjaga kehormatan tradisi dari ejekan atau penghinaan. Namun, dalam pandangan hukum positif, tindakan tersebut tidak bisa dianggap sah apabila tidak memiliki dasar dalam sistem perundang-undangan yang berlaku. 


Di sisi lain, hukum positif Indonesia juga tidak menutup diri terhadap nilai-nilai hukum adat. Dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Ketentuan ini menegaskan bahwa hukum adat tidak diabaikan, tetapi dijadikan sebagai sumber nilai yang dapat memperkaya putusan hukum nasional, atau yang biasa disebut sebagai supremasi hukum.


Supremasi hukum negara bukan berarti menghapus hukum adat, melainkan memastikan bahwa pelaksanaannya tidak bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia dan asas legalitas (nullum crimen sine lege). Sanksi adat yang tidak diatur dalam undang-undang tidak dapat diberlakukan secara paksa terhadap pihak luar komunitas, karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan potensi pelanggaran hak. 


Oleh sebab itu, dalam sistem hukum Indonesia, hierarki norma hukum menempatkan hukum adat di bawah peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sumber hukum tertulis memiliki tingkatan mulai dari UUD 1945 hingga peraturan daerah, sementara hukum adat termasuk dalam kategori hukum tidak tertulis yang hanya dapat diberlakukan sepanjang diakui oleh hukum tertulis dan tidak bertentangan dengannya.


Maka dalam konteks kasus Pandji Pragiwaksono, hukum yang seharusnya berlaku dan didahulukan adalah hukum positif Indonesia. Hukum adat tetap diakui dan dihormati, tetapi tidak dapat dijadikan dasar untuk menjatuhkan sanksi formal terhadap individu di luar komunitas adat. Penghormatan terhadap nilai adat dapat diwujudkan melalui dialog kultural, permintaan maaf, atau mediasi sosial, bukan dengan pemaksaan denda yang tidak memiliki dasar hukum. 


Demikian artikel mengenai eksistensi hukum adat dalam perspektif hukum nasional Indonesia, semoga bermanfaat!

Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.


Kasus yang menimpa komedian Pandji Pragiwaksono, yang diduga dikenai denda miliaran rupiah oleh masyarakat adat karena materi stand-up-nya dianggap menyinggung nilai tradisi, menimbulkan perdebatan mengenai batas kewenangan hukum adat terhadap pihak luar komunitasnya. Dalam sistem hukum adat, sanksi seperti denda adat berfungsi sebagai upaya restoratif untuk memulihkan keseimbangan sosial, dan keberadaannya diakui secara konstitusional sepanjang tidak bertentangan dengan hukum nasional. Namun, menurut hukum positif Indonesia, setiap sanksi yang menimbulkan akibat hukum harus memiliki dasar peraturan perundang-undangan dan dijatuhkan melalui lembaga peradilan yang sah. Oleh karena itu, penerapan denda adat terhadap Pandji tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, meskipun dapat dihormati sebagai bentuk kearifan lokal. Hubungan antara hukum adat dan hukum positif di Indonesia menegaskan pentingnya keseimbangan antara penghormatan terhadap nilai budaya dan kepastian hukum, di mana penyelesaian semestinya ditempuh melalui jalur dialog dan mediasi, bukan pemaksaan sanksi tanpa dasar yuridis.

Referensi

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 310 dan 311

Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Artikel Ilmiah

Anggraeni, Tariza Novita. “TINJAUAN HUKUM ADAT TERHADAP SANKSI DENDA PADA PERBUATAN PERZINAAN”. Lontar Merah, Vol. 3 No. 1, 2020, hal. 225-231.

Adnyani, Ni Ketut Sari; Atmaja, G. M. W.; Sudantra, I. K. “Four Conditions for Recognition of Traditional Society in the Constitution and State Revenue Income”. Journal of Indonesian Legal Studies, Jurnal UNNES, Vol. 6 No. 2, 2021, hal. 307-332. 

Andri et al. “The Struggle for Recognition: Adat Law Trajectories under Indonesian Politics of Legal Unification”. International Journal on Minority and Group Rights, Vol. 29 No. 1, 2022. 

Wadjo, Hadibah Z. “Penerapan Hukum Adat dalam Penyelesaian Perkara Anak”. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Vol. 5 No. 1, 2023.

Kartika, Sari, Fitri; Chandra, Febrian; Rapiq, Wahyu Muhajir. “Penerapan Sanksi Hukum Adat Terhadap Penebangan Hutan di Desa Muara Madras”. SEMBILAN : Jurnal Hukum dan Adat, Vol. 1 No. 2, 2023, hal. 75-84.