Sumber: pasla.jambiprov.go.id
Good Governance: Sekadar Wacana atau Kenyataan dalam Tata Pemerintahan Indonesia?
Setiap kali muncul pemberitaan mengenai kasus korupsi, maladministrasi, atau pelayanan publik yang berbelit-belit, istilah good governance kembali naik ke permukaan seolah menjadi mantra sakti yang mampu menyembuhkan penyakit kronis birokrasi Indonesia. Namun setelah lebih dari dua dekade reformasi bergulir, pertanyaan yang tak pernah benar-benar terjawab adalah: apakah good governance di Indonesia hanya sekadar wacana, atau sudah menjadi kenyataan dalam praktik penyelenggaraan negara?
Dari Wacana Global ke Agenda Nasional
Gagasan good governance muncul sebagai jawaban atas tantangan klasik dalam penyelenggaraan pemerintahan di berbagai negara seperti korupsi, ketidakefisienan birokrasi, penyalahgunaan kekuasaan, dan lemahnya kepercayaan publik terhadap negara. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh Bank Dunia dan UNDP pada awal 1990-an, ketika banyak negara berkembang mengalami krisis tata kelola pemerintahan. Menurut UNDP, good governance merupakan penggunaan kekuasaan ekonomi, politik, dan administratif untuk mengelola urusan negara di semua tingkatan secara efektif, adil, dan transparan. Konsep ini menekankan pentingnya interaksi sinergis antara tiga pilar utama, yaitu pemerintah (state), sektor swasta (private sector), dan masyarakat sipil (civil society).
Dalam konteks Indonesia, semangat good governance mulai menjadi agenda nasional setelah reformasi 1998. Reformasi membuka ruang demokrasi yang lebih luas, menumbuhkan tuntutan terhadap pemerintahan yang bersih, terbuka, dan akuntabel. Pemerintahan yang sebelumnya bersifat sentralistik dan otoriter mulai diarahkan menuju sistem desentralisasi yang memberikan kewenangan besar kepada pemerintah daerah. Nilai-nilai good governance kemudian diadopsi dalam berbagai kebijakan publik, terutama dalam upaya menciptakan birokrasi yang transparan dan pelayanan publik yang efisien.
Salah satu tonggak penting dalam penguatan agenda ini adalah lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014). Undang-undang ini menjadi landasan yuridis utama bagi pelaksanaan prinsip-prinsip good governance dalam sistem hukum Indonesia. Pasal 3 UU 30/2014 menegaskan bahwa penyelenggaraan administrasi pemerintahan bertujuan menciptakan tertib administrasi, memberikan kepastian hukum, mencegah penyalahgunaan wewenang, dan menjamin akuntabilitas. Dengan demikian, UU ini tidak hanya memuat aturan prosedural pemerintahan, tetapi juga membawa semangat moral baru dalam menjalankan kekuasaan negara yakni bahwa setiap keputusan pemerintahan harus sejalan dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keadilan.
Pergeseran ini menunjukkan transformasi penting dimana good governance tidak lagi hanya menjadi jargon internasional, melainkan telah diadopsi menjadi norma hukum nasional yang mengikat pejabat pemerintahan di semua tingkatan. Namun, adopsi norma tidak selalu berarti perubahan perilaku. Tantangan terbesar justru terletak pada bagaimana prinsip-prinsip tersebut diinternalisasi dalam tindakan konkret aparat negara.
Makna Good Governance dalam Konteks Ketatanegaraan
Dalam hukum tata negara, good governance merupakan wujud nyata dari prinsip rule of law dan popular sovereignty atau kedaulatan rakyat. Pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan Indonesia adalah negara hukum. Artinya, segala bentuk penyelenggaraan kekuasaan harus tunduk pada hukum dan digunakan untuk kepentingan rakyat. Good governance menempatkan hukum sebagai instrumen utama pembatas kekuasaan, sekaligus menjamin agar setiap tindakan pemerintah dapat dipertanggungjawabkan.
UU 30/2014 menjadikan good governance sebagai pedoman etik dan normatif bagi pejabat pemerintahan melalui Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). AUPB berfungsi sebagai standar hukum dan moral yang harus dijadikan acuan dalam setiap kebijakan dan tindakan administratif. Asas tersebut mencakup prinsip kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan, kecermatan, tidak menyalahgunakan wewenang, keterbukaan, kepentingan umum, dan pelayanan yang baik. Melalui asas ini, UU 30/2014 secara eksplisit memadukan nilai-nilai etis pemerintahan dengan norma hukum positif.
Dalam perspektif ketatanegaraan, penerapan good governance juga memperkuat prinsip checks and balances. Lembaga-lembaga negara seperti DPR, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Ombudsman, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki peran penting dalam memastikan akuntabilitas penyelenggara pemerintahan. Selain itu, masyarakat juga diberikan ruang partisipatif melalui kebijakan keterbukaan informasi publik. Dengan demikian, good governance tidak hanya dilihat sebagai kewajiban birokrasi, tetapi juga sebagai ekosistem yang melibatkan seluruh unsur negara dan warga negara.
Prinsip-Prinsip Good Governance dan Kaitannya dengan UU 30/2014
Mengacu pada Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, good governance atau Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) merupakan prinsip yang dijadikan acuan oleh pejabat pemerintahan dalam menggunakan kewenangannya ketika mengeluarkan keputusan dan/atau tindakan. Rumusan tersebut menegaskan bahwa AUPB bukan sekadar nilai moral atau pedoman etika, melainkan norma hukum yang bersifat mengikat secara yuridis (legal binding principles) bagi setiap pejabat pemerintahan.
Secara konseptual, paradigma good governance di Indonesia terbentuk dari dua sumber utama. Pertama, konsep universal yang dikembangkan oleh United Nations Development Programme (UNDP). Kedua, kodifikasi prinsip-prinsip tersebut dalam sistem hukum nasional melalui Undang-Undang No. 30 Tahun 2014.
Menurut UNDP, good governance mencakup sejumlah prinsip utama seperti transparansi, partisipasi masyarakat, akuntabilitas, supremasi hukum, efisiensi, efektivitas, dan keadilan sosial. Prinsip-prinsip tersebut mencerminkan nilai-nilai universal pemerintahan yang demokratis, efisien, dan berkeadilan.
Namun, penerapannya di Indonesia tidak dilakukan secara langsung. Prinsip-prinsip tersebut dikontekstualisasikan dengan sistem ketatanegaraan nasional yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Proses adaptasi inilah yang kemudian melahirkan formulasi AUPB sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014, yang meliputi:
1) Kepastian hukum;
2) Kemanfaatan;
3) Ketidakberpihakan;
4) Kecermatan;
5) Tidak menyalahgunakan kewenangan;
6) Keterbukaan;
7) Kepentingan umum; dan
8) Pelayanan yang baik
Dengan demikian, penerapan AUPB dalam praktik pemerintahan bukan hanya menjadi pedoman etis, melainkan juga instrumen hukum yang menuntut akuntabilitas dan profesionalitas pejabat publik dalam menjalankan kewenangannya sesuai prinsip good governance.
Ketika Idealisme Bertemu Realitas Politik
Meski fondasi normatif good governance di Indonesia tergolong kuat, pelaksanaannya masih menghadapi tantangan besar. Salah satu masalah utama adalah budaya politik dan birokrasi yang masih dipengaruhi oleh patronase, kolusi, dan orientasi kekuasaan. Politisasi birokrasi kerap menjadikan jabatan publik sebagai komoditas politik, bukan berdasarkan kompetensi. Akibatnya, prinsip meritokrasi yang menjadi inti good governance sulit diwujudkan. Fenomena ini terlihat jelas dari data Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2024 yang dirilis oleh Transparency International. Indonesia memperoleh skor 37 dari 100 dan menempati peringkat 99 dari 180 negara. Meskipun skor ini naik dari 34 pada tahun 2023, peningkatan tersebut belum cukup untuk menunjukkan perbaikan signifikan dalam integritas sektor publik dan efektivitas pengawasan pemerintahan.
Indeks ini menggambarkan bagaimana para ahli dan pelaku usaha menilai tingkat korupsi di sektor publik. Dengan skor yang masih berada di bawah rata-rata global (43), kepercayaan publik terhadap birokrasi dan lembaga pengawas di Indonesia masih tergolong rendah. Transparency International mencatat bahwa sektor-sektor strategis seperti energi, pengadaan barang dan jasa, serta tata kelola sumber daya alam masih rentan terhadap praktik korupsi dan konflik kepentingan.
UU 30/2014 telah menegaskan larangan konflik kepentingan dalam Pasal 42 hingga Pasal 45, serta mewajibkan pejabat untuk menolak pengaruh dari pihak yang berkepentingan. Namun dalam praktik, pengawasan terhadap pelaksanaan pasal-pasal tersebut belum optimal. Struktur pengawasan internal di lembaga pemerintahan masih lemah, sementara mekanisme eksternal seringkali terganggu oleh kepentingan politik.
Desentralisasi yang digagas sebagai upaya untuk memperkuat efektivitas pemerintahan juga menghadirkan dilema. Di satu sisi, desentralisasi memungkinkan kebijakan publik disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Di sisi lain, lemahnya kapasitas aparatur di tingkat daerah sering kali menimbulkan ketimpangan dan inefisiensi kebijakan. Pelaksanaan desentralisasi harus diiringi dengan peningkatan profesionalisme, akuntabilitas fiskal, dan pengawasan lintas daerah agar tidak menciptakan “feodalisme lokal” yang baru.
Selain faktor politik dan kelembagaan, transformasi digital juga menimbulkan tantangan baru. Pasal 38 UU 30/2014 mengakui bahwa keputusan pemerintahan dapat dibuat secara elektronik dan memiliki kekuatan hukum yang sama dengan keputusan tertulis. Namun tanpa tata kelola data yang kuat, penerapan e-government justru membuka peluang baru bagi kebocoran data dan manipulasi informasi. Transparansi digital yang tidak diawasi justru dapat melahirkan bentuk korupsi baru—digital corruption yang lebih sulit dilacak.
Kesenjangan Antara Norma dan Implementasi
Perbedaan antara idealisme hukum dan praktik pemerintahan menimbulkan apa yang disebut sebagai normative gap atau kesenjangan norma. Dalam konteks Indonesia, kesenjangan ini tampak nyata dalam banyak sektor pelayanan publik. Masyarakat masih menghadapi hambatan birokrasi, kurangnya transparansi, serta rendahnya akuntabilitas pejabat dalam melaksanakan tugasnya. Padahal Pasal 26 hingga Pasal 28 UU Nomor 30 Tahun 2014 dengan tegas mewajibkan setiap penggunaan diskresi untuk dilaporkan kepada atasan dan disertai alasan hukum yang jelas.
Data terbaru Ombudsman Republik Indonesia tahun 2024 menunjukkan bahwa persoalan maladministrasi masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi penyelenggara pemerintahan. Sepanjang tahun 2024, Ombudsman menerima 10.846 laporan masyarakat, meningkat cukup signifikan dari 8.452 laporan pada tahun sebelumnya. Sektor yang paling banyak diadukan meliputi agraria dan pertanahan (17,17%), kepegawaian (12,45%), serta pendidikan (9,56%), dimana bidang-bidang tersebut yang seharusnya menjadi garda depan pelayanan publik. Sementara itu, pemerintah daerah menempati posisi tertinggi sebagai pihak terlapor dengan 45,88% aduan, disusul Kementerian ATR/BPN (11,59%), BUMN/BUMD (6,2%), dan kepolisian (4,4%).
Jenis maladministrasi yang paling banyak terjadi pun menggambarkan lemahnya penerapan prinsip good governance. Kasus penundaan berlarut (33,86%), tidak memberikan pelayanan (30,31%), dan penyimpangan prosedur (20,61%) menjadi tiga bentuk pelanggaran terbanyak. Angka-angka ini menegaskan bahwa birokrasi di Indonesia masih berorientasi pada prosedur, bukan pada hasil dan pelayanan masyarakat.
Kondisi tersebut memperkuat argumen bahwa akar masalah good governance di Indonesia tidak semata terletak pada kurangnya regulasi, tetapi pada rendahnya kepatuhan dan integritas dalam pelaksanaannya. Secara struktural, tumpang tindih aturan dan lemahnya koordinasi antarlembaga membuat kebijakan sulit dijalankan secara efektif. Secara kultural, masih kuatnya budaya patronase dan resistensi terhadap transparansi menghambat perubahan perilaku birokrasi. Sementara dari sisi kapasitas, banyak aparatur belum memiliki kompetensi teknis dan etika pelayanan publik yang memadai.
Akibatnya, kepercayaan publik terhadap pemerintah cenderung stagnan. Meskipun instrumen hukum seperti UU 30/2014 telah memberikan kerangka yang jelas, pelaksanaannya masih berhenti di level administratif belum menjangkau esensi substantif dari pemerintahan yang bersih, adil, dan melayani.
Demikian artikel mengenai good governance atau Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, semoga bermanfaat!
Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.
Secara normatif Indonesia telah memiliki fondasi hukum yang kuat untuk menerapkan good governance melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 yang merumuskan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagai pedoman transparansi, akuntabilitas, partisipasi, kepastian hukum, dan pelayanan publik yang responsif. Namun kekuatan hukum tanpa kesadaran etika tidak cukup karena tantangan terbesar terletak pada perilaku birokrasi, moralitas pejabat publik, dan konsistensi penegakan hukum. Untuk mewujudkan good governance diperlukan perubahan sistem, budaya, dan kapasitas aparatur agar pengawasan berjalan independen, loyalitas berpindah dari atasan ke hukum, dan profesionalisme menjadi dasar pelayanan publik. Pada akhirnya good governance merupakan proses berkelanjutan yang hanya dapat menjadi kenyataan ketika kekuasaan dijalankan sebagai amanah, rakyat dipandang sebagai mitra, dan hukum benar-benar menjadi panglima dalam budaya pemerintahan Indonesia yang berkeadilan dan berintegritas.
REFERENSI
BUKU
Sedarmayanti. Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dalam Rangka Otonomi Daerah: Good Governance dan Good Corporate Governance. Bandung: Mandar Maju, 2007.
JURNAL
Nurhidayat, Ipan. “Prinsip-Prinsip Good Governance di Indonesia.” Jurnal E-Gov (Wiyata Education & Government) 1. 1 (2023). Hlm. 40-52.
Solechan. “Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) dalam Pelayanan Publik.” Administrative Law & Governance Journal 2. 3 (2019). Hlm. 451–467.
Armia. “Kedudukan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam Perlindungan Hukum bagi Warga Negara.” Jurnal HUMANIS: Ilmu Administrasi Negara 3. 2. (2017) Hlm. 152–163.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Tentang Administrasi Pemerintahan, UU Nomor 30 Tahun 2014. LN Tahun 2014 No. 292 TLN No. 5601.
Baca Artikel Menarik Lainnya!
Siapa Kepala dalam Rumah Adat? Menyelami Struktur...
03 November 2025
Waktu Baca: 5 menit
Baca Selengkapnya →
4 Poin yang Harus Diketahui tentang Hak Kekayaan I...
01 May 2025
Waktu Baca: 2 menit
Baca Selengkapnya →
Label Premium Hanya Tipuan, Satgas Pangan Ungkap K...
24 July 2025
Waktu Baca: 3 menit
Baca Selengkapnya →