Sumber: tribratanews.polri.go.id
JUDOL SEMAKIN MENJERAT: ANAK DIBAWAH UMUR IKUT TERSERET
Jakarta, Kunci Hukum - Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) Asep Nana Mulyana mengungkap data memprihatinkan mengenai demografi pelaku Judi Online (Judol) di Indonesia per 12 September 2025 yang terentang dari anak Sekolah Dasar (SD) hingga tunawisma. Data kejagung ini berbarengan dengan terungkapnya kasus seorang siswa SMP di Kokap Kulon Progo, Yogyakarta yang tidak masuk sekolah karena malu terjerat Judol dan pinjaman online (Pinjol). Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyebut kasus-kasus ini sebagai bukti nyata kegagalan sistem pendidikan, pengawasan, dan regulasi digital di Indonesia.
Menurut data yang diungkap Asep Nana Mulyana pada Senin (27/10/2005) demografi pelaku Judol sangat beragam, ia menyebutkan “Dari segi pekerjaan, itu juga banyak yang petani, ada murid, kemudian juga mohon maaf ya, para tunawisma, dan sebagainya itu juga mendominasi pelaku-pelaku Judol yang memang secara kasat mata menggiurkan.” Ia secara spesifik menyebut bahwa anak-anak SD sudah terperangkap dalam judi daring, dimulai dari permainan ‘slot kecil-kecilan’.
Secara keseluruhan, demografi penjudi daring yang ditangani Kejaksaan didominasi oleh laki-laki dengan 88,10% atau 1.899 orang sedangkan perempuan sebesar 11,9% atau 257 orang. Rincian kelompok usia para pelaku Judol terbanyak berada pada kelompok produktif yaitu 26-50 tahun dengan 1.394 orang, disusul kelompok 18-25 tahun dengan 631 orang, kelompok lebih dari 50 tahun sebanyak 164 orang, serra kelompok dibawah 18 tahun dengan jumlah 12 orang yang telah ditangani oleh Kejaksaan. Pihak Kejagung yang tergabung dalam Desk Pemberantasan Judi Daring, menekankan pentingnya peningkatan literasi.
“Literasi bahwa sesungguhnya judi online itu bukan permainan, melainkan perangkap yang betul-betul akan menyengsarakan kita semua.” Ucap Asep
Kasus nyata yang terjadi di Kokap Kulon Progo, Yogyakarta, ini menjadi ilustrasi konkret dari data Kejagung. Seorang pelajar tingkat SMP diketahui tidak masuk sekolah selama satu bulan penuh setelah terjerat oleh Pinjol dan Judol. Sekretaris Disdikpora Kulon Progo, Nur Hadiyanto, pada Sabtu (25/10/2025), ia menjelaskan kronologi kasus tersebut. “Kami mendapatkan laporan tentang pelajar tingkat SMP terjerat Pinjol dan Judol. Awalnya pelajar yang berasal dar Kokop ini tidak masuk sekolah tanpa alasan yang jelas tanpa satu bulan.” Ungkap Nur Hadiyanto.
Nur menerangkan dari hasil penelusuran, diketahui alasan pelajar tersebut tidak masuk sekolah karena malu dengan teman-temannya. “Penyebabnya karena takut tidak bisa membayar uang yang dipinjam dari teman-temannya. Uang itu juga digunakan untuk membayar Pinjol yang digunakan untuk Judol. Ya kurang lebih sekitar 4 juta yang dipinjam dari teman-temannya.” lanjut Nur.
Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, pada Senin (27/10/2025) merespon kasus ini dengan keras, menyebutkan sebagai kegagalan sistem pendidikan. “Kasus ini sangat memprihatinkan karena menunjukkan kegagalan sistem pendidikan dan pengasuhan karakter, jadi bukan hanya kegagalan individu. Karena fenomena ini menimpa banyak anak, tidak hanya yang viral ini.” Ujar Ubaid.
Ubaid menyoroti kegagalan pengawasan digital, seraya menyatakan “Menunjukkan pemerintah dan sistem regulasi digital juga tampak absen, judi online dan pinjaman online beroperasi sedemikian hingga menyasar pelajar usia sangat muda, ini berarti regulasi dan penegakan hukum belum efektif.” Kata Ubaid
Ia juga mengkritik lingkungan sekolah yang belum aman. “Dalam kasus ini juga, ada juga unsur stigma dan rasa malu yang membuat siswa enggan kembali ke sekolah, ini menunjukkan bahwa lingkungan sekolah belum menciptakan ruang aman untuk siswa yang punya masalah.” ucapnya
Menurut Ubaid kasus ini adalah alarm terhadap kelalaian struktural, “So, kasus ini bukan hanya kegagalan individu siswa, melainkan kegagalan sistem, sekolah, orang tua, pemerintah, regulasi digital memiliki tanggung jawab.” Lanjut Ubaid
Ia mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk memperkuat regulasi dan mengintegrasikan pendidikan karakter serta literasi digital kedalam kurikulum. Dengan data yang sudah diungkap Kejagung dan kasus nyata yang terjadi, Ubaid Matraji menegaskan “Tapi kenyataannya, sinyalnya masih sangat lemah, artinya pemerintah masih punya pekerjaan besar yang belum selesai.” sebut Ubaid
Penulis: Sarah Novianti
Editor: Kayla Stefani Magdalena Tobing
Baca Artikel Menarik Lainnya!
Kejagung Teken MoU dengan Provider, Bisa Sadap Nom...
26 June 2025
Waktu Baca: 3 menit
Baca Selengkapnya →
Tiga Dekade Deforestasi:TPL Masuk Daftar Penyegela...
09 December 2025
Waktu Baca: 4 menit
Baca Selengkapnya →
Bocor 3 Tahun dan Diabaikan, Tanggul Kritis Muara...
07 December 2025
Waktu Baca: 4 menit
Baca Selengkapnya →