Tidak semua orang yang melakukan tindak pidana harus dijatuhi hukuman. Dalam hukum pidana, terdapat prinsip bahwa seseorang hanya bisa dipidana jika ia benar-benar bersalah. Namun, bagaimana jika seseorang melakukan perbuatan pidana karena terpaksa atau karena ia tidak tahu bahwa tindakannya salah? Di sinilah konsep alasan pemaaf dan alasan pembenar berperan penting. Dua istilah ini sering kali terdengar mirip, padahal memiliki makna yang berbeda.


Kedudukan Hukum Pidana sebagai Ultimum Remedium

Kedudukan hukum pidana sebagai ultimum remedium atau obat terakhir menegaskan bahwa pemberian sanksi pidana adalah upaya terakhir setelah sarana non-pidana (administratif, perdata, restoratif) dianggap tidak lagi cukup. Prinsip ini menuntut selektivitas, proporsionalitas, dan kehati-hatian dalam pemidanaan. Artinya negara harus mempertimbangkan jalur alternatif lain sebelum mengkriminalisasi perilaku atau menjatuhkan hukuman. Konsekuensinya, terdapat penerapan aturan yang menghapus kesalahan (alasan pemaaf) atau yang membenarkan perbuatan (alasan pembenar) yang harus dijalankan dengan ketelitian agar pidana tidak dipakai secara berlebihan dan tidak adil.


Alasan Pembenar dalam Hukum Pidana

Alasan pembenar adalah keadaan yang menghapus sifat melawan hukum dari suatu perbuatan. Artinya, tindakan tersebut sebenarnya dibenarkan oleh hukum, meskipun secara lahiriah tampak sebagai tindak pidana. Contohnya terdapat dalam Pasal 49 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pembelaan diri (noodweer). Jika seseorang menyerang balik pelaku kejahatan demi melindungi diri, maka tindakannya dibenarkan. Dengan demikian, alasan pembenar menilai dari perbuatannya yang benar menurut hukum, bukan dari niat pelaku.


Contoh kasus: Seorang perempuan diserang oleh perampok di rumahnya. Dalam upaya membela diri, ia mengambil pisau dapur dan menusuk pelaku hingga meninggal dunia. Secara hukum, tindakan menusuk orang hingga tewas dapat dikategorikan sebagai pembunuhan. Namun karena dilakukan untuk mempertahankan diri dari ancaman nyata, perbuatannya dibenarkan oleh hukum dan merupakan alasan pembenar.


Alasan Pemaaf dalam Hukum Pidana

Berbeda dengan alasan pembenar, alasan pemaaf berfokus pada pelaku perbuatan pidana. Alasan ini menghapus kesalahan pelaku, meskipun perbuatannya tetap dianggap melawan hukum. Misalnya, seseorang bertindak di bawah daya paksa (overmacht) atau mengalami gangguan jiwa, sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dan Pasal 44 KUHP. Dalam kondisi tersebut, pelaku tidak bisa dipersalahkan karena kehilangan kemampuan untuk mengendalikan diri atau memahami akibat dari perbuatannya. Hukum di sini menunjukkan sisi manusiawinya dengan mempertimbangkan keadaan batin pelaku.

Contoh kasus: Seorang sopir dipaksa oleh orang bersenjata untuk membantunya melarikan diri dari lokasi perampokan dengan ancaman akan dibunuh jika menolak. Ia pun menuruti perintah tersebut dan membantu pelaku kabur. Dalam hal ini, sang sopir tetap melakukan perbuatan yang secara hukum salah, namun karena dilakukan di bawah ancaman serius, ia tidak dapat dipidana. Keadaan terpaksa seperti inilah yang menjadi alasan pemaaf dalam hukum pidana.


Perbedaan dan Pentingnya Pemahaman Terhadap Kedua Konsep Ini

Perbedaan antara alasan pemaaf dan pembenar sangat penting karena berpengaruh pada putusan akhir di pengadilan. Jika alasan pembenar diterapkan, berarti perbuatannya tidak melawan hukum sama sekali. Namun, jika alasan pemaaf berlaku, perbuatannya tetap salah, tetapi pelaku tidak dapat dijatuhi hukuman. Prinsip ini menegaskan bahwa hukum pidana tidak semata-mata bersifat menghukum, melainkan juga mencari keadilan yang berlandaskan kemanusiaan dan logika moral. Dengan memahami keduanya, masyarakat dapat lebih bijak dalam menilai suatu perbuatan pidana.


Demikian artikel mengenai “Ketika Pelaku Bisa Diampuni: Bedanya Alasan Pemaaf dan Pembenar dalam Hukum Pidana”, semoga bermanfaat! Jika kamu sudah memahami artikel di atas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis. Jangan ragu untuk menghubungi kami dan dapatkan solusi hukum terbaik untuk permasalahanmu!


Dalam hukum pidana, tidak semua pelaku tindak pidana harus dijatuhi hukuman, karena terdapat prinsip bahwa seseorang hanya dapat dipidana jika benar-benar bersalah. Prinsip ultimum remedium menegaskan bahwa pidana merupakan upaya terakhir setelah sarana lain tidak efektif, sehingga penerapan sanksi harus dilakukan secara selektif dan adil. Dalam konteks ini, dikenal dua konsep penting, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf. Alasan pembenar menghapus sifat melawan hukum dari suatu perbuatan karena tindakan tersebut dibenarkan oleh hukum, seperti pembelaan diri (Pasal 49 KUHP). Sementara itu, alasan pemaaf menghapus kesalahan pelaku meskipun perbuatannya tetap melawan hukum, misalnya karena daya paksa (Pasal 48 KUHP) atau gangguan jiwa (Pasal 44 KUHP). Pemahaman atas kedua konsep ini penting karena menentukan apakah seseorang dapat dipidana atau tidak, serta menunjukkan bahwa hukum pidana tidak hanya berorientasi pada penghukuman, tetapi juga pada keadilan dan nilai kemanusiaan.

Referensi

Jurnal

Ayuningtiyas, Fitri, Moh. Taufik, Muhammad Rizal Fahlefi, Moch. Bakhrul Ilmi, Ayu Fitriani Anas. “Implementasi Pemaafan Hakim dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Hukum Pidana Islam.” Amnesti: Jurnal Hukum Vol. 7 No. 1 (2025), hlm. 181-194.

Jap, Claudio C., dan Rahaditya R. “Implementasi Pembelaan Terpaksa (Noodweer) sebagai Alasan Penghapus Pidana dalam Kasus Penganiayaan.” Ranah Research: Journal of Multidisciplinary Research and Development Vol. 7 No. 1 (2024), hlm. 657-666.

Maulidah, Khilmatin, dan Muhammad Rizqi Hengki. “Tinjauan Yuridis Terhadap Pembelaan Terpaksa Sebagai Alasan Penghapus Pidana.” Jurnal Penelitian Serambi Hukum Vol. 16 No. 2 (2023), hlm. 1-12.

Simamora, Timothy Sutanto, dan Ade Adhari. “Batas Pelaksanaan Perintah Jabatan Sebagai Alasan Pembenar dalam Syarat Pemidanaan.” Nusantara: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial Vol. 1 No. 2 (2024), hlm. 102-118.

Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841.