Segala bentuk perundungan, pelecehan, maupun kekerasan yang dilakukan secara fisik maupun verbal tidak bisa dibenarkan dengan cara apapun. Seperti halnya yang dialami oleh Timothy Anugerah, mahasiswa semester VII ditemukan meninggal dunia di Gedung FISIP Universitas Udayana (UNUD) pada 15 Oktober 2025. Kejadian tersebut diduga karena korban mendapatkan kejadian tidak mengenakkan berupa perundungan di wilayah kampus yang terjadi secara terus-menerus. Bahkan, disaat kematiannya-pun, korban masih saja mendapatkan perundungan melalui chat grup Whatsapp. Hal ini sangat memberikan luka mendalam bagi keluarga korban, sekaligus pukulan bagi rasa kemanusiaan. Melihat hal tersebut, lantas menimbulkan pertanyaan bagaimana perlindungan hukum yang seharusnya ditegakkan bagi kasus perundungan berujung kematian seperti ini? 


Pertanggungjawaban Hukum atas Kasus Perundungan yang Berujung Kematian


Kasus kematian Timothy Anugerah akibat tindakan perundungan yang dilakukan teman-temannya bukanlah peristiwa tunggal.  Sebelumnya seorang mahasiswa spesialis program dokter (PPDS) berinisial AR (usia sekitar 30 tahun) di Fakultas Kedokteran Undip, ditemukan meninggal dunia dengan cara bunuh diri di kamar kosnya  pada 12 Agustus 2024 . Peristiwa ini diduga dipicu oleh tekanan besar akibat tindak bullying yang dilakukan oleh senior-seniornya dalam program residensi anestesi di RS Dr. Kariadi.


Sehingga kasus ini bukanlah sekadar tragedi personal, melainkan sebagai cermin dari kegagalan struktural dalam memahami dan menangani kekerasan psikis melalui perundungan di lingkungan akademik. Berdasarkan hasil pemberitaan dan investigasi awal, terdapat indikasi kuat bahwa korban mengalami perundungan secara verbal maupun sosial dalam lingkungan kampus sebelum akhirnya ditemukan meninggal dunia. 

Bahwa berdasarkan fakta-fakta yang muncul menunjukkan adanya tekanan psikologis yang berulang, yang menimbulkan penderitaan mental hingga diduga berkontribusi pada keputusan korban mengakhiri hidupnya. Situasi ini menempatkan tindakan perundungan sebagai faktor penyebab tidak langsung dari kematian korban. Namun kemudian dapatkah pelaku tindakan perundungan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana ketika berujung pada bunuh diri pada korban?


Secara normatif, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur sejumlah pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku perundungan dalam konteks ini. Pasal 310 dan 311 KUHP mengatur mengenai pencemaran dan fitnah, yang dapat diterapkan apabila bentuk perundungan dilakukan dalam bentuk penghinaan yang mencederai kehormatan seseorang di depan umum atau melalui media sosial. Jika perundungan melibatkan kekerasan fisik, Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan dapat digunakan, dengan ancaman hukuman yang lebih berat apabila mengakibatkan luka berat atau kematian. 

Pasal 55 dan 56 KUHP juga dapat menjadi dasar hukum kuat yang memungkinkan sanksi pemidanaan bagi mereka yang turut serta atau membantu melakukan tindak pidana, sehingga tidak hanya pelaku utama, tetapi juga pihak-pihak yang turut mendorong, menonton, atau membiarkan tindakan perundungan dapat dimintai tanggung jawab. 


Bahkan hal ini diatur secara lebih jelas dalam rancangan KUHP baru yang mulai berlaku pada tahun 2026, tindak pidana seperti penyiksaan psikis atau tindakan yang menyebabkan penderitaan mental diakui secara eksplisit sebagai bentuk kejahatan terhadap martabat manusia. Hal ini menunjukkan perkembangan hukum pidana Indonesia menuju pengakuan bahwa kekerasan psikis dapat memiliki akibat fatal setara dengan kekerasan fisik.

Namun, penegakan hukum mempunyai tantangan dalam membuktikan beban pembuktian kausalitas antara perundungan dan kematian seseorang. Bagi aparat penegakan hukum, tidak mudah membuktikan bahwa tindakan perundungan yang terjadi kepada korban dapat secara langsung mengakibatkan tindakan bunuh diri oleh korban. Akan tetapi ketika ditemukan adanya bukti-bukti lain yang memperkuat tindakan perundungan dilakukan secara sistematis, terencana, dan masif yang dilakukan dengan maksud untuk menimbulkan penderitaan mental berat, maka hal tersebut dapat dianggap sebagai penyebab tidak langsung (causa mediate).


Pengaturan Ideal Dalam Mencegah Tindakan Perundungan 


Sistem hukum Indonesia mengakui hak setiap warga negara untuk hidup dengan martabat dan bebas dari perlakuan yang merendahkan harkat kemanusiaan, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam konteks ini, seseorang memiliki hak atas rasa aman, perlindungan dari kekerasan, serta hak atas keadilan yang mana merupakan bagian dari hak asasi yang wajib dijamin oleh negara. 

Namun demikian, dalam praktiknya perlindungan hukum terhadap tindakan perundungan di wilayah kampus belum sepenuhnya optimal. Kelemahan utamanya terletak pada lemahnya mekanisme penegakan internal berupa kurangnya kepekaan institusi pendidikan terhadap kekerasan psikis, serta belum adanya peraturan khusus yang secara komprehensif mengatur tindak pidana perundungan, secara khusus yang dilakukan di dalam dunia kampus.


Kampus sebagai ruang pendidikan formal, memiliki tanggung jawab moral dalam menjadi pionir terhadap  pencegahan kasus perundungan dengan mendorong kesadaran pentingnya penghormatan terhadap martabat manusia, melakukan proses evaluasi mendalam dalam penegakan hukum dan moral, mengemas pembelajaran moral melalui kurikulum etika, menyediakan layanan konseling psikologis yang mudah diakses, serta menegakkan sanksi yang tegas dan  transparan bagi setiap pelaku.

Tanpa adanya penegakan sanksi yang tegas dan transparan, pelaku perundungan tidak akan mendapatkan efek jera, dan implikasi yang terjadi selanjutnya adalah korban perundungan semakin banyak, dan timbul rasa ketakutan dalam diri mereka untuk melaporkan tindakan perundungan tersebut karena telah dianggap sebagai hal yang normal.


Tindakan normalisasi tersebut juga tercermin dalam kerangka Hukum Indonesia, jika ditelaah lebih mendalam, saat ini kerangka hukum kita masih memandang tindakan perundungan hanya sebatas penganiayaan fisik atau pencemaran nama baik yang mana menjadi masalah personal antara person-to-person, bukan dilihat sebagai fenomena sosial yang harus segera diatasi. Padahal bentuk kekerasan psikis seperti intimidasi, pelecehan verbal, dan pengucilan sosial memiliki dampak traumatis yang sama beratnya dengan kekerasan fisik.

Tragedi ini harusnya menjadi momentum untuk menegaskan bahwa setiap bentuk perundungan, baik terhadap yang dilakukan secara fisik ataupun verbal merupakan pelanggaran terhadap martabat manusia yang tak bisa ditoleransi, dan memiliki akibat hukum yang diatur dalam Hukum Pidana Indonesia. 


Demikian artikel mengenai Pertanggungjawaban Hukum bagi Pelaku Perundungan Berujung Kematian, semoga bermanfaat!

Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.

Kasus kematian Timothy Anugerah, mahasiswa Universitas Udayana, membuka mata publik terhadap seriusnya dampak perundungan di lingkungan akademik. Dugaan kuat bahwa korban mengalami perundungan verbal dan sosial secara berulang hingga memicu tekanan psikologis berat menunjukkan bahwa kekerasan psikis dapat berujung fatal layaknya kekerasan fisik. Secara hukum, pelaku dapat dijerat dengan berbagai pasal dalam KUHP, termasuk pasal tentang penghinaan, penganiayaan, hingga turut serta dalam tindak pidana, bahkan diperkuat oleh KUHP baru 2026 yang mengakui penderitaan mental sebagai bentuk kejahatan terhadap martabat manusia. Namun, tantangan terbesar terletak pada pembuktian hubungan kausal antara perundungan dan kematian korban. Dalam konteks pencegahan, kampus memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk menciptakan lingkungan aman melalui penegakan sanksi tegas, edukasi etika, serta layanan konseling yang efektif. Tragedi ini menjadi pengingat bahwa perundungan, dalam bentuk apa pun, merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan martabat kemanusiaan yang harus dilawan bersama.

Referensi

Jurnal Ilmiah

Pranama, Budiarti, Sulatri, "Tindakan Bunuh Diri Korban Perundungan Dikaji Dari Pasal 345 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana" Jurnal Ilmiah Hukum, Vol.7 No.1 (2025).

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 310–311.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 351.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 55–56.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28G ayat (1).

Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 39 Tahun 1999. LN Tahun 1999 No. 165 TLN No. 3886.

Artikel Webpage

Rudi, Rifdah, “Aspek Pidana dan Perdata dalam kasus Bullying Terhadap Anak”, HukumOnline, 23 Februari 2024, Tersedia pada https://www.hukumonline.com/klinik/a/aspek-pidana-dan-perdata-dalam-kasus-bullying-terhadap-anak-lt57a0d75f6d984/, Diakses pada 20 Oktober 2025.

Aurelia, Bernadetha, “Jerat Pasal Bullying di Sekolah”, HukumOnline, 22 Februari 2024, Tersedia pada https://www.hukumonline.com/klinik/a/jerat-hukum-pelaku-bullying-terhadap-anak-lt550264153eb3a/, Diakses pada 20 Oktober 2025.

Christha, Renata, “Korban Bullying Bunuh diri, Bisakah Pelakunya Dipidana?”, HukumOnline, 25 November 2024, Tersedia pada https://www.hukumonline.com/klinik/a/korban-bullying-bunuh-diri-bisakah-pelakunya-dipidana-lt60fd73e366cb3/, Diakses pada 20 Oktober 2025.