Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah sebagai strategi pemenuhan gizi anak bangsa menghadapi tantangan serius ketika kasus keracunan massal muncul pada tahap awal implementasinya. Kejadian ini menyoroti kelemahan pengawasan mutu pangan sekaligus menimbulkan pertanyaan hukum mendasar: bagaimana prinsip perlindungan konsumen ditegakkan? Sejauh mana pelaku usaha penyedia makanan dapat dimintai tanggung jawab hukum atas kerugian kesehatan yang diderita anak-anak sebagai kelompok konsumen paling rentan?


Konseptualisasi Program Makan Bergizi Gratis

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah salah satu program prioritas Presiden Prabowo Subianto yang mulai diluncurkan pada 6 Januari 2025 melalui Badan Gizi Nasional (BGN). Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2024 tentang Badan Gizi Nasional (BGN) menjadi landasan yuridis utama dalam penyelenggaraan Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Perpres ini menetapkan BGN sebagai lembaga pemerintah non-kementerian yang berada langsung di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Tugas pokok BGN meliputi perumusan, pelaksanaan, dan pengendalian kebijakan di bidang pemenuhan gizi masyarakat secara nasional.


Dalam konteks MBG, Perpres ini memberi kewenangan kepada BGN untuk mengatur standar gizi, melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah, serta memastikan keamanan dan kualitas pangan yang disalurkan kepada peserta didik. Tujuannya adalah meningkatkan kualitas gizi anak-anak sekolah sekaligus menekan angka stunting. Program ini dijalankan secara bertahap di 26 provinsi, dimulai dari wilayah dengan angka kerentanan gizi tinggi. Sebagai program besar yang melibatkan pemerintah, sekolah, dan penyedia katering lokal, MBG diharapkan mampu memperkuat ketahanan pangan dan kesehatan generasi muda.


Kronologi Kasus Keracunan pada Implementasi Awal MBG

Kasus pertama keracunan akibat MBG tercatat pada 16 Januari 2025 di SDN Dukuh 03, Sukoharjo, Jawa Tengah, terhitung hanya sepuluh hari setelah program diluncurkan. Puluhan siswa mengalami mual, muntah, dan sakit perut usai mengonsumsi makanan dari MBG. Kejadian ini segera ditangani oleh dinas kesehatan setempat dengan memberikan perawatan medis dan mengambil sampel makanan untuk diperiksa di laboratorium. Peristiwa ini menjadi sorotan nasional karena mengguncang kepercayaan publik terhadap program yang baru berjalan.


Kasus keracunan juga dilaporkan di beberapa daerah, seperti Empat Lawang (Sumatera Selatan), Bogor (Jawa Barat), Batang (Jawa Tengah), Cianjur (Jawa Barat), PALI (Sumatera Selatan), Sragen, Garut, Kulon Progo (DIY), Bengkulu. Gejala yang dialami oleh anak-anak korban keracunan MBG umumnya meliputi mual, muntah, diare, sakit perut, pusing. Keracunan MBG utama disebabkan oleh kontaminasi bahan pangan, pertumbuhan bakteri karena suhu dan waktu yang tidak terkontrol, serta kegagalan standar keamanan pangan seperti sanitasi dan distribusi.


Analisis Tanggung Jawab Pelaku Usaha dalam Hukum Perlindungan Konsumen

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya Pasal 4 huruf a dan c, konsumen berhak memperoleh kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang atau jasa serta berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai produk yang diterima. Menurut perspektif Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), konsumen didefinisikan sebagai “setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Definisi ini tidak mensyaratkan adanya pembayaran atau transaksi komersial. Artinya, meskipun makanan dalam program MBG diberikan gratis sebagai bantuan pemerintah, penerimanya tetap memenuhi unsur “pemakai barang/jasa” sebagaimana diatur dalam UUPK. 


Dalam konteks MBG, pihak penyedia katering yang ditunjuk pemerintah melalui SPPG dikualifikasikan sebagai pelaku usaha yang wajib menjamin standar higienitas dan kualitas makanan. Pasal 19 UUPK menegaskan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability), yakni pelaku usaha wajib mengganti kerugian yang timbul akibat produk yang dihasilkan tanpa perlu konsumen membuktikan adanya kesalahan. Artinya, ketika ratusan siswa mengalami keracunan di berbagai daerah akibat makanan MBG, beban tanggung jawab langsung melekat pada vendor katering yang menyuplai makanan tersebut. Selain ganti rugi perdata, pelaku usaha juga dapat dikenai sanksi administratif, misalnya pencabutan izin, penghentian usaha, serta sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 62 UUPK apabila terbukti lalai atau dengan sengaja mengedarkan makanan yang tidak memenuhi standar keamanan.


Di sisi lain, pemerintah sebagai penyelenggara program memiliki tanggung jawab pengawasan sesuai prinsip vicarious liability, karena lalainya mekanisme kontrol distribusi dan kualitas makanan juga berkontribusi pada timbulnya kerugian konsumen. Sayangnya Perpres No 83 Tahun 2024 tidak memuat ketentuan khusus tentang tanggung jawab hukum (legal liability) seperti siapa yang secara hukum dapat dimintai pertanggungjawaban dalam kejadian keracunan akibat program, tidak ada pasal dalam Perpres tersebut yang menjelaskan ganti rugi kepada korban, sanksi pidana atau perdata terhadap penyedia makanan jika terbukti melakukan kelalaian atau pelanggaran standar keamanan pangan.


Dengan demikian, keracunan massal akibat MBG bukan hanya masalah teknis distribusi, melainkan juga merupakan pelanggaran hukum yang menuntut akuntabilitas ganda dari pelaku usaha dan pemerintah dalam kerangka perlindungan konsumen. 


Dominasi Tanggung Jawab Pemerintah tanpa Kewajiban Pelaku Usaha

Akibat banyaknya kasus keracunan, maka akhirnya munculah banyak desakan dari masyarakat agar Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dihentikan. Padahal, di luar kasus tersebut, program ini juga membawa dampak positif dengan meningkatkan gizi anak-anak sekolah secara luas. Sayangnya, fokus publik seringkali hanya diarahkan kepada pemerintah sebagai pihak penyelenggara, sementara tanggung jawab hukum pelaku usaha selaku penyedia makanan justru terabaikan. Vendor atau SPPG yang seharusnya bertanggung jawab langsung atas kualitas dan keamanan makanan bisa luput dari kewajiban memberikan ganti rugi. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka selain melemahkan posisi konsumen sebagai subjek hukum, juga menciptakan moral hazard bagi pelaku usaha, serta menggeser beban kerugian kepada negara melalui penggunaan anggaran publik. 


Lemahnya Perlindungan Konsumen

Kasus keracunan dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di berbagai daerah memperlihatkan kelemahan perlindungan konsumen. Penanganan yang dilakukan umumnya hanya sebatas pemberian perawatan medis gratis bagi korban, investigasi penyebab keracunan melalui uji laboratorium, serta evaluasi atau penghentian kontrak kerja sama dengan vendor penyedia makanan. Namun, langkah-langkah tersebut tidak menyentuh aspek pemenuhan hak konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UUPK, khususnya terkait kewajiban pemberian ganti rugi atas kerugian yang dialami.


Absennya kompensasi langsung kepada korban menandakan adanya kesenjangan serius antara norma hukum yang menekankan perlindungan menyeluruh bagi konsumen dengan implementasi kebijakan di lapangan. Akibatnya, konsumen hanya diposisikan sebagai penerima bantuan medis tanpa kepastian hukum atas hak mereka untuk mendapatkan pemulihan yang utuh, sehingga menegaskan lemahnya efektivitas hukum perlindungan konsumen. Hal ini membuktikan lemahnya implementasi hukum di lapangan, di mana konsumen hanya diposisikan sebagai objek penerima bantuan, bukan sebagai subjek hukum yang memiliki hak untuk menuntut pertanggungjawaban pelaku usaha.



Demikian artikel mengenai Keracunan MBG: Tanggung Jawab Pelaku Usaha dalam Hukum Perlindungan Konsumen, semoga bermanfaat!

Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.


Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan pemerintah pada Januari 2025 melalui Badan Gizi Nasional (BGN) bertujuan meningkatkan gizi anak sekolah dan menekan angka stunting, namun sejak awal implementasinya menghadapi kasus keracunan massal di berbagai daerah yang menyoroti lemahnya pengawasan mutu pangan. Secara hukum, penerima makanan MBG tetap dikategorikan sebagai konsumen menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sementara penyedia katering berkedudukan sebagai pelaku usaha yang wajib bertanggung jawab atas keamanan makanan berdasarkan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability). Meski demikian, praktik di lapangan menunjukkan fokus tanggung jawab lebih diarahkan pada pemerintah, sementara hak konsumen atas ganti rugi sering terabaikan dan tanggung jawab hukum pelaku usaha luput ditegakkan. Kondisi ini tidak hanya melemahkan perlindungan konsumen, tetapi juga berpotensi menimbulkan moral hazard bagi vendor serta membebankan kerugian pada negara, sehingga diperlukan akuntabilitas ganda yang jelas antara pelaku usaha dan pemerintah untuk menjamin efektivitas perlindungan hukum bagi konsumen paling rentan, yaitu anak-anak.

Referensi

Jurnal

Agustini, Ucu, Efektivitas dan Tantangan Kebijakan Program Makan Bergizi Gratis sebagai Intervensi Pendidikan di Indonesia, Jurnal Kiprah Pendidikan, Vol. 4, No. 3, (2025), him. 362-368

Aji, Wahyu Trisno, Makan Bergizi Gratis di Era Prabowo-Gibran: Solusi untuk Rakyat atau Beban Baru?, NAAFI: Jurnal Ilmiah Mahasiswa, Vol. 1, No. 3, (2025), him. 215-226.

Ciptawan, C., Budiman Ginting, Sunarmi, & Mahmul Siregar, Upaya Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Produk Yang Tidak Memenuhi Kewajiban Standar Nasional Indonesia, Locus: Jurnal Konsep Ilmu Hukum, Vol. 3, No. 1, (2023), him. 39

Manda Sari, Nadila, Bambang Sugeng Ariadi Subagyono, & Zachry Vandawati Chumaida, Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Kerugian Konsumen Akibat Kerusakan Produk, Perspektif, Vol. 28, No. 3, (2024), him. 870.

Saleh, I., Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Konsumen, Eksekusi, Vol. 1, No. 3, (2023), him. 543

Sahrul, Siti Hasanah, & Firzhal Arzhi Jiwantara, Tanggung Jawab Pelaku Usaha Berbadan Hukum Atas Kerugian Konsumen yang Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Jurnal Pro Hukum: Jurnal Penelitian Bidang Hukum Universitas Gresik, Vol. 12, No. 3, (2023), him. 2690.

Perundang-undangan

Peraturan Presiden tentang Program Makan Bergizi Gratis, Perpres Nomor 68 Tahun 2024, LN Tahun 2024 No. 102, TLN No. 7003.

Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 8 Tahun 1999, LN Tahun 1999 No. 42, TLN No. 3821.