Sumber: wwww.suara.com
Rangkap Jabatan Presiden: Ancaman bagi Prinsip Konstitusional dan Netralitas Kekuasaan
Praktik presiden yang merangkap jabatan, seperti menjadi ketua partai politik, kerap terjadi dalam setiap periode pemerintahan dan berpotensi mengganggu stabilitas penyelenggaraan negara. Dalam sistem presidensial Indonesia, posisi presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan membuat rangkap jabatan tersebut semakin sensitif karena dapat mempengaruhi netralitas dan arah kebijakan pemerintahan.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa presiden akan lebih berpihak pada kepentingan kelompok atau partainya dibanding kepentingan publik secara luas. Sejumlah presiden pernah memimpin partai politik sekaligus menjalankan fungsi eksekutif negara. Posisi presiden yang memegang kendali penuh atas jalannya pemerintahan membuat rangkap jabatan menjadi isu sensitif karena berpotensi mempengaruhi netralitas, arah kebijakan, dan stabilitas penyelenggaraan negara, sehingga menimbulkan perdebatan mengenai perlunya pengaturan hukum yang jelas.
Sejarah Rangkap Jabatan dalam Kepemimpinan Presiden
Fenomena presiden Indonesia yang merangkap jabatan sebagai ketua partai politik telah menjadi bagian dari dinamika politik nasional sejak masa awal kemerdekaan. Mengutip artikel Tempo.co tahun 2023, kala itu disebutkan bahwa daftar presiden yang menjadi ketua partai bisa saja bertambah jika Prabowo Subianto berhasil terpilih sebagai presiden. Saat berita itu terbit, Prabowo memang belum menjabat, namun kini ia telah resmi menjadi Presiden Republik Indonesia, menambah daftar panjang kepala negara yang sekaligus memimpin partai politik. Berdasarkan catatan dalam Biografi Presiden dan Wakil Presiden RI, sejumlah presiden Indonesia pernah menjabat sebagai pimpinan partai politik yang memiliki pengaruh besar dalam arah perjalanan bangsa.
Presiden pertama, Soekarno, memimpin Partai Nasional Indonesia (PNI) setelah perubahan nama dari Perserikatan Nasional Indonesia dan dikenal dengan semangat perjuangannya yang berani hingga membuatnya dijebloskan ke penjara oleh pemerintah kolonial. Soeharto, yang berlatar belakang militer, kemudian mengambil alih kepemimpinan Golongan Karya (Golkar) pada 1960-an dan menjadikan partai tersebut sebagai kekuatan utama dalam pemerintahan Orde Baru. KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur turut mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang berakar dari Nahdlatul Ulama, setelah mendengarkan aspirasi warga NU yang menginginkan wadah politik sendiri meski semula ia enggan mengaitkan organisasi keagamaan dengan politik praktis.
Jejak kepemimpinan serupa berlanjut pada Megawati Soekarnoputri yang memimpin Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sekaligus menjabat sebagai presiden. Masa kepemimpinannya di partai diwarnai konflik internal, termasuk peristiwa Kudatuli yang menjadi catatan penting dalam sejarah politik Indonesia. Susilo Bambang Yudhoyono kemudian mendirikan Partai Demokrat pada 2001 dan menjabat sebagai ketua umum setelah menjadi presiden. Kini, dengan terpilihnya Prabowo Subianto yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Partai Gerindra, sejarah kembali mencatat keterkaitan erat antara jabatan presiden dan kepemimpinan partai politik sebagai cerminan relasi kuat antara kekuasaan pemerintahan dan struktur politik di Indonesia.
Rangkap Jabatan Presiden dalam Perspektif Konstitusi Indonesia
Selanjutnya, dalam salah satu kajian jurnal Kodifikasi menjelaskan bahwa Konstitusi berfungsi sebagai dasar dan batas bagi setiap tindakan penyelenggara negara agar sesuai dengan prinsip konstitusionalisme. Dalam sistem presidensial Indonesia, presiden memegang peran sentral sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, sehingga seluruh kebijakannya harus berpijak pada konstitusi untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Prinsip pembatasan kekuasaan menuntut adanya mekanisme pengawasan terhadap eksekutif, termasuk melalui larangan rangkap jabatan yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dalam pengambilan keputusan.
Larangan rangkap jabatan presiden sebenarnya telah diatur dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Pasal 79 ayat (1) Konstitusi RIS dan Pasal 55 UUDS 1950 menegaskan bahwa presiden, wakil presiden, dan menteri tidak boleh memegang jabatan umum lain, baik di dalam maupun di luar pemerintahan. Ketentuan tersebut menunjukkan keinginan menjaga netralitas jabatan tertinggi negara dari kepentingan pribadi atau partai politik. Namun, kondisi politik yang tidak stabil saat itu membuat penerapannya tidak optimal, meski UUDS 1950 secara substansi memuat prinsip pembatasan kekuasaan yang lebih rinci dibandingkan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Pada masa Konstitusi RIS dan UUDS 1950, Indonesia menganut sistem parlementer yang membedakan antara kepala negara dan kepala pemerintahan, dimana presiden hanya berperan sebagai simbol persatuan, sedangkan pemerintahan dijalankan perdana menteri. Walau kekuasaan presiden terbatas, larangan rangkap jabatan tetap diberlakukan untuk menjaga integritas jabatan publik. Setelah UUD 1945 kembali berlaku, pengaturan yuridis mengenai larangan tersebut tidak lagi ditemukan, meskipun kekuasaan presiden semakin luas. Hal ini menegaskan perlunya pengaturan hukum yang tegas untuk memastikan kekuasaan presiden tetap berada dalam koridor konstitusi sesuai semangat pembatasan kekuasaan dan prinsip demokrasi.
Dampak Rangkap Jabatan terhadap Stabilitas dan Netralitas Pemerintahan
Kajian dalam Proceeding APHTN-HAN menegaskan bahwa karena Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental, setiap kebijakan perlu dituangkan dalam produk hukum yang mengikat. Mengacu pada teori Lawrence M. Friedman, langkah awal yang harus dilakukan adalah membentuk regulasi yang tegas membatasi dan melarang rangkap jabatan presiden sebagai ketua partai politik. Upaya ini dapat dimulai melalui amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dengan menambahkan ketentuan khusus terkait syarat jabatan presiden dan wakil presiden, sebagaimana pernah diatur dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950.
Alternatif lain adalah merevisi Undang-Undang Pemilu untuk memasukkan larangan serupa, meskipun pelaksanaannya bergantung pada political will legislatif. Kesadaran politik diperlukan karena rangkap jabatan presiden dapat menimbulkan konflik kepentingan, mengaburkan orientasi kebijakan publik, serta mengancam stabilitas dan netralitas pemerintahan. Selain langkah konstitusional dan legislatif, penguatan aturan dapat dilakukan melalui peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang berwenang menetapkan ketentuan teknis pemilu.
Pencantuman larangan rangkap jabatan dalam regulasi KPU akan menjaga integritas jabatan presiden serta mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Kesadaran pejabat negara terhadap pentingnya menjaga marwah kepresidenan menjadi kunci utama agar presiden dapat berfokus pada kepentingan nasional tanpa beban loyalitas politik. Pembatasan yang jelas melalui perangkat hukum akan memperkuat profesionalitas pemerintahan, menjamin netralitas kekuasaan eksekutif, dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem presidensial yang demokratis.
Kesimpulan
Rangkap jabatan presiden sebagai ketua partai politik menimbulkan risiko serius terhadap netralitas dan stabilitas pemerintahan karena presiden harus memimpin negara sekaligus pemerintahan. Sejarah konstitusi, termasuk Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950, telah menegaskan larangan ini, namun penerapannya tidak optimal, dan UUD 1945 saat ini tidak mengatur secara jelas. Untuk menjaga integritas dan profesionalitas presiden, diperlukan regulasi tegas melalui amandemen UUD 1945, revisi Undang-Undang Pemilu, dan peraturan teknis KPU, sehingga presiden dapat fokus pada kepentingan nasional, mempertahankan netralitas, dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem presidensial demokratis.
Demikian artikel mengenai Rangkap Jabatan Presiden Mengancam Prinsip Konstitusional Dan Integritas Sistem Ketatanegaraan, semoga bermanfaat!
Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.
Praktik rangkap jabatan presiden sebagai ketua partai politik telah lama menjadi bagian dari dinamika politik Indonesia dan menimbulkan kekhawatiran terhadap netralitas serta stabilitas pemerintahan. Sejak era Soekarno hingga Prabowo Subianto, posisi ganda ini memperlihatkan keterkaitan erat antara kekuasaan eksekutif dan kepentingan partai. Padahal, dalam sistem presidensial, presiden seharusnya berdiri netral demi kepentingan publik. Sejarah konstitusi Indonesia, seperti Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950, sebenarnya sudah melarang rangkap jabatan guna mencegah konflik kepentingan, tetapi pengaturan tersebut tidak dilanjutkan dalam UUD 1945. Karena itu, sejumlah pakar menilai perlu adanya regulasi tegas, baik melalui amandemen konstitusi, revisi Undang-Undang Pemilu, maupun aturan KPU, agar presiden dapat fokus pada kepentingan nasional dan menjaga integritas lembaga kepresidenan dalam sistem demokrasi yang sehat.
Referensi
Jurnal
Fudika, Moza Dela, Aryo Akbar, dan Ellydar Chaidir. “Politik Hukum Larangan Rangkap Jabatan Presiden Sebagai Ketua Partai Politik.” KODIFIKASI 4, no. 2 (2022): 55–65.
Winayanti, Nia Kania, dan Muhammad Sigit Ismail. “Larangan Rangkap Jabatan Presiden Sebagai Ketua Partai Politik: Upaya Menjaga Marwah Lembaga Negara.” Proceeding APHTN-HAN 2, no. 1 (2024): 353–372.
Artikel Web
Tempo.co. “Daftar Presiden Indonesia yang Pernah Menjadi Pimpinan Partai Politik.” Tempo.co – Politik Tersedia pada: https://www.tempo.co/politik/daftar-presiden-indonesia-yang-pernah-menjadi-pimpinan-partai-politik-139061. Diakses pada 7 November 2025.
Baca Artikel Menarik Lainnya!
Ketegangan Memuncak! Iran Ancam Segel Selat Hormuz...
23 June 2025
Waktu Baca: 3 menit
Baca Selengkapnya →
Sikap Tegas Pemerintah: ESDM Tanpa Toleransi Cabut...
01 November 2025
Waktu Baca: 2 menit
Baca Selengkapnya →
Apakah Karya Artificial Intelligence (AI) Bisa Did...
11 May 2025
Waktu Baca: 7 menit
Baca Selengkapnya →