Sejak turun temurun, masyarakat Minangkabau dikenal melestarikan tradisi dan kebudayaan dalam pembagian waris dengan cara yang berbeda dari kebanyakan daerah lain di Indonesia. Mereka menerapkan sistem matrilineal, yaitu pola kekerabatan yang menempatkan garis keturunan dan hak waris pada pihak perempuan. Fenomena ini menjadi menarik untuk dikaji sebagai bahan bacaan edukasi hukum tentang bagaimana hukum adat memandang sistem pembagian waris yang bertumpu pada sistem Matrilineal tersebut.


Mengenal Sistem Kekerabatan Matrilineal

Secara garis besar, sistem kekerabatan matrilineal di Minangkabau merupakan sebuah pola keturunan yang ditarik melalui pihak ibu, bukan ayah. Hal ini memiliki pengertian bahwa hampir segala sesuatu yang berurusan dalam interaksi sosial biasanya lebih didominasi oleh pihak perempuan, termasuk dalam pembagian harta waris. Melalui pola matrilineal, ini posisi perempuan memiliki kedudukan yang lebih tinggi, terkhusus dalam pembagian harta yang bernilai tinggi (pusaka tinggi) daripada laki-laki.


Namun demikian, penerapan sistem kekerabatan matrilineal tidak sepenuhnya menghilangkan peran laki-laki, akan tetapi status yang diperoleh laki laki bersifat administratif, artinya hanya bersifat mengelola daripada mewarisi atau memiliki peran yang lebih dalam mewarisi pusaka tinggi. Meskipun anak laki laki tidak mewarisi pusaka tinggi, beberapa jenis harta mereka masih memiliki hak tertentu yang diatur dan disepakati oleh Kepala Adat.


Perbedaan ini semakin terlihat ketika membedakan antara harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Pusaka tinggi, yang diperoleh dari nenek moyang dan bersifat kolektif, diwariskan kepada kaum perempuan dalam garis matrilineal dan dikelola oleh mamak (paman dari ibu), sedangkan pusaka rendah yang diperoleh melalui usaha pribadi lebih fleksibel dan dapat diwariskan kepada anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. Fenomena dan penerapan pola seperti ini menunjukkan adanya ciri yang khas antara hak kepemilikan komunal dengan hak kepemilikan individual dalam hukum adat Minangkabau, yang sekaligus memperlihatkan keunikan adat yang dimiliki oleh setiap elemen masyarakat terhadap dinamika sosial.


Secara normatif, keberadaan sistem matrilineal Minangkabau memperoleh legitimasi dari hukum nasional melalui Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), yang pada isinya mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan zaman serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal ini, Penerapan sistem kekerabatan matrilineal merupakan sebuah tradisi yang dipegang teguh, dan merupakan sebuah norma yang hidup di dalam masyarakat.


Pemahaman atas sistem kekerabatan matrilineal dalam masyarakat Minangkabau menimbulkan diskursus menarik terkait potensi sengketa pembagian waris yang kerap berbenturan dengan hukum positif Indonesia. Sehingga hal ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana hukum nasional menafsirkan dan merespons fenomena sosial tersebut dalam kerangka hukum normatif?


Bahwa dengan berdasarkan hukum ini, sistem pewarisan adat Minangkabau tetap diakui eksistensinya dalam kerangka hukum Indonesia, meskipun seringkali menimbulkan diskursus ketika berhadapan dengan sistem hukum islam yang cenderung bilateral-patrilineal. Maka, memahami sistem kekerabatan matrilineal tidak hanya berarti memahami adat Minangkabau sebagai fenomena kultural, tetapi juga sebagai realitas hukum yang masih eksis, hidup, dan berfungsi dalam tata kehidupan masyarakat hukum adat di Indonesia.


Pembagian Waris dengan Sistem Matrilineal dalam perspektif Hukum Adat

Jika ditelaah lebih dalam, sistem matrilineal Minangkabau bukan sekadar pembagian waris dalam pengertian materiil, melainkan sebagai refleksi dari tataran nilai sosial dan budaya. Kedudukan perempuan yang kuat dalam penguasaan harta menggambarkan fungsi proteksi dan kesinambungan keluarga dalam masyarakat adat.


Namun demikian, keberadaan sistem matrilineal ini kerap menimbulkan problematika ketika dihadapkan pada hukum nasional. Misalnya, dalam praktiknya, sengketa pembagian waris bisa saja terjadi apabila salah satu pihak menuntut pembagian waris berdasarkan hukum islam atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Situasi ini menimbulkan benturan yuridis antara norma adat dan norma hukum positif. Di satu sisi, UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) menjamin pengakuan terhadap masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya. Di sisi lain, hukum nasional mendorong unifikasi hukum agar tercapai kepastian hukum.


Oleh sebab itu, diperlukan pemahaman untuk menemukan titik temu dari dua sistem hukum tersebut. Hukum adat berfungsi sebagai living of law, yaitu hukum yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat, sehingga keberadaannya tidak bisa diabaikan begitu saja. Namun, persoalan muncul ketika waris adat tersebut dipersoalkan di hadapan pengadilan. Dalam praktik peradilan, hakim sering menggunakan asas konkordansi, yaitu melihat hukum adat sebagai hukum yang berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Artinya, pengakuan terhadap sistem matrilineal bukanlah mutlak, melainkan bersyarat.


Pertentangan antara hukum adat Minangkabau dan hukum nasional seringkali bukan semata masalah teks hukum, melainkan persoalan kepentingan sosial, ekonomi, dan politik. Banyak kasus memperlihatkan bahwa anggota keluarga yang lebih modern atau yang hidup di luar daerah adat Minangkabau cenderung menuntut pembagian waris sesuai hukum islam atau KUHPer, karena dianggap lebih memberikan kepastian dan keadilan individual. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun hukum adat memiliki legitimasi kultural yang kuat, tetap menghadapi tantangan modernitas dan perubahan sosial.


Dalam hal terjadi sengketa pembagian waris antara para pihak, ketika salah satu pihak menolak pembagian waris secara adat dan memilih menempuh jalur hukum positif, maka pengadilan cenderung mendahulukan hukum nasional, yakni hukum waris islam bagi yang beragama islam yang terdapat dalam Pasal 171–214 Kompilasi Hukum Islam (KHI) atau ketentuan KUHPerdata yang terdapat dalam pasal 832–1130. Sikap ini mencerminkan orientasi sistem hukum Indonesia yang pluralistik tetapi hierarkis, di mana hukum adat ditempatkan dalam posisi subordinatif terhadap hukum nasional.


Dengan demikian, keberadaan sistem matrilineal Minangkabau memang tetap mendapat ruang, tetapi tidak berdiri sebagai otoritas tunggal, ia selalu dinegosiasikan dalam batasan-batasan normatif negara modern yang mengutamakan kepastian hukum, kesetaraan hak, serta unifikasi norma. Dari sini tampak bahwa benturan antara hukum adat dan hukum nasional bukan sekadar persoalan teknis pembagian harta, melainkan juga pertarungan legitimasi antara kearifan lokal dan supremasi hukum negara.


Demikian artikel mengenai Pembagian Waris Minangkabau dalam Perspektif Hukum Adat Indonesia semoga bermanfaat!

Jika kamu sudah memahami artikel di atas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.


Masyarakat Minangkabau dikenal memiliki sistem kekerabatan matrilineal yang menempatkan perempuan sebagai pusat garis keturunan dan pewarisan harta, terutama harta pusaka tinggi yang diwariskan melalui garis ibu. Sistem ini tidak meniadakan peran laki-laki, tetapi membatasi mereka pada fungsi administratif sebagai pengelola harta. Dalam praktiknya, pembagian waris adat Minangkabau sering kali berbenturan dengan hukum nasional dan hukum Islam yang menganut sistem bilateral-patrilineal, sehingga menimbulkan problematika yuridis ketika sengketa waris diajukan ke pengadilan. Meskipun Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 mengakui keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya, penerapan hukum adat tetap bersifat terbatas dan bersyarat, tergantung pada kesesuaiannya dengan hukum positif. Dengan demikian, sistem matrilineal Minangkabau bukan hanya mencerminkan kearifan lokal dan nilai sosial budaya, tetapi juga menjadi simbol dinamika antara hukum adat yang hidup di masyarakat dan hukum nasional yang menuntut kepastian serta keseragaman norma dalam negara modern.

Referensi

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 18B ayat (2).

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Pasal 832–1130.

Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pasal 171–214.


Jurnal Ilmiah

Anam Afdoful, Mohammad Amir Hamzah, Uswatun Hasanah. “Kekuatan Mengikat Mediasi Penyelesaian Sengketa Waris Masyarakat.ARENA HUKUM 13, no. 2 (2020): 303. 

Hazar, Kusmayanti. “Penguatan Lembaga Penyelesaian Sengketa Adat Dalam Rangka Penegakan Hukum Menuju Pembaharuan Hukum Acara Perdata Di Indonesia.Universitas Padjadjaran, 2022.


Artikel Online 

Tim Hukum Online. “Pembagian Harta Waris Menurut Hukum Perdata.” Hukumonline.com. 22 Mei 2023. Tersedia pada https://www.hukumonline.com/berita/a/pembagian-harta-waris-menurut-hukum-perdata-lt6236c9ba3d767/?page=2. Diakses pada tanggal 16 Oktober 2025.

Tim Hukum Online. “Mengenal Unsur Penting dan Asas-Asas Hukum Waris Adat.” Hukumonline.com. 18 Juli 2022. Tersedia pada https://www.hukumonline.com/berita/a/asas-asas-hukum-waris-adat-lt62d4dfc5790cc/. Diakses pada tanggal 16 Oktober 2025.

Tim Hukum Online. “3 Sistem Kewarisan Adat: Individual, Kolektif, dan Mayorat.” Hukumonline.com. 24 Februari 2024. Tersedia pada https://www.hukumonline.com/berita/a/sistem-kewarisan-adat-lt6302e0a5c7e43/. Diakses pada tanggal 16 Oktober 2025.