Bayangkan penjara-penjara di Indonesia yang penuh sesak, di mana narapidana berdesakan dan pembinaan menjadi sekadar formalitas. Setiap tahun, ribuan orang masuk ke dalam jeruji besi yang bukan hanya pelaku kejahatan berat, melainkan juga mereka yang seharusnya bisa dibantu dengan rehabilitasi atau tindakan lain. Apakah penjara merupakan satu-satunya solusi? Atau, adakah cara yang lebih efektif untuk menegakkan keadilan?


Urgensi Penerapan Double Track System di Indonesia

Dewasa ini, overcapacity atau berlebihnya penghuni lembaga pemasyarakatan mencapai tingkat kritis di Indonesia. Data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan Republik Indonesia pada bulan Januari 2024 hingga Mei 2025 menunjukkan total penghuni (TP) lembaga pemasyarakatan, yakni tahanan dan narapidana, mencapai 122.037.746 orang, sementara kapasitas penghuni (KP) hanya 64.130.032 orang. Artinya, terjadi kelebihan hunian sebesar 1.9x atau hampir dua kali lipat yang tidak hanya menghambat proses pembinaan narapidana, tetapi juga berpotensi melanggar hak asasi manusia, memperburuk kondisi kesehatan, dan membebani anggaran negara secara signifikan. Dalam situasi ini, penerapan double track system dapat menjadi solusi dengan menggabungkan sanksi pidana dan tindakan sehingga memungkinkan penanganan yang lebih proporsional. Sistem ini juga dapat memberikan efek jera, mengatasi akar masalah, serta melindungi kelompok rentan yang dapat  menciptakan pemidanaan yang lebih manusiawi dan adaptif.

 

Konsep Dasar Double Track System

Double track system atau yang dikenal dengan sistem dua jalur merupakan suatu penerapan penjatuhan hukuman yang menyetarakan sanksi pidana dengan sanksi tindakan dimana jenis-jenis sanksi tersebut diterapkan dengan bersamaan. Misalnya penjatuhan sanksi pidana denda yang dibarengi dengan penjatuhan sanksi tindakan berupa rehabilitasi. Dengan kata lain, pendekatan yang digunakan tidak mengutamakan secara mutlak salah satu bentuk sanksi. Sebaliknya, keduanya dipertimbangkan secara seimbang dan proporsional sesuai dengan kondisi serta kebutuhan kasus yang dihadapi. Pendekatan ini bertujuan untuk memastikan bahwa penegakan hukum tidak hanya bersifat pembalasan (retributif), tetapi juga mengedepankan aspek keadilan dan efektivitas dalam memberikan dampak jera maupun perbaikan terhadap pelaku. 


Apa Bedanya Double Track System dan Single Track System?

Single track system adalah sistem yang hanya menggunakan satu jalur atau satu jenis pendekatan, misalnya hanya sanksi pidana penjara. Model sistem ini cenderung lebih sederhana dan efisien tetapi kurang fleksibel dalam menangani variasi kasus yang membutuhkan pendekatan berbeda. Di sisi lain, double track system menggabungkan dua jalur atau pendekatan, misalnya penjatuhan sanksi pidana denda yang dibarengi dengan penjatuhan sanksi tindakan berupa rehabilitasi sehingga lebih adaptif, fleksibel, dan mampu memberikan respons yang lebih sesuai terhadap kebutuhan atau karakteristik pelaku. Meskipun demikian, implementasinya lebih kompleks dan membutuhkan kebijakan pendukung.


Dasar Hukum Double Track System

Pengaturan mengenai double track system diatur dalam pasal-pasal yang tertera dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU KUHP) sebagai berikut:

  1. Pasal 103 Ayat (1) UU KUHP, yang berbunyi tindakan yang dapat dikenakan bersama-sama dengan pidana pokok berupa: a. konseling; b. rehabilitasi; c. pelatihan kerja; d. perawatan di lembaga; dan/ atau e. perbaikan akibat Tindak Pidana.”
  2. Pasal 103 Ayat (3) UU KUHP, “jenis, jangka waktu, tempat, dan/ atau pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dalam putusan pengadilan.”
  3. Pasal 104 UU KUHP, yang berbunyi “dalam menjatuhkan putusan berupa tindakan, hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 sampai dengan Pasal 54.”


Siapa Saja Subjek Hukum yang Dapat Dikenai Double Track System?

Perlu diketahui bahwa double track system tidak diterapkan kepada seluruh subjek hukum pidana. Hanya subjek tertentu saja yang dapat dikenakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, misalnya penyandang disabilitas mental dan/ atau disabilitas intelektual. Hal ini sebagaimana dijelaskan pada Pasal 38 UU KUHP, yang berbunyi “setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dapat dikurangi pidananya dan/atau dikenai tindakan.”


Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Double Track System

Pertimbangan hakim atas hal ini sejatinya sama seperti pertimbangan hakim pada umumnya, yaitu meliputi tiga aspek utama: yuridis, filosofis, dan sosiologis. Hal ini diperkuat oleh Pasal 104 UU KUHP yang berbunyi dalam menjatuhkan putusan berupa tindakan, hakim memperhatikan ketentuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 sampai dengan Pasal 54.. Pasal-pasal tersebut mengatur prinsip-prinsip pemidanaan, termasuk tujuan pemidanaan, dasar pertimbangan pemilihan jenis sanksi, serta syarat dan tata cara penerapan pidana dan tindakan. Dengan demikian, hakim tidak hanya memperhatikan aspek hukum formal dan fakta persidangan, tetapi juga tujuan pembinaan, perlindungan sosial, dan keadilan bagi pelaku maupun masyarakat. Dengan demikian, penerapan double track system dapat berjalan secara efektif dan proporsional.


Demikian artikel mengenai double track system dalam hukum pidana di Indonesia, semoga bermanfaat!


Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis. 

Overkapasitas lembaga pemasyarakatan di Indonesia yang mencapai hampir dua kali lipat dari kapasitas normal menimbulkan berbagai persoalan seperti pelanggaran hak asasi manusia, memburuknya kondisi kesehatan, dan beban anggaran negara. Untuk mengatasi hal ini, penerapan double track system menjadi alternatif solusi yang lebih manusiawi dan efektif. Sistem ini menggabungkan sanksi pidana dengan sanksi tindakan secara proporsional, misalnya hukuman denda yang dibarengi rehabilitasi, sehingga tidak semata-mata bersifat pembalasan, tetapi juga bertujuan pada perbaikan perilaku pelaku. Hal ini telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP dan diterapkan secara selektif, khususnya untuk pelaku dengan kondisi tertentu seperti penyandang disabilitas mental. Dengan pertimbangan yuridis, filosofis, dan sosiologis, hakim dapat memastikan pemidanaan yang adil dan sesuai kebutuhan masing-masing kasus.

Referensi

Iswara, Arya Agung, and A.A. Ngurah Oka Yudistira Darmadi. “Pengaturan Double Track System pada Ketentuan Pidana di Indonesia (Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana).” Jurnal Kertha Semaya 11, no. 3 (2023).

Setyowati, Sulis. "Efektivitas Double Track System atau Single Track System Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi di Indonesia." Rechtsregel: Jurnal Ilmu Hukum 4, no. 2 (2021).

Wiharyangti, Dwi. “Implementasi Sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan dalam Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia.” JOURNAL PANDECTA 6, no. 1 (Januari 2011).

Charinda, Donna Exsanti. “Penerapan Double Track System Pada Pemidanaan Anak Pelaku Tindak Pidana.” Tesis Magister Fakultas Hukum Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2022.

Andaru, Djarot Dimas Ahmad. “Analisis Penerapan Prinsip Siracusa dan Pelaksanaan Ketentuan International Health Regulations 2005 terhadap Kebijakan Indonesia dalam Penanganan dan Pencegahan Pandemi Covid-19.” Tesis Magister Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2021

Undang-Undang Tentang Peraturan Hukum Pidana, UU Nomor 1 Tahun 1946, sebagaimana diubah oleh UU Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Pidana, LN Tahun 2023 No. 1, TLN No. 6842.

Undang-Undang Tentang Perkawinan, UU Nomor 1 Tahun 1974, LN Tahun 1974 No. 1, TLN No. 3019, sebagaimana diubah oleh UU Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan, LN Tahun 2019 No. 186, TLN NO. 6401.