Jakarta – Pesatnya perkembangan perdagangan digital mendorong perlunya pembaruan regulasi melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Konsumen. Pemerintah dan DPR didesak segera merumuskan aturan yang relevan guna menghadapi tantangan global sekaligus memastikan perlindungan bagi konsumen di tengah pertumbuhan ekonomi digital yang kian masif.


Pada 18 Maret 2025 yang bertepatan dengan pelaksanaan Seminar Nasional Fraksi Partai Demokrat DPR RI, Wakil Ketua MPR RI, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) menjelaskan bahwa perkembangan teknologi, seperti kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), e-commerce, fintech, dan aset digital, telah mengubah lanskap perdagangan. “Teknologi memudahkan kita dalam berinteraksi dan bertransaksi, tetapi disisi lain, ia juga membawa risiko jika disalahgunakan,” ujar Ibas, yang dilansir dari mpr.go.id. Oleh karena itu, perlindungan konsumen di era digital ini menjadi semakin krusial.


Sejalan dengan hal tersebut, Komisi VI DPR RI tengah menginisiasi penyusunan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang baru sebagai pengganti UU No. 8 Tahun 1999. Regulasi lama dinilai sudah tidak lagi mampu menjawab dinamika dan kompleksitas permasalahan konsumen saat ini. Sejumlah aspek krusial seperti mekanisme penyelesaian sengketa yang belum adaptif, lemahnya sanksi hukum, serta kebutuhan akan pengaturan baru menjadi fokus utama dalam proses revisi tersebut. Hal ini juga didukung Dirjen Perlindungan Konsumen dan Tata Tertib Niaga Kementerian Perdagangan, Moga Simatupang, dalam rapat dengar pendapat di Komisi VI DPR, Kamis (24/04/2025).


Moga menegaskan bahwa “UU No. 8 Tahun 1999 belum memberikan pemahaman yang jelas tentang konsumen dan implementasinya masih kurang. Penegakan hukum lemah dan norma tidak sesuai perkembangan terkini”, sebagaimana yang disampaikan dari laman hukumonline.com.


Pada hari yang sama, Kepala Badan Keahlian DPR, Inosentius Samsul, juga memberikan pernyataan terpisah. Inosentius mengusulkan pembentukan lembaga khusus untuk perlindungan konsumen. Inosentius juga meminta untuk menambahkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam mengatur perlindungan konsumen. Meskipun cakupannya terbatas hanya pada sektor jasa keuangan, hal ini perlu diperhatikan dalam penyusunan RUU Perlindungan Konsumen. “Kami membayangkan ada lembaga perlindungan konsumen yang kuat, posisinya langsung di bawah Presiden” usulnya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR tentang progress report nasdik dan RUU Perlindungan Konsumen, Kamis (24/4/2025).


Dikutip dari niaga.asia, RUU Perlindungan Konsumen juga penting untuk memperjelas target perlindungan konsumen. Selain itu, penguatan Badan Perlindungan Konsumen (BPK) yang saat ini memiliki kewenangan yang terbatas, sebaiknya menjadi badan mandiri yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Koordinasi antar lembaga dan pengaturan yang jelas mengenai sengketa serta perlindungan konsumen dalam e-commerce dan barang impor, dengan peran pemerintah dalam pengawasan, juga menjadi indikator utama agar RUU Perlindungan Konsumen berjalan dengan efektif.


Penulis: Windi Judithia

Editor: Rahma Ardana Fara Aviva