
Sumber: ms-takengon.net
Mahasiswa Hukum Wajib Tau! Apa Itu Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia
Pernahkah kamu membayangkan seorang anak harus duduk di kursi terdakwa seperti halnya pelaku kejahatan dewasa? Di Indonesia, sistem peradilan pidana memberikan pendekatan berbeda bagi anak yang berhadapan dengan hukum, salah satunya melalui mekanisme diversi. Mahasiswa hukum wajib memahami konsep ini, karena diversi bukan sekadar istilah hukum, melainkan cerminan dari nilai keadilan restoratif yang mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak!
Siapa itu Anak Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA)
Kata “anak” memiliki pengertian yang berbeda-beda tergantung konteksnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak diartikan sebagai keturunan kedua. Definisi ini bersifat umum dan tidak membedakan berdasarkan usia maupun kondisi hukum. Sementara itu, Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) “Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.” Adapun menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”
Dalam konteks pidana di Indonesia definisi yang dipakai adalah definisi anak menurut UU SPPA yaitu anak adalah seseorang yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Lebih lanjut, UU SPPA juga memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai anak sebagai berikut::
- Anak yang Berkonflik dengan Hukum, menurut Pasal 1 Ayat (3) UU SPPA“anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.”
- Anak Korban, menurut Pasal 1 Ayat (4) UU SPPA“anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.”
- Anak Saksi, menurut Pasal 1 Ayat (5) UU SPPA “anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.”
Konsep Dasar Diversi dalam SPPA di Indonesia
Melihat beragam definisi mengenai anak yang telah dijelaskan sebelumnya, tampak jelas bahwa posisi anak dalam sistem hukum memiliki kekhususan tersendiri, terutama ketika mereka terlibat dalam perkara pidana termasuk dalam hal menghadapi proses hukum pidana. Ketika seorang anak diduga melakukan tindak pidana, pendekatan yang digunakan dalam sistem hukum Indonesia tidak disamakan dengan perlakuan terhadap pelaku dewasa. Hal ini dikarenakan anak dipandang sebagai individu yang masih berada dalam tahap perkembangan fisik maupun mental, sehingga memerlukan penanganan yang lebih manusiawi, edukatif, dan berorientasi pada pemulihan. Oleh karena itu, penyelesaian perkara pidana anak di Indonesia dirancang untuk menghindari proses peradilan yang represif dan lebih menekankan pada prinsip keadilan restoratif. Salah satu bentuk nyata dari prinsip tersebut adalah penerapan mekanisme diversi sebagai alternatif penyelesaian perkara di luar jalur peradilan formal.
Lantas, apa maknanya? Mengacu pada Pasal 1 Ayat (7) UU SPPA “diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.” Lebih lanjut, diversi menurut Jack E Bynum dalam bukunya “Jevenile Delinquency a Sociological Approach” menerangkan bahwa diversion is an attempt to divert, or channel out, youthful offenders from the juvenile system yang maknanya diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana.
Penyelenggaraan diversi tidak semata-mata dimaksudkan sebagai upaya untuk mengurangi beban peradilan pidana anak atau menghindari proses peradilan formal, melainkan memiliki tujuan yang lebih esensial dan transformatif sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU SPPA, yaitu:
- Mencapai perdamaian antara korban dan anak;
- Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;
- Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;
- Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi;
- Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Kapan Diversi Wajib Diupayakan dan Apa Saja Syaratnya?
Untuk memahami lebih dalam terkait implementasi diversi dalam sistem peradilan pidana anak, penting untuk mengetahui kapan sebenarnya diversi harus diupayakan dan apa saja syarat yang harus dipenuhi agar proses diversi dapat dilaksanakan secara sah dan efektif. Mengacu pada Pasal 7 UU SPPA diversi wajib diupayakan pada kondisi dan dengan syarat-syarat tertentu seperti:
- Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi;
- Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:
- Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun;
- Bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Berdasarkan pasal tersebut diversi wajib diupayakan secara konsisten pada semua tingkatan pemeriksaan perkara, mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan negeri, dengan syarat bahwa anak yang melakukan tindak pidana diancam dengan pidana penjara di bawah tujuh tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Implementasi secara konsisten ini bertujuan agar restorative justice benar-benar terlaksana.
Bagaimana Cara Pelaksanaan Diversi Menurut Undang-Undang SPPA dan Apa Outputnya?
Dengan memahami kapan diversi wajib diupayakan dan apa saja syarat-syarat yang harus dipenuhi, penting pula untuk mengetahui bagaimana mekanisme pelaksanaan diversi tersebut dilakukan dan apa outputnya sesuai dengan ketentuan yang ada didalam UU SPPA.
Penyelenggaran diversi dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia dilakukan melalui proses musyawarah yang melibatkan seluruh pihak terkait, seperti anak dan orang tua atau walinya, korban dan/atau orang tua atau walinya, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial profesional, serta perwakilan dan pihak lain yang berkepentingan. Musyawarah ini bertujuan untuk mencapai kesepakatan penyelesaian perkara melalui jalur non-litigasi atau diluar jalur pengadilan. Dalam pelaksanaannya, proses diversi harus mempertimbangkan sejumlah hal penting, yaitu kepentingan korban, kesejahteraan dan tanggung jawab anak, pencegahan terhadap stigma negatif, penghindaran tindakan balas dendam, terciptanya keharmonisan sosial, serta memperhatikan nilai kepatutan, norma kesusilaan, dan ketertiban umum. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Pasal 8 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) UU SPPA yang berbunyi:
- Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif;
- Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan tenaga kesejahteraan sosial, dan/atau masyarakat.
- Proses diversi wajib memperhatikan:
- Kepentingan korban;
- Kesejahteraan dan tanggung jawab anak;
- Penghindaran stigma negatif;
- Penghindaran pembalasan;
- Keharmonisan masyarakat;
- Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Apabila musyawarah diversi menghasilkan kesepakatan antara para pihak, maka penyelesaian perkara tidak dilanjutkan ke proses peradilan dan dituntaskan melalui bentuk-bentuk penyelesaian alternatif yang ditetapkan secara bersama. Kesepakatan hasil diversi ini bersifat fleksibel dan disesuaikan dengan situasi serta kebutuhan anak, korban, dan masyarakat, dengan tetap berlandaskan pada prinsip keadilan restoratif. Menurut Pasal 11 UU SPPA hasil kesepakatan diversi dapat berbentuk, antara lain:
- Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;
- Penyerahan kembali kepada orang tua/wali;
- Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
- Pelayanan masyarakat
Bagaimana Jika Proses Diversi Gagal?
Namun demikian, tidak semua proses diversi dapat mencapai kesepakatan. Dalam beberapa kasus, musyawarah tidak menghasilkan solusi yang disepakati oleh seluruh pihak.
Lantas, bagaimana jika proses diversi mengalami kegagalan? Jika proses diversi gagal, maka konsekuensinya perkara akan dilanjutkan ke tahap peradilan pidana anak. Hal ini berlaku dalam dua kondisi, yaitu apabila proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau apabila kesepakatan yang telah dicapai dalam diversi tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Hal ini sebagaimana dijabarkan oleh Pasal 13 UU SPPA yang berbunyi:
- Proses peradilan pidana Anak dilanjutkan dalam hal:
- Proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan;
- Kesepakatan diversi tidak dilaksanakan.
Oleh karena itu, penting bahwasanya setiap pihak yang terlibat dalam proses diversi benar-benar berkomitmen dan bersungguh-sungguh dalam mencapai serta melaksanakan kesepakatan yang telah dibuat. Komitmen ini menjadi krusial karena keberhasilan diversi tidak hanya berdampak pada penyelesaian perkara secara damai, tetapi juga mencegah anak terseret ke dalam proses peradilan formal yang berpotensi menimbulkan stigma dan gangguan terhadap tumbuh kembangnya.
Diversi dalam sistem peradilan pidana anak bukan sekadar mekanisme hukum alternatif, melainkan wujud nyata dari komitmen negara dalam melindungi masa depan generasi muda. Dengan menekankan pendekatan keadilan restoratif, diversi membuka ruang penyelesaian perkara yang lebih manusiawi, memperhatikan kepentingan anak dan korban secara seimbang, serta mendorong partisipasi aktif keluarga dan masyarakat. Melalui musyawarah yang inklusif dan hasil kesepakatan yang adaptif, diversi menghindarkan anak dari jeratan sistem peradilan yang kaku dan berpotensi merusak masa depannya. Namun, keberhasilan diversi sangat bergantung pada keseriusan semua pihak dalam menjunjung nilai keadilan, kemanusiaan, dan tanggung jawab bersama. Maka dari itu, bagi mahasiswa hukum dan praktisi peradilan, memahami dan mengimplementasikan diversi secara tepat bukan hanya tuntutan profesional, melainkan juga panggilan moral untuk menciptakan sistem hukum yang berkeadilan, edukatif, dan transformatif bagi anak-anak bangsa.
Demikian artikel mengenai konsep diversi dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia, semoga bermanfaat!
Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.
Diversi dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia adalah upaya penyelesaian perkara di luar pengadilan berdasarkan prinsip keadilan restoratif, yang bertujuan melindungi kepentingan terbaik anak. Diversi wajib diupayakan untuk anak pelaku tindak pidana ringan (pidana di bawah tujuh tahun dan bukan residivis) melalui musyawarah yang melibatkan pihak terkait. Jika tercapai kesepakatan, perkara diselesaikan tanpa proses peradilan; jika gagal, proses hukum berlanjut. Diversi mencerminkan komitmen negara untuk menciptakan sistem hukum yang lebih adil, manusiawi, dan mendidik bagi anak.
Referensi
Bynum, Jack E. dan William E. Thompson. Jevenile Delinquency: A Sociological Approach. Boston: Allyn and Bacon A Pearson Education Company, 2002.
Ghoni, M. R., dan P. Pujiyono. “Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum Melalui Implementasi Diversi di Indonesia.” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 2, No. 3 (2020). Hlm. 331-342.
Muliani, S., Adil Kasim, Jamaluddin Ahmad, dan Nurjannah Nonci. “Reformulasi Syarat Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia.” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 5, No. 2 (2023). Hlm. 358-373.
Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU Nomor 3 Tahun 1997, LN Tahun 1997 No. 3 TLN No. 3668 sebagaimana diubah oleh UU Nomor 10 Tahun 2011 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, LN Tahun 2011 No. 153 TLN No. 5332.
Undang-Undang Tentang, UU Nomor Nomor 23 Tahun 2002, LN Tahun 2002 No. 109 TLN No. 4235 sebagaimana diubah oleh UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, LN Tahun 2014 No. 197 TLN No. 5606.
Baca Artikel Menarik Lainnya!

Double Track System dalam Hukum Pidana? Pahami Mak...
01 June 2025
Waktu Baca: 5 menit
Baca Selengkapnya →
Perempuan Adat dan Cita-Cita Para Pendiri Bangsa:...
27 May 2025
Waktu Baca: 16 menit
Baca Selengkapnya →
Tuntutan Pemakzulan Mencuat, Pakar Menilai Posisi...
30 April 2025
Waktu Baca: 3 menit
Baca Selengkapnya →