Bekasi, Kunci Hukum – Pemerintah, melalui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, mulai Jumat (12/9/2025), memindahkan dana sebesar Rp 200 triliun dari Bank Indonesia (BI) keenam bank nasional. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan likuiditas perbankan, menghidupkan kembali aliran kredit, dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Keenam bank penerima tersebut adalah empat bank anggota Himbara (Bank Mandiri, BNI, BRI, BTN) serta dua bank syariah, yaitu Bank Syariah Indonesia (BSI) dan Bank Syariah Nasional (BSN).


Mewartakan dari detiknews.com, Menteri Keuangan, Purbaya, menyatakan bahwa penyaluran dana akan dilakukan dengan proporsi yang berbeda untuk setiap bank. “Ada enam. (Himbara ada empat), ada bank syariahnya kan dua, BSI sama kan ada satu lagi... Ada proporsinya, beda-beda. Nanti kita atur,” ujar Purbaya usai Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR. Ia memastikan proses transfer berjalan cepat, “Malam ini saya tanda tangan, besok sudah masuk ke bank-bank itu.” Pemerintah juga mengimbau agar dana ini tidak digunakan bank untuk membeli SRBI atau SBN, melainkan untuk menyalurkan kredit.


Mengutip dari cnnindonesia.com, Sejumlah pengamat merespons kebijakan ini. Senior Vice President LPPI Trioksa Siahaan menyambut positif tambahan likuiditas ini, mengingat LDR bank BUMN telah di atas 90%. “Dengan adanya tambahan likuiditas tersebut, maka dapat mendorong bank untuk menyalurkan kredit... serta harapannya adalah dapat membuka lapangan pekerjaan baru,” kata Trioksa. Namun, ia mengingatkan bahwa kebijakan ini harus didukung iklim usaha yang baik dan tidak bisa berdiri sendiri.


Pengamat Ekonomi Universitas Andalas Syafruddin Karimi membuktikan kebijakan serupa pada 2020-2021 berhasil memicu multiplier effect. Penempatan dana Rp 66,99 triliun kala itu mampu menggandakan kredit menjadi Rp 382-387 triliun. “Akses kredit murah cepat berubah menjadi perekrutan karyawan, pembelian bahan baku, dan perluasan kapasitas usaha,” ujarnya. Untuk memaksimalkan dampaknya, pemerintah disarankan menetapkan multiplier minimum, pelaporan berkala, dan clawback jika target tidak tercapai.


Di sisi lain, Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira mengingatkan adanya risiko. “Kalau bank himbaranya parkir dana di SBN, sama saja, keluar kantong kanan, pindah kantong kiri,” katanya. Bhima menyarankan agar Purbaya menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) untuk mengikat penggunaan dana agar masuk ke sektor riil, seperti sektor Energi Baru Terbarukan (EBT) yang berpotensi menciptakan 19,4 juta green jobs.


Melansir dari sindonews.com, Kebijakan ini merupakan bagian dari strategi besar Purbaya untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Dalam Great Lecture di Jakarta (11/9), ia menyatakan keyakinannya bahwa Indonesia bisa tumbuh hingga 8% dengan menggerakkan mesin negara dan swasta secara bersamaan. “Di era SBY, mesin swasta bergerak, tumbuh 6%. Di era Jokowi, mesin negara bergerak, tumbuh 5%. Bila kedua mesin digerakkan bersama, kita optimistis bisa mencapai 8%,” tegas Purbaya.


Dampak penyaluran dana ini terhadap perekonomian dan penciptaan lapangan kerja diperkirakan tidak instan, tetapi juga tidak membutuhkan waktu bertahun-tahun. Menurut proyeksi Syafruddin Karimi, likuiditas akan mengembang dalam hitungan hari, suku bunga kredit mulai turun dalam 2-8 minggu, penyaluran kredit nyata pada bulan kedua-ketiga, dan dampak makro terhadap PDB akan memuncak dalam 3-6 triwulan ke depan. Keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada implementasi yang terukur dan iklim investasi yang mendukung.


Penulis: Rofi Nurrohmah

Editor: Kayla Stefani Magdalena Tobing