Sumber: amartha.com
Umrah Mandiri dalam UU Baru: Langkah Progresif atau Risiko Baru bagi Jemaah?
Jakarta, Kunci Hukum - Babak baru dalam penyelenggaraan ibadah umrah di Indonesia telah resmi dimulai. Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (UU PIHU). Kebijakan penting ini melegalkan praktik umrah mandiri, yang memberikan pilihan bagi masyarakat untuk melaksanakan ibadah ke Tanah Suci tanpa melibatkan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) atau biro perjalanan wisata.
Langkah ini memberikan harapan baru bagi banyak calon jemaah yang menginginkan fleksibilitas dan penghematan biaya. Namun, di sisi lain, kebijakan tersebut memicu protes keras dari para pelaku usaha perjalanan umrah dan menimbulkan pertanyaan mendalam tentang perlindungan serta pengawasan terhadap jemaah.
Dasar hukum utama dari perubahan ini tercantum dalam Pasal 86 ayat 1 UU PIHU yang telah diperbarui. Sebagaimana dikatakan oleh CNN Indonesia dan CNBC Indonesia, pasal tersebut kini menyatakan, "Perjalanan Ibadah Umrah dilakukan: a. melalui PPIU; b. secara mandiri; atau c. melalui Menteri." Penambahan klausul "secara mandiri" menjadi perbedaan mendasar dari aturan sebelumnya yang secara ketat mewajibkan umrah diselenggarakan oleh PPIU yang memiliki izin resmi dari pemerintah.
Anggota Komisi VIII DPR, Selly Andriany Gantina, menjelaskan bahwa legalisasi ini merupakan langkah adaptasi pemerintah Indonesia untuk menyelaraskan dengan kebijakan baru dari Kerajaan Arab Saudi. "Alasan utama penyertaan ketentuan tentang umrah mandiri adalah karena pemerintah Arab Saudi saat ini telah memberikan izin resmi bagi pelaksanaan umrah mandiri," ujar Selly, sebagaimana dikutip dari CNN Indonesia, Jumat (24/10/2025).
Pemerintah Arab Saudi sendiri telah meluncurkan platform digital bernama Nusuk Umrah (umrah.nusuk.sa) yang memungkinkan calon jemaah dari seluruh dunia untuk merencanakan perjalanan ibadah mereka secara pribadi. Melalui platform ini, pengguna dapat memesan visa, akomodasi, transportasi, hingga paket wisata secara terpisah sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, dengan berbagai opsi pembayaran digital.
Meskipun mendapat sambutan positif dari sebagian masyarakat, legalisasi umrah mandiri ini dipandang sebagai "petir di siang bolong" oleh para pengusaha biro perjalanan. Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (DPP AMPHURI), Zaky Zakaria Anshary, menyampaikan rasa terkejut dan kecemasan mendalam dari kalangan pelaku usaha.
"Bagi ribuan pelaku PPIU/PIHK yang telah menginvestasikan modal besar, taat membayar pajak, menjalani sertifikasi dan audit berkala, serta menyediakan lapangan pekerjaan bagi jutaan orang, keputusan ini ibarat petir di siang bolong," kata Zaky dalam pernyataannya yang dimuat CNBC Indonesia.
AMPHURI prihatin bahwa kebijakan ini tidak hanya akan menggerus pangsa pasar PPIU secara signifikan, tetapi juga berpotensi membuat banyak perusahaan perjalanan wisata bangkrut. Selama ini, PPIU bertindak sebagai benteng utama dalam memastikan jemaah mendapat bimbingan, perlindungan, dan layanan yang terstandar selama berada di Tanah Suci, sebuah peran yang kini diragukan kelangsungannya.
Menanggapi perkembangan tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan sejumlah saran konstruktif. Sekretaris Jenderal MUI, Amirsyah Tambunan, menegaskan pentingnya kepastian hukum yang rinci dan terintegrasi untuk melindungi jemaah umrah mandiri.
Sebagaimana dilansir dari Kompas.com, Buya Amirsyah menyatakan bahwa regulasi turunan dari UU PIHU harus segera disusun dengan melibatkan semua pemangku kepentingan. "Penyelenggaraan umrah mandiri perlu mendapatkan kepastian hukum secara detail, meliputi regulasi yang saling terhubung dan saling mendukung antara kedua negara secara G to G (government to government) agar dapat dipastikan keamanan dan kelancaran umrah mandiri tersebut," ujarnya, Sabtu (25/10/2025).
MUI menyoroti beberapa aspek teknis yang mendesak untuk diatur. Pertama, diperlukan mekanisme pelaporan dan persyaratan yang jelas bagi jemaah mandiri. Kedua, pemerintah diharapkan segera menyediakan layanan pengaduan (hotline service) yang mudah diakses sebagai sarana perlindungan hukum jika jamaah menghadapi masalah di luar negeri. Terakhir, MUI berharap ada jaminan layanan, termasuk ketersediaan asuransi berbasis syariah yang dapat diakses oleh calon jemaah untuk mengurangi risiko.
Meskipun umrah mandiri kini sah secara hukum, pemerintah tetap menetapkan sejumlah syarat dalam Pasal 87A UU PIHU. Calon jemaah diwajibkan memiliki paspor yang berlaku minimal enam bulan, tiket pesawat pulang-pergi, surat keterangan sehat, visa yang sah, serta bukti pembelian paket layanan dari sistem informasi yang terafiliasi dengan Kementerian Haji Arab Saudi.
Pada akhirnya, legalisasi umrah mandiri menandai era baru yang menuntut keseimbangan. Di satu sisi, pemerintah membuka peluang inovasi dan efisiensi bagi jemaah. Di sisi lain, tantangan besar menanti dalam merumuskan regulasi turunan yang komprehensif untuk memastikan setiap warga negara yang berangkat ke Tanah Suci secara mandiri tetap mendapat perlindungan maksimal, tanpa mengabaikan peran penting industri PPIU yang telah lama menopang ekosistem haji dan umrah di Indonesia. Keberhasilan kebijakan ini akan sangat bergantung pada seberapa cepat dan tepat pemerintah menjawab kekhawatiran dari berbagai pihak.
Penulis: Tasya Khoerunnisa Himawan
Editor : Kayla Stefani Magdalena Tobing
Baca Artikel Menarik Lainnya!
Ribuan Ojol Demo Serentak, Tuntut Keadilan Tarif d...
20 May 2025
Waktu Baca: 2 menit
Baca Selengkapnya →
KEJATUHAN NADIEM MAKARIM: DARI GOJEK, MENTERI, HIN...
06 September 2025
Waktu Baca: 4 menit
Baca Selengkapnya →
Pemerintah Cabut 4 Izin Tambang di Raja Ampat, Sat...
10 June 2025
Waktu Baca: 2 menit
Baca Selengkapnya →