Sumber: www.detik.com
DPR dan Krisis Kepercayaan Publik: Bubarkan atau Reformasi Total?
Dewasa ini, kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah memang menurun drastis. Kesenjangan mencolok antara upah minimum rakyat dengan besarnya tunjangan lembaga legislatif menjadi salah satu pemicu utama. Ironisnya, alih-alih dioptimalkan untuk kepentingan publik, tunjangan yang besar itu kerap diasosiasikan dengan gaya hidup mewah dan perilaku berfoya-foya.
Ucapan-ucapan yang terkesan nirempati dari beberapa anggota legislatif juga semakin menyulut kemarahan rakyat. Berangkat dari rangkaian kejadian tersebut, tagar “Bubarkan DPR” kemudian bermunculan sebagai wujud protes dan kekecewaan kolektif masyarakat. Namun, sebelum menelan bulat-bulat tuntutan tersebut, penting untuk dikaji lebih dalam: sejauh mana pembubaran DPR dapat dilakukan dari perspektif hukum tata negara?
Posisi DPR dalam Undang-undang Dasar 1945
Secara konstitusional, Indonesia menganut sistem trias politica yang membagi kekuasaan menjadi pembuat hukum (legislatif), pelaksana hukum (eksekutif), dan penegak hukum (yudikatif). Sebelum amandemen, Undang-undang Dasar 1945 menaruh kekuasaan tertinggi kepada kekuasaan legislatif yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pasca reformasi, dibutuhkan kerangka konstitusi yang lebih memihak pada kedaulatan rakyat.
Alhasil, salah satu hasil dari amandemen UUD 1945 adalah perpindahan kekuasaan tertinggi menjadi pada tangan rakyat. Dalam UUD 1945 pasca amandemen, DPR ditugaskan sebagai lembaga yang membuat dan mengesahkan undang-undang bersama dengan presiden. Amanat konstitusi tersebut dimanifestasikan lewat Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 (UU 17/2014) yang merincikan fungsi DPR menjadi fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Das Sollen dan Das Sein dalam Fungsi DPR
Dalam perspektif hukum tata negara, pembubaran DPR dapat menciptakan kekosongan hukum baru terkait siapa yang berhak dan berwenang untuk menjadi pembuat hukum. Secara normatif, DPR seharusnya hadir sebagai organ konstitusional yang menjadi representasi kedaulatan rakyat. Permasalahan utama terletak pada realitanya yaitu rendahnya akuntabilitas, praktik korupsi, serta jauhnya DPR dari aspirasi masyarakat.
Di sinilah terjadi kesenjangan antara das sollen (apa yang seharusnya menurut hukum) dengan das sein (apa yang nyata terjadi di lapangan). Kesenjangan ini pula yang memantik lahirnya seruan emosional “bubarkan DPR.” Tetapi alih-alih meniadakan lembaga yang secara konstitusional vital, solusi yang lebih tepat adalah mengatasi jarak antara norma dan realitas tersebut lewat reformasi yang mendalam.
Reformasi Total Alih-alih Bubarkan
Pertama, pemilihan umum atau Pemilu adalah manifestasi utama dari tonggak demokrasi di Indonesia, sebagai tanda akan negara yang kuat demokrasinya dalam politik. Namun tanpa desain yang adil dan akuntabel, pemilu justru berisiko disalahgunakan sebagai sarana segelintir elit untuk mempertahankan kekuasaannya. Sistem proporsional terbuka saat ini seringkali hanya melahirkan kompetisi berbasis popularitas dan kekuatan modal, bukan kualitas gagasan.
Maka dari itu, reformasi bisa diarahkan pada penguatan partai politik dalam menyeleksi calon wakil rakyat, peningkatan transparansi pendanaan politik, serta perbaikan aturan ambang batas agar lebih representatif. Dengan demikian, DPR dapat diisi oleh figur yang benar-benar mencerminkan kepentingan rakyat, bukan sekadar elite politik atau oligarki.
Kedua, reformasi mekanisme rekrutmen partai politik menjadi kunci untuk memastikan DPR diisi oleh kader yang kompeten dan berintegritas. Saat ini, proses seleksi kerap terjebak pada praktik nepotisme dan patronase, sehingga kualitas representasi publik menurun. Padahal, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik mengamanatkan bahwa proses rekrutmen dan kaderisasi harus berjalan secara demokratis.
Dari perspektif demokrasi, mekanisme rekrutmen idealnya berbasis meritokrasi, menilai kapasitas, integritas, dan rekam jejak, bukan sekadar kedekatan politik atau kekuatan finansial. Dengan meritokrasi yang ditegakkan, partai politik dapat benar-benar menjadi sarana artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat, bukan sekadar kendaraan untuk mempertahankan kekuasaan yang disalahgunakan.
Terakhir, peningkatan integritas harus menjadi agenda bersama, baik bagi DPR maupun rakyat. Bagi anggota DPR, korupsi dan penyalahgunaan wewenang jelas merupakan pengkhianatan terhadap amanat konstitusi serta fungsi representasi yang diembannya. Namun, jangan sampai seolah-olah integritas hanya dibebankan pada wakil rakyat; masyarakat juga memegang peran penting.
Praktik money politics seperti “serangan fajar” hanya akan memperpanjang lingkaran setan oligarki dan melemahkan kualitas demokrasi. Maka dari itu, rakyat perlu menolak segala bentuk jual beli suara dan menggunakan hak pilihnya secara bijak. Integritas, dengan demikian, bukan hanya tanggung jawab elit politik, melainkan fondasi kolektif agar demokrasi berjalan sehat dan berkeadilan.
Kesimpulan
Kesimpulannya, pembubaran DPR bukanlah solusi yang dapat dibenarkan secara hukum tata negara karena keberadaannya merupakan pilar dalam sistem demokrasi Indonesia. Meski begitu, kritik publik terhadap kinerja DPR tetap sahih karena adanya kesenjangan antara fungsi ideal yang diamanatkan konstitusi dengan realitas praktik di lapangan.
Jalan keluar yang paling realistis adalah reformasi menyeluruh, mulai dari desain pemilu, mekanisme rekrutmen partai politik, hingga penguatan integritas wakil rakyat. Dengan demikian, energi kolektif masyarakat dapat diarahkan bukan pada tuntutan destruktif, melainkan pada upaya konstruktif untuk membangun DPR yang lebih transparan, akuntabel, dan benar-benar mewakili rakyat agar tidak mengkhianati konstitusi.
Demikian artikel mengenai perspektif hukum tata negara terhadap #BubarkanDPR, semoga bermanfaat!
Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.
Dewasa ini, turunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah, khususnya DPR, dipicu oleh kesenjangan antara kesejahteraan rakyat dengan besarnya tunjangan legislatif yang kerap dikaitkan dengan gaya hidup mewah. Seruan “Bubarkan DPR” pun bermunculan, namun secara hukum tata negara hal itu tidak dapat dibenarkan karena DPR merupakan organ konstitusional yang vital dalam sistem demokrasi Indonesia. Permasalahan sesungguhnya terletak pada kesenjangan antara fungsi ideal DPR sebagai representasi rakyat dengan realitas praktik yang sarat korupsi, nepotisme, dan rendahnya akuntabilitas. Oleh karena itu, solusi yang lebih tepat bukanlah pembubaran, melainkan reformasi menyeluruh melalui perbaikan desain pemilu, mekanisme rekrutmen partai politik yang berbasis meritokrasi, serta penguatan integritas baik dari wakil rakyat maupun masyarakat. Dengan demikian, energi kolektif rakyat dapat diarahkan pada upaya membangun DPR yang transparan, akuntabel, dan benar-benar mewakili kedaulatan rakyat sesuai amanat konstitusi.
Referensi
Buku
Indrati S., Maria Farida. Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, ed. Revisi. (Sleman: Kanisius, 2020).
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. UU Nomor 17 Tahun 2014. LN Tahun 2014 No. 182 TLN No. 5568.
Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 Partai Politik. UU Nomor 2 Tahun 2011. LN Tahun 2011 No. 8 TLN No. 5189.
Artikel Jurnal
Palenewen, Jovano Deivid Oleyver dan Murniyati Yanur, "PENERAPAN SISTEM PEMILU DI INDONESIA PASCA REFORMASI." Wacana : Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Interdisiplin Vol. 09 , No. 02 (2022).
Baca Artikel Menarik Lainnya!
POLEMIK DANA PEMDA Rp 234 TRILIUN, BI KLARIFIKASI...
23 October 2025
Waktu Baca: 4 menit
Baca Selengkapnya →
Era Baru Rupiah Dimulai: Pemerintah Targetkan RUU...
09 November 2025
Waktu Baca: 4 menit
Baca Selengkapnya →