Sumber: Harvardmagazine.com
Restorative Justice: Jalan Tengah Antara Penghukuman dan Pemulihan
Penjara bukan satu-satunya jalan dalam menyelesaikan perkara pidana, sebab Indonesia kini mengenal konsep Restorative Justice sebagai alternatif menyelesaikan perkara tanpa harus melalui persidangan.
Memahami Restorative Justice Sebagai Konsep Lama yang Terbarukan
Konsep Restorative Justice lahir dari kebutuhan untuk mencari jalan lain dalam menangani kejahatan, yaitu tidak hanya dengan menghukum pelaku, tetapi juga dengan memperhatikan pemulihan korban. Albert Eglash pada tahun 1977 memperkenalkan istilah ini dalam konteks creative restitution, dengan fokus utama pada pelaku agar bertanggung jawab melalui restitusi atau ganti rugi.
Dalam konsep ini, yang dilibatkan bukan hanya pelaku dan korban, tetapi juga keluarga, masyarakat, serta pihak berwenang (penegak hukum). Mekanisme dialog, musyawarah, atau mediasi menjadi cara utama untuk mencari solusi yang adil dan dapat diterima semua pihak.
Selanjutnya, Howard Zehr pada tahun 1990 memperluas cakupan konsep ini dengan menekankan pentingnya rekonsiliasi antara korban dan pelaku. Intinya, fokusnya bukan menghukum pelaku, tapi bagaimana mengembalikan keseimbangan dan memulihkan hubungan sosial yang rusak akibat tindak pidana.
Tujuan dari adanya konsep Restorative Justice, antara lain:
1) Mengurangi overkriminalisasi dan ketergantungan pada hukuman penjara.
2) Menghormati hak korban dengan memberi ruang bagi mereka untuk didengar dan mendapat pemulihan nyata.
3) Mendorong pertanggungjawaban pelaku yang sifatnya lebih manusiawi (bukan sekadar dipenjara).
4) Membuka partisipasi masyarakat dalam penyelesaian perkara pidana, sehingga hasilnya lebih diterima secara sosial.
Meskipun perkembangannya mengalami pasang surut, pendekatan filosofis yang menitikberatkan pada pemulihan dan rekonsiliasi ini berhasil menarik perhatian luas para ahli sosiokriminologi. Sejak saat itu, Restorative Justice berkembang menjadi sebuah gerakan global yang terus memengaruhi sistem hukum pidana di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Perkembangan Restorative Justice di Indonesia
Restorative Justice di Indonesia tidak hadir begitu saja, melainkan berkembang secara bertahap melalui berbagai aturan hukum. Awalnya, konsep ini hanya dikenal dalam sistem peradilan anak, lalu diperluas penerapannya ke perkara pidana umum melalui regulasi kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA)
Regulasi ini menjadi tonggak awal lahirnya Restorative Justice di Indonesia. Konsep diversi ini diperkenalkan sebagai upaya penyelesaian perkara anak di luar jalur peradilan formal, dengan menekankan pemulihan dan keterlibatan korban, pelaku, serta masyarakat.
2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014
Mahkamah Agung kemudian menerbitkan pedoman pelaksanaan diversi dalam sistem peradilan pidana anak. Perma ini memastikan agar penerapan Restorative Justice berjalan seragam di seluruh pengadilan anak.
3)Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2014
Diterbitkan sebagai pendukung, SEMA ini memberikan arahan teknis bagi hakim agar diversi benar-benar dijalankan sesuai prinsip keadilan restoratif.
4) Surat Edaran Kapolri Nomor 8 Tahun 2018 yang diperbarui dengan Perkapolri No. 8 tahun 2021
Polisi mulai menerapkan Restorative Justice di luar konteks anak, terutama untuk tindak pidana ringan. Perkap No. 8 Tahun 2021 menjadi regulasi penting yang memperkuat dasar hukum penyelesaian perkara pidana melalui pendekatan pemulihan.
5) Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020
Kejaksaan juga ikut melangkah dengan memberikan kewenangan kepada jaksa untuk menghentikan penuntutan perkara tertentu berdasarkan prinsip keadilan restoratif. Hal ini menegaskan bahwa Restorative Justice tidak berhenti di tingkat penyidikan, tetapi juga bisa diimplementasikan pada tahap penuntutan.
Contoh Penerapan Restorative Justice di Indonesia
Pada tahun 2024, Kejaksaan Negeri Blora menangani kasus pencurian sepeda motor yang dilakukan oleh seorang pria dewasa. Pelaku merupakan pencuri pertama kali dan tindakannya tergolong ringan, sehingga kasus ini dianggap tepat untuk diselesaikan melalui pendekatan alternatif berbasis restoratif. Pendekatan ini menekankan pemulihan hubungan antara pelaku dan korban, alih-alih hanya menghukum secara formal.
Proses penyelesaiannya dilakukan melalui mediasi yang difasilitasi oleh kejaksaan, dan melibatkan pelaku, korban, serta keluarga kedua belah pihak. Dalam mediasi ini, pelaku mengakui kesalahan, menyampaikan permintaan maaf, dan bersedia mengganti kerugian korban. Setelah tercapai kesepakatan damai yang disetujui semua pihak, kejaksaan menerbitkan keputusan penghentian perkara sehingga kasus tidak dilanjutkan ke persidangan formal sekaligus menegaskan prinsip Restorative Justice yang menitikberatkan pada pemulihan dan reintegrasi sosial.
Demikian artikel mengenai Restorative Justice: Jalan Tengah Antara Penghukuman dan Pemulihan, semoga bermanfaat!
Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.
Restorative Justice hadir sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana di Indonesia dengan menekankan pemulihan korban, pertanggungjawaban pelaku, serta rekonsiliasi sosial, bukan semata menghukum lewat penjara. Konsep yang diperkenalkan Albert Eglash (1977) dan dikembangkan Howard Zehr (1990) ini menekankan dialog, mediasi, dan keterlibatan masyarakat agar solusi yang tercapai adil bagi semua pihak. Perkembangannya di Indonesia diawali melalui UU SPPA 2012 dalam perkara anak, lalu diperluas melalui regulasi Mahkamah Agung, kepolisian, dan kejaksaan, termasuk Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 yang memungkinkan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif. Salah satu contohnya terlihat pada kasus pencurian ringan di Blora tahun 2024, di mana perkara berhasil diselesaikan lewat mediasi antara pelaku dan korban hingga tercapai kesepakatan damai. Dengan demikian, Restorative Justice tidak hanya mengurangi beban penjara dan overkriminalisasi, tetapi juga memperkuat pemulihan hubungan sosial dalam sistem hukum pidana Indonesia.
Referensi
Jurnal
Palermo, George B. “Restorative Justice: A More Understanding and Humane Approach to Offenders.” International Journal of Offender Therapy and Comparative Criminology 57, no. 9 (2013). https://doi.org/10.1177/0306624X13495009.
Wibisana, Anak Agung Ngurah Adhi, Anak Agung Gede Oka Wisnumurti, I Nyoman Putu Budiartha, and Anak Agung Sagung Laksmi Dewi. “Legal Reform on the Concept of Restorative Justice in the Criminal Justice System.” Jurnal Pembaharuan Hukum 11, no. 2 (2024): 264. https://doi.org/10.26532/jph.v11i2.32082.
Peraturan Perundang-Undangan
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 144. Jakarta: Sekretariat Negara, 2012.
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Diversi dalam Perkara Anak. Jakarta: Mahkamah Agung, 2014.
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Diversi dalam Perkara Anak. Jakarta: Mahkamah Agung, 2014.
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Restorative Justice pada Tindak Pidana Ringan. Jakarta: Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2021.
Website
Kejaksaan Agung Republik Indonesia. "Mencuri Motor untuk Pengobatan Anak, JAM-Pidum Terapkan Restorative Justice pada Perkara Pencurian di Blora." Siaran Pers, 6 November 2024. https://kejaksaan.go.id/conference/bulletin/3240/read?utm
Baca Artikel Menarik Lainnya!
Diduga Terima Gratifikasi Rp17 Miliar, Eks Sekjen...
04 July 2025
Waktu Baca: 3 menit
Baca Selengkapnya →
Prabowo Reshuffle Kabinet: 5 Menteri Diganti, 1 Ke...
09 September 2025
Waktu Baca: 3 menit
Baca Selengkapnya →
Aksi Bejat Pegawai Minimarket: Cabuli Bocah dengan...
17 June 2025
Waktu Baca: 2 menit
Baca Selengkapnya →