
Sumber: radarbali.jawapos.com
Peresmian Bale Kertha Adhyaksa: Awal Baru Penyelesaian Pidana Berbasis Hukum Adat?
Kejaksaan Negeri Bali meresmikan pendirian Bale Kertha Adhyaksa, sebuah forum penyelesaian sengketa pidana berbasis hukum adat. Inisiatif ini bukan sekadar simbol, tapi cermin nyata bahwa keadilan tak selalu harus ditegakan lewat jeruji besi. Di tengah krisis kepercayaan terhadap sistem pidana konvensional, pendekatan restoratif berbasis kearifan lokal ini menjadi angin segar dalam mewujudkan keadilan yang lebih berakar pada budaya masyarakat. Apakah ini awal dari kebangkitan hukum adat di ranah pidana?
Hukum Adat dan Tantangan Sistem Peradilan Formal
Selama ini, sistem peradilan pidana di Indonesia banyak dikritik karena terlalu menitikberatkan pada pendekatan retributif, yakni penghukuman pelaku kejahatan tanpa mempertimbangkan pemulihan hubungan sosial antara pelaku, korban, dan masyarakat. Dalam banyak kasus, terutama yang berskala ringan, penghukuman di pengadilan justru menciptakan dampak sosial baru seperti stigmatisasi, biaya tinggi, dan ketidakpuasan korban. Hal ini menciptakan jarak antara hukum formal dan kebutuhan nyata masyarakat di tingkat akar rumput.
Di sisi lain, masyarakat adat Indonesia, termasuk di Bali, telah lama mengembangkan mekanisme penyelesaian sengketa berbasis nilai-nilai lokal seperti musyawarah, mediasi, dan pemulihan relasi sosial. Bagi Masyarakat Hukum Adat (MHA), penyelesaian perkara pidana ringan seperti pencurian kecil, pertikaian antarwarga, penganiayaan ringan, atau pelanggaran norma adat lebih banyak diselesaikan melalui forum adat seperti paruman/sangkep (musyawarah), yang mengedepankan dialog antara pelaku, korban, keluarga, dan tokoh masyarakat. Fokus utamanya bukan pada hukuman badan, melainkan pemulihan hubungan dan pemenuhan rasa keadilan secara kolektif.
Namun ketika kasus semacam ini dibawa ke ranah litigasi formal, banyak MHA merasa terpinggirkan. Proses pengadilan dinilai kaku, berbelit, mahal, dan mengabaikan konteks sosial-kultural tempat pelanggaran itu terjadi. Dalam banyak pengalaman, warga adat yang terlibat dalam tindak pidana ringan cenderung tidak mendapatkan ruang untuk menyampaikan nilai-nilai lokal dalam pembelaan mereka, bahkan terkadang menghadapi kriminalisasi ganda karena adat dan hukum formal saling bertabrakan.
Dengan demikian, tantangannya bukan hanya pada perbedaan pendekatan antara hukum adat dan sistem peradilan formal, tetapi juga pada belum adanya mekanisme integratif yang mengakui legitimasi penyelesaian berbasis adat, khususnya untuk perkara ringan. Perlu ada pengakuan yang lebih tegas terhadap kewenangan komunitas adat dalam menangani sengketa pidana ringan yang terjadi di wilayah adat mereka sebuah langkah yang tak hanya merekognisi hak MHA, tetapi juga membuka jalan bagi keadilan restoratif yang lebih manusiawi dan kontekstual.
Bale Kertha Adhyaksa: Sinergi antara Hukum Adat dan Negara
Bale Kertha Adhyaksa merupakan ruang mediasi dan penyelesaian konflik pidana ringan berbasis nilai-nilai adat di tingkat desa maupun desa adat yang melibatkan kejaksaan. Forum ini dibentuk oleh Kejaksaan Tinggi Bali sebagai bagian dari implementasi keadilan restoratif yang bersinergi dengan sistem hukum adat lokal. Nama “Kertha” berarti damai atau harmoni, dan “Adhyaksa” mengacu pada institusi kejaksaan menunjukkan kolaborasi antara negara dan adat.
Bale Kertha Adhyaksa hadir sebagai ruang dialog dan mediasi antara pelaku, korban, tokoh adat, dan aparat penegak hukum. Forum ini mempertemukan prinsip restorative justice (keadilan restoratif) yang kini tengah dikembangkan Kejaksaan RI dengan sistem penyelesaian sengketa berbasis hukum adat Bali seperti:
Awig-Awig
Awig-awig merupakan aturan pokok masyarakat adat Bali yang bersifat tetap dan mengikat secara kolektif. Aturan ini menjadi pedoman utama dalam mengatur kehidupan sosial, adat, dan keagamaan di desa adat. Contohnya adalah pengaturan tata cara pelaksanaan upacara adat, pembagian tanah ulayat, serta pemberian sanksi bagi pelanggar norma adat, seperti larangan mencuri atau merusak fasilitas umum di desa.
Perarem
Pararem adalah aturan tambahan atau pelaksana dari awig-awig yang bersifat lebih fleksibel dan spesifik sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa adat. Pararem biasanya dibuat untuk mengatur hal-hal baru yang belum diatur dalam awig-awig atau sebagai solusi penyelesaian masalah tertentu. Misalnya, pararem dapat berupa larangan membakar sampah plastik di wilayah desa atau aturan jam malam bagi anak-anak muda agar menjaga ketertiban dan keamanan lingkungan.
Kerta Desa
Kerta Desa adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki wilayah dan kewenangan untuk menjalankan serta menegakkan aturan adat seperti awig-awig dan pararem. Kerta Desa berperan sebagai lembaga adat yang memimpin musyawarah dan penyelesaian berbagai persoalan sosial di desa. Contohnya, Kerta Desa mengadakan rapat adat untuk menyelesaikan sengketa seperti sengketa tanah antarwarga, dengan mengutamakan musyawarah mufakat.
Kasus-kasus ringan seperti pencurian kecil, penganiayaan sederhana, atau konflik keluarga dapat dialihkan dari proses litigasi ke forum adat, dengan peran jaksa sebagai fasilitator bersama tokoh masyarakat dan korban untuk mencapai kesepakatan damai. Forum adat ini berbeda dari mediasi pidana formal karena dijalankan oleh tokoh adat yang memiliki legitimasi sosial dan spiritual, serta berlandaskan nilai-nilai lokal yang mengikat komunitas. Tidak seperti mediasi formal yang bersifat administratif dan terbatas pada aspek hukum pelaku-korban, forum adat memulihkan keseimbangan sosial secara kolektif, mempertimbangkan dampak pada keluarga dan masyarakat, serta biasanya berlaku untuk pelanggaran ringan yang dilakukan oleh warga adat di wilayah adat mereka sendiri.
Tujuan Utamanya
Pembentukan Bale Kertha Adhyaksa tidak hanya merupakan upaya inovatif institusional oleh kejaksaan, tetapi juga merupakan langkah strategis untuk menghadirkan keadilan yang sesuai dengan keragaman sosial dan budaya Indonesia. Adapun tujuan utama dari forum ini dapat dikembangkan dalam tiga dimensi utama:
Memberikan Ruang Partisipatif bagi Masyarakat Adat
Masyarakat adat dilibatkan secara aktif dalam penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme musyawarah, dengan menghadirkan tokoh adat dan struktur sosial lokal sebagai bagian dari proses penyelesaian konflik.
Mendorong Penyelesaian yang Bersifat Pemulihan, bukan Penghukuman
Fokus utama bukan sekadar menjatuhkan sanksi, melainkan membangun kembali hubungan sosial antara pelaku, korban, dan masyarakat melalui permintaan maaf, ganti rugi, atau sanksi adat.
Mengurangi Beban Perkara di Pengadilan
Perkara pidana ringan dapat dialihkan dari proses litigasi ke penyelesaian non-yudisial, sehingga mengurangi penumpukan perkara dan meningkatkan efisiensi sistem peradilan pidana.
Landasan Yuridis
Secara yuridis, Bale Kertha Adhyaksa memiliki legitimasi melalui:
- Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Bale Kertha Adhyaksa;
- Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali;
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Pasal 18B UUD 1945;
- Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 terkait hutan.
Tantangan dan Harapan
Meski gagasan ini merupakan terobosan penting, implementasi Bale Kertha Adhyaksa tetap menghadapi sejumlah tantangan krusial. Salah satu tantangan utama adalah belum adanya pedoman teknis yang baku untuk mengatur mekanisme integrasi antara hukum adat dan hukum pidana formal, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakkonsistenan dalam penerapannya. Selain itu, terdapat kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan forum ini, terutama jika digunakan sebagai dalih untuk melindungi pelaku kejahatan berat dengan mengatasnamakan nilai-nilai adat. Di samping itu, ketimpangan juga muncul antara daerah yang memiliki struktur adat yang masih kuat dengan wilayah yang tidak memiliki sistem hukum adat yang terorganisasi secara formal, sehingga menimbulkan disparitas dalam akses dan penerapan keadilan berbasis kearifan lokal.
Namun demikian, inovasi ini patut diapresiasi sebagai wujud konkret dari sistem hukum yang adaptif terhadap konteks sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Jika dikembangkan dengan prinsip kehati-hatian, akuntabilitas, dan partisipasi aktif masyarakat adat, Bale Kertha Adhyaksa dapat menjadi model nasional dalam pembaruan sistem peradilan pidana.
Bale Kertha Adhyaksa mencerminkan langkah progresif dalam membumikan keadilan restoratif berbasis nilai-nilai lokal, khususnya hukum adat Bali. Di tengah kelembaman dan tantangan sistem peradilan pidana konvensional, forum ini membuka ruang baru yang lebih partisipatif, kontekstual, dan manusiawi terutama dalam menangani tindak pidana ringan. Sinergi antara kejaksaan dan lembaga adat bukan hanya menghadirkan alternatif penyelesaian perkara yang lebih efisien, tetapi juga merekognisi eksistensi dan kewenangan masyarakat hukum adat dalam menegakkan keadilan. Meski masih menghadapi tantangan teknis dan normatif, inisiatif ini layak menjadi model nasional dalam mewujudkan peradilan yang tidak sekadar menghukum, tapi juga menyembuhkan. Bale Kertha Adhyaksa bukan hanya forum, melainkan simbol bahwa keadilan sejati bisa berakar dari budaya sendiri.
Demikian artikel mengenai peresmian Bale Kertha Adhyaksa di Bali, semoga bermanfaat!
Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.
Peresmian Bale Kertha Adhyaksa oleh Kejaksaan Negeri Bali menjadi langkah penting dalam mengintegrasikan keadilan restoratif berbasis hukum adat ke dalam sistem pidana nasional, khususnya untuk perkara ringan. Forum ini menawarkan penyelesaian konflik yang lebih partisipatif dan manusiawi melalui mediasi adat, melibatkan tokoh masyarakat, korban, dan pelaku, serta menekankan pemulihan hubungan sosial daripada penghukuman. Dengan legitimasi hukum yang kuat dan dukungan dari masyarakat adat, inisiatif ini diharapkan mampu mengurangi beban peradilan, menguatkan peran komunitas adat, dan menjadi model alternatif peradilan berbasis kearifan lokal di Indonesia, meskipun masih menghadapi tantangan teknis dan normatif dalam penerapannya.
Referensi
Buku
Bedner, Arnscheidt dan Jacqueline Vel. “An Analytical Framework for Empirical Research on Access to Justice.” Law, Social Justice and Global Development Journal (LGD).
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Tentang Peraturan Hukum Pidana, UU Nomor 1 Tahun 1946, sebagaimana diubah oleh UU Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Pidana, LN Tahun 2023 No. 1, TLN No. 6842.
Putusan Pengadilan
Mahkamah Konstitusi. Putusan No. 35/PUU-X/2012. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dkk. (Pemohon). (2012).
Laporan
Bappenas. Kajian Penguatan Hukum Adat dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Bappenas, 2022.
Internet
Mahendro, Aryo, "Koster Teken Bale Kertha Adhyaksa, Perda Hukum Adat Segera Terbit.” detik.com. 30 Juni 2025. Tersedia pada /https://www.detik.com/bali/hukum-dan-kriminal/d-7988909/koster-teken-bale-kertha-adhyaksa-perda-hukum-adat-segera-terbit. Diakses pada tanggal 8 Juli 2025.
Kejati Bali, “Kajati Bali Meresmikan Bale Kertha Adhyaksa, Wujud Komitmen Keadilan Restoratif di Kabupaten Gianyar.” kejati-bali.kejaksaan.go.id. 21 Mei 2025. Tersedia pada https://kejati-bali.kejaksaan.go.id/berita/detail/2365. Diakses pada tanggal 8 Juli 2025.
Baca Artikel Menarik Lainnya!

Larangan Kepala BNN Kepada Anggotanya: Artis Pengg...
17 July 2025
Waktu Baca: 3 menit
Baca Selengkapnya →
Sengketa 4 Pulau Aceh-Sumut Memanas, Prabowo Siap...
15 June 2025
Waktu Baca: 2 menit
Baca Selengkapnya →
Lebih dari Sekadar Bersaksi: Pahami Jenis Saksi da...
13 July 2025
Waktu Baca: 5 menit
Baca Selengkapnya →