Sistem peradilan pidana tradisional di Indonesia, serupa dengan banyak yurisdiksi lain, secara historis cenderung mengadopsi pendekatan retributif. Dalam kerangka ini, tujuan utama pemidanaan adalah sebagai sarana pembalasan atas perbuatan jahat yang telah dilakukan. Pelaku tindak pidana dipandang sebagai pihak yang bersalah dan harus menerima balasan yang setimpal, dengan fokus utama pada penjeratan pelaku dan pencegahan tindak pidana di masa mendatang atau yang lebih dikenal dengan keadilan retributif. 


Di lain sisi, keadilan restoratif atau restorative justice (RJ) muncul sebagai respons terhadap kelemahan-kelemahan sistem tradisional tersebut. Pendekatan ini menandai pergeseran paradigma fundamental dari pembalasan menuju pemulihan, rekonsiliasi, dan restorasi hubungan yang rusak akibat tindakan kriminal. 


Semangat keadilan restoratif termaktub dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional). Undang-undang ini membawa perubahan signifikan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dengan mengedepankan pendekatan keadilan restoratif. Pendekatan ini menekankan pada pemulihan kerugian yang dialami korban dan pelaku, serta reintegrasi pelaku ke dalam masyarakat. Dalam KUHP Nasional, keadilan restoratif diwujudkan melalui berbagai mekanisme, seperti: diversi, mediasi penal, dan restorative justice conference, yang bertujuan untuk menyelesaikan perkara di luar pengadilan dan mencapai penyelesaian yang lebih adil dan berkelanjutan bagi semua pihak yang terlibat.


Adapun, penerapan hukuman pidana tidak hanya mengacu kepada pidana penjara sebagaimana tertuang dalam Pasal 65 KUHP Nasional, tetapi juga meliputi: 

a. Pidana tutupan;
b. Pidana pengawasan;
c. Pidana denda; dan
d. Pidana kerja sosial.


Lebih lanjut, penerapan hukuman pidana mengacu pada hukum yang hidup (living law) sebagaimana ketentuan Pasal 2 dan Pasal 66 KUHP Nasional terkait pemenuhan kewajiban adat setempat. Kedua pasal tersebut mengacu pada apa yang terjadi dan yang telah menjadi kebiasaan masyarakat hukum adat. Hal ini membuktikan bahwa restorative justice merupakan perpanjangan dari kebutuhan hukum 2.449 komunitas masyarakat adat dengan perkiraan jumlah populasi sebanyak 40 hingga 70 juta jiwa dari Sabang sampai Merauke.


Keadilan restoratif, dengan penekanannya pada harmoni, kebersamaan, dan pemulihan hubungan, sangat relevan dengan nilai-nilai seperti gotong royong dan musyawarah yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Para hakim bahkan diwajibkan oleh undang-undang untuk menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) dalam mengadili perkara. Kewajiban ini semakin memperkuat landasan filosofis keadilan restoratif dalam hukum indonesia.


Lantas, apa saja pengaturan restorative justice di Indonesia?



Kendati memiliki pengaturan hukum yang cukup banyak tersebar di beberapa jenis peraturan perundang-undangan, restorative justice tidak dapat diberlakukan pada seluruh jenis tindak pidana. Untuk itu, terdapat 2 jenis syarat, yakni syarat umum dan syarat khusus. Berdasarkan Perpol 8/2021 dan PERMA 1/2023, syarat umumnya adalah: 


Jenis Tindak Pidana 

Umumnya diterapkan pada tindak pidana ringan, seperti yang diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan 483 KUHP, dengan ancaman pidana maksimal tiga bulan penjara atau denda Rp2.5 juta.   


Nilai Kerugian 

Kerugian yang dialami korban tidak melebihi Rp2.500.000,00 atau upah minimum provinsi setempat.   


Ancaman Pidana 

Maksimal 5 tahun penjara dalam salah satu dakwaan.   


Pelaku 

Bukan residivis berdasarkan putusan pengadilan.   


Kesediaan Semua Pihak untuk berdamai  

Korban, pelaku, dan masyarakat (jika relevan) harus bersedia berpartisipasi dalam proses secara sukarela, tanpa paksaan atau intimidasi.   


Tidak Menimbulkan Keresahan/Konflik Sosial 

Penerapan RJ tidak boleh menimbulkan keresahan atau penolakan dari masyarakat, serta tidak berdampak konflik sosial atau memecah belah bangsa.


Tidak Ada Relasi Kuasa

Hakim tidak berwenang menerapkan RJ jika terdapat relasi kuasa antara korban dan pelaku yang dapat mempengaruhi kesukarelaan.


Selain itu, Perpol 8/2021 juga mengatur mengenai syarat khusus atas tindak pidana apa saja yang dapat melalui restorative justice, yakni:


Tindak Pidana  Anak 

Khususnya bagi anak yang berhadapan dengan hukum, diversi wajib diupayakan, terutama jika anak di bawah 14 tahun yang tidak dapat dipidana penjara.   


Tindak Pidana Narkotika 

Berlaku untuk pecandu dan korban penyalahgunaan narkoba yang mengajukan rehabilitasi, dengan syarat barang bukti untuk pemakaian satu hari, tidak terlibat jaringan pengedar, dan telah dilakukan asesmen oleh tim terpadu.   


Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik 

Pelaku bersedia menghapus konten ilegal, meminta maaf melalui video di media sosial, dan bekerja sama dengan penyidik.   


Tindak Pidana Lalu Lintas 

Kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kerugian materi dan/atau luka ringan, atau kelalaian yang mengakibatkan korban manusia/kerugian harta benda.


Demikian artikel mengenai “Keadilan Restoratif: Alternatif Penjara yang Memulihkan, Pahami Tujuan dan Syaratnya!” , semoga bermanfaat 


Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis. 

Sistem peradilan pidana di Indonesia secara historis menganut pendekatan retributif yang berfokus pada pembalasan terhadap pelaku kejahatan, namun kini mulai bertransformasi menuju keadilan restoratif (restorative justice) yang menekankan pemulihan kerugian, rekonsiliasi, dan reintegrasi sosial. Pendekatan ini diakomodasi dalam KUHP Nasional 2023 melalui mekanisme seperti diversi, mediasi penal, dan restorative justice conference, serta mengakui hukum adat (living law) sebagai bagian dari proses hukum. Keadilan restoratif dianggap selaras dengan nilai gotong royong dan musyawarah masyarakat Indonesia. Penerapannya dibatasi oleh syarat umum seperti jenis tindak pidana ringan, nilai kerugian rendah, pelaku bukan residivis, serta kesediaan semua pihak untuk berdamai secara sukarela. Terdapat pula syarat khusus untuk kasus tertentu, seperti tindak pidana anak, narkotika, ITE, dan lalu lintas. Meski tidak berlaku untuk semua kasus, keadilan restoratif menjadi langkah penting dalam membangun sistem hukum yang lebih humanis dan kontekstual di Indonesia.

Referensi

Artikel

Dwiarso Budi Santiarto (2025) “Mengenal Pembaruan Keadilan Restoratif di Pengadilan” Mahkamah Agung Repubik Indonesia https://www.mahkamahagung.go.id/id/artikel/6494/mengenal-pembaruan-keadilan-restoratif-di-pengadilan 

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana LN.2023/No.1, TLN No.6842.

Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak LN.2012/No. 153, TLN No. 5332.

Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif BN.2020/No.811.

Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif BN.2021/No.947.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif  BN 2024 (241).

Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice).