“Tersembunyi di balik gemuruh pembangunan dan janji demokrasi, ada luka yang tak kunjung sembuh di tubuh Ibu Pertiwi. Masyarakat adat, terutama perempuan, masih menanggung derita panjang yang diwariskan oleh pengabaian dan ketidakadilan. Mau sampai kapan ketidakadilan ini dilanggengkan oleh mereka yang berkuasa?”


Berpuluh-puluh tahun telah dilewati, tetapi kekerasan dan perampasan hak yang dimiliki oleh masyarakat adat tak lekang oleh waktu. Sebuah ironi yang terjadi di Indonesia yang katanya negara “demokrasi” dan mengakui hak-hak masyarakatnya, justru mempertontonkan kekerasan terhadap kelompok marginal dan melupakan fakta bahwa  2,23 dari 4,57 juta jiwa masyarakat merupakan perempuan. Keadilan di zaman ini terasa mahal—seperti barang mewah yang terpajang di etalase kekuasaan, indah dipandang namun tidak akan pernah bisa dijangkau oleh mereka yang hidup di pinggir kehidupan.


Melalui siaran pers Komnas Perempuan, tercatat 115 kasus dari 2.292 kasus kekerasan terhadap perempuan merupakan akibat sengketa tanah adat selama 20 tahun (2001-2021). Dengan kata lain, terdapat ratusan perempuan, bahkan ratusan keluarga yang sampai saat ini masih terdampak kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada mereka. Bagaimana dengan mereka yang tidak terdata? Tentu jauh lebih banyak.


Penantian yang Tak Usai...

RUU Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) sudah lebih dari satu dekade masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), tetapi belum juga disahkan hingga hari ini. Sejak tahun 2014, RUU MHA hanya bolak-balik muncul dalam daftar, tanpa pernah dijadikan prioritas. Nyatanya, UU No. 15 Tahun 2019 dan Peraturan DPR No. 2 Tahun 2020 telah mengatur dengan mekanisme penyusunan Prolegnas sebagai acuan legislasi nasional. Namun, komitmen untuk membahas RUU secara berkelanjutan sering diabaikan. RUU MHA justru terus terbengkalai sehingga menunjukkan bahwa permasalahannya adalah kurangnya kemauan politik untuk menyelesaikan persoalan mendasar yang dihadapi masyarakat adat. Pengakuan terhadap masyarakat adat hanya akan terus menjadi sebatas janji jika tidak ada upaya nyata untuk memberikan perlindungan hukum yang tepat.


Naasnya...

RUU lain seperti RUU TNI, Polri, Kejaksaan, bahkan hingga RUU BUMN, yang telah disahkan menjadi UU No. 1 Tahun 2025, menjadi contoh nyata bahwa prioritas legislasi lebih ditentukan oleh kepentingan kekuasaan, dengan mengedepankan lembaga-lembaga yang memiliki kekuatan politik daripada kebutuhan rakyat yang mendesak. Masyarakat hukum adat sering kali tidak dilihat sebagai kelompok yang memiliki kekuatan politik atau pengaruh dalam proses legislasi. Karena itulah, kebutuhan hukum mereka kerap dinomorduakan. Namun setiap kali pembahasan RUU MHA ditunda, yang terjadi bukan sekadar prosesnya yang terhenti, melainkan memperpanjang ketimpangan, pembiaran konflik agraria, dan kekerasan yang terus berlangsung tanpa jaminan perlindungan hukum.


Situasi ini menunjukkan bahwa hukum semakin menjauh dari fungsinya sebagai penjaga keadilan sosial, dan justru berubah menjadi instrumen politik yang berpihak pada kekuasaan, bukan pada mereka yang paling rentan. Ketika negara lebih dulu mengesahkan undang-undang yang memperkuat institusi yang dinilai kuat seperti aparat dan korporasi, sementara masyarakat adat terus dibiarkan menunggu tanpa kejelasan, yang terjadi adalah kekerasan struktural yang dilegalkan. Sebab, RUU MHA bukan hanya soal pengakuan atas hak-hak masyarakat adat, tetapi menyangkut hak atas tanah, warisan budaya, kelangsungan hidup, hingga martabat kolektif mereka.


Keterlambatan pengesahan RUU MHA bukan hanya memperluas ketidakadilan, tetapi juga semakin memperlihatkan kegagalan negara dalam mengutamakan mereka yang paling membutuhkan perlindungan hukum. Masyarakat adat, terutama perempuan adat, sudah terlalu lama terabaikan dalam sistem hukum yang seharusnya hadir untuk melindungi hak-hak mereka. Perempuan adat tidak hanya menjadi korban perampasan tanah, tapi juga kehilangan peran penting mereka dalam mengendalikan sumber-sumber keberlangsungan hidup untuk keluarga dan komunitas. Ketika mereka dihimpit oleh ketidakpastian hukum dan konflik agraria, mereka tidak hanya berjuang untuk tanah mereka, tetapi juga untuk masa depan mereka sebagai individu dan keluarga yang seharusnya dihargai keberadaannya. Keterlambatan ini adalah pengabaian terhadap hak dasar mereka sebagai warga negara.


Bagaimana jika RUU MHA tidak segera disahkan?

Jika pengesahan RUU MHA terus ditunda, maka itu bukan sekadar kelemahan dalam sistem legislasi, tetapi pembiaran terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang terus terjadi setiap hari. RUU MHA lebih dari sekadar pengakuan terhadap identitas masyarakat adat,  tetapi juga sebagai langkah konkret untuk memastikan mereka bisa bertahan dan berkembang tanpa ancaman terhadap kehidupan dan warisan budaya mereka. Penundaan ini bukan hanya menciptakan ketidakpastian bagi masyarakat adat, tetapi juga menunjukkan bahwa negara lebih memilih untuk memperkuat struktur kekuasaan yang ada, ketimbang mendengar suara kelompok yang paling rentan. Tanpa pengesahan RUU MHA, kita membiarkan kesenjangan hukum yang ada semakin melebar, menambah panjang daftar ketidakadilan yang dibiarkan tanpa solusi.


Diskriminasi Sistemik Terhadap Perempuan Adat

Maraknya kasus-kasus diskriminasi terhadap masyarakat hukum adat memunculkan tanda tanya tentang bagaimana komitmen pemerintah dalam mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat hukum adat sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi. Diskriminasi gender utamanya terhadap perempuan adat turut menjadi buntut dari fenomena diskriminasi terhadap masyarakat hukum adat. Diskriminasi gender sering kali disebabkan oleh sistem sosial budaya seperti patriarki yang umum ditemui dalam kehidupan masyarakat hukum adat dan cenderung memiliki legitimasi dengan adanya bingkai “adat”. Patriarki kemudian seolah menjadi efek domino yang menyebabkan jenis-jenis diskriminasi gender lainnya seperti marginalisasi, kekerasan, dan ketidaksetaraan gender terhadap perempuan adat. 


Patriarki menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai suatu jenis sistem sosial budaya dalam sistem kekeluargaan yang mengutamakan garis keturunan pihak ayah (pihak laki-laki). Dalam perspektif sosial budaya, patriarki memandang laki-laki memiliki dominasi kekuasaan terhadap segala aspek kehidupan. Perkembangan sistem sosial patriarki umumnya didasari oleh ajaran adat, tradisi, dan agama. Dengan konsepsi yang mengedepankan peran laki-laki dalam berbagai sektor kehidupan, patriarki selanjutnya menggeser peranan perempuan dalam struktur sosial yang berujung pada marginalisasi. 


Marginalisasi terhadap perempuan adat merujuk pada terpinggirkannya peranan perempuan adat sehingga status, hak, dan kesempatan mereka menjadi terbatas yang berujung pada ketidaksetaraan gender. Dalam tataran masyarakat hukum adat, sering kali perempuan adat mengalami diskriminasi sistemik, mulai dari akses pendidikan, ekonomi, hingga representasi dalam pengambilan keputusan. Budaya dalam suatu perkumpulan masyarakat yang masih memegang teguh adat dan tradisi acap kali menyebabkan perempuan adat dibatasi hak nya dalam mengambil keputusan untuk dirinya sendiri.


Perempuan adat dipaksa untuk tunduk pada aturan adat yang ada dan aspirasi mereka dianggap sebagai bentuk pembangkangan oleh karena sistem patriarki yang ada. Terbatasnya hak dan status perempuan adat di berbagai bidang kehidupan menimbulkan dampak serius yang berkepanjangan. Ketidaksetaraan akses dalam pendidikan misalnya, apabila perempuan adat tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan  yang cukup pada akhirnya akan meningkatkan ketergantungan mereka pada keluarga dan pasangannya yang berujung pada meningkatnya ketidakberdayaan dan kerentanan terhadap kekerasan berbasis gender.  


Perempuan adat berbeda dengan perempuan lainnya yang tidak terikat kehidupannya pada suatu wilayah, yang kemudian ada aturan, norma, dan peran sosial di dalam satu kesatuan. Kondisi ini menyebabkan perempuan adat tidak sama dengan perempuan modern yang lebih lantang dalam berbicara mengenai hak individu. Berbicara mengenai kekerasan berbasis gender yang terjadi pada perempuan adat sejatinya telah banyak terjadi di berbagai level, namun perempuan adat masih sulit memahami apakah mereka mengalami kekerasan berbasis gender atau tidak. Padahal, pengabaian dan peminggiran peran perempuan adat dalam masyarakat hukum adat dapat dikategorikan sebagai kekerasan berbasis gender.


Bagaimana Nasib Perempuan Adat?

Kekerasan berbasis gender terhadap perempuan adat merupakan isu yang kompleks dan memiliki karakteristik tersendiri. Salah satu bentuk yang banyak dialami adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), yang manifestasinya kerap berbeda dibandingkan dengan kasus serupa di wilayah perkotaan. Perempuan adat menghadapi hambatan struktural dan kultural dalam mengakses keadilan, terutama dalam hal pelaporan kekerasan. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa sebagian besar perkawinan mereka hanya diakui secara adat dan tidak tercatat secara resmi oleh negara. Ketidakadaan dokumen legal formal seperti buku nikah menjadi kendala utama dalam proses pelaporan ke aparat penegak hukum, sehingga banyak kasus kekerasan tidak dapat diproses lebih lanjut oleh kepolisian dan luput dari mekanisme perlindungan hukum.


Pada level lain, praktik Kawin Tangkap pada Masyarakat Adat Sumba menjadi contoh nyata fenomena kekerasan terhadap perempuan adat. Tradisi Kawin Tangkap merupakan salah satu bentuk praktik perkawinan adat yang masih dilestarikan oleh masyarakat Sumba, Nusa Tenggara Timur, khususnya oleh beberapa komunitas di wilayah pedalaman seperti Kodi dan Wawewa. Secara historis, praktik ini umumnya dilakukan oleh pria dari keluarga berada yang berkeinginan menikahi seorang perempuan tertentu, dengan catatan telah tercapai kesepakatan awal antara kedua pihak keluarga.


Kesepakatan ini menjadi landasan normatif dalam pelaksanaan tradisi tersebut. Namun demikian, dalam praktik kontemporer, kawin tangkap kerap disalahartikan dan disalahgunakan sebagai legitimasi untuk melakukan tindakan penahanan paksa atau penculikan terhadap perempuan. Fenomena ini jelas bertentangan dengan ketentuan hukum pidana serta merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia, khususnya hak-hak perempuan adat, karena mengandung unsur kekerasan dan pelecehan.


Terdapat sejumlah faktor yang memengaruhi terjadinya praktik Kawin Tangkap secara menyimpang, antara lain kondisi ekonomi, kedudukan sosial, tingkat pendidikan, serta sistem kepercayaan yang dianut masyarakat. Dalam konteks budaya Sumba, lagi-lagi praktik ini tidak dapat dilepaskan dari dominasi sistem sosial patriarki atau patrilineal yang telah mengakar secara struktural, sehingga melahirkan relasi kuasa yang hegemonik. Dalam realitasnya, pelaksanaan tradisi  Kawin Tangkap telah mengalami disonansi dengan dinamika sosial dan nilai-nilai kesetaraan gender kontemporer, di mana perempuan justru kerap menjadi pihak yang dirugikan melalui tindakan pembatasan kebebasan dan perampasan hak-haknya secara paksa. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) telah mengecam dan menyerukan penghentian praktik ini, karena dinilai sebagai bentuk kekerasan berbasis gender yang memanifestasi dalam pemaksaan perkawinan.


Perusakan wilayah adat turut menjadi wujud dari kekerasan berbasis gender yang dialami oleh perempuan adat. Perusakan wilayah adat berdampak sistemik terhadap hilangnya ruang-ruang produktif yang esensial bagi kehidupan perempuan adat, mencakup keterbatasan akses terhadap air bersih, terhambatnya pelaksanaan ritual adat, serta berkurangnya kemampuan perempuan dalam meramu obat-obatan alami. Pemenuhan kebutuhan hidup dalam komunitas masyarakat adat sangat dipengaruhi oleh peran sentral perempuan. Peran tersebut tercermin dalam perempuan adat yang turut berkontribusi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat adat, mulai dari pelestarian kearifan budaya lokal, pertanian, konservasi hutan, dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan. Namun, peran perempuan adat ini seolah tidak berarti dalam tataran masyarakat hukum adat oleh karena pengaruh sistem sosial patriarki. 


Maka dari itu eksistensi Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat menjadi semakin mendesak untuk segera disahkan mengingat perempuan adat masih mengalami diskriminasi yang bersifat sistemik, baik dalam hal akses terhadap pendidikan, ekonomi, maupun dalam representasi pada proses pengambilan keputusan. Diskriminasi ini tidak hanya terjadi dalam tatanan sosial adat dan relasi sosial sehari-hari, tetapi juga tercermin dalam kebijakan negara yang belum sepenuhnya mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat, khususnya perempuan adat. Kekerasan berbasis gender yang dialami perempuan adat kerap dilegitimasi oleh struktur adat yang patriarki, sehingga memperkuat ketidaksetaraan yang sudah mengakar.


Padahal, perempuan adat memegang peran sentral dalam keberlangsungan hidup komunitas adat, yang tampak dari kontribusi aktif mereka dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pelestarian budaya lokal, pertanian, konservasi hutan, hingga pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Sayangnya, hak-hak kolektif perempuan adat belum mendapatkan pengakuan secara eksplisit dalam kebijakan nasional, yang membuat mereka rentan terpinggirkan baik dalam forum adat maupun dalam ruang-ruang pengambilan kebijakan di tingkat negara.


RUU MHA sebagai Amanat Konstitusi dan UU HAM

Eksistensi RUU Masyarakat Adat sebagai “tameng” hukum bagi Masyarakat Hukum Adat (selanjutnya disebut MHA) di Indonesia begitu dipentingkan pembahasan dan pengesahannya karena merupakan perwujudan atas cita-cita para pendiri bangsa kita, yakni upaya dalam menciptakan rasa kemanusiaan yang penuh adab serta keadilan sosial yang merata dan tak pandang bulu bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya bagi perempuan adat di dalam MHA. Kedua sila tersebut menandakan keseriusan para pendahulu kita dalam memperjuangkan nasib kaum yang saat ini terpinggirkan oleh keadaan akibat ketiadaan payung hukum yang memadai.


 Padahal, pelindungan terhadap MHA sudah dijamin secara fundamental oleh konstitusi kita, yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Dalam konstitusi tersebut, MHA wajib diakui dan dihormati atas hak-hak tradisionalnya oleh negara, yang dalam hal ini adalah Pemerintah RI. Memang, terdapat beberapa persyaratan bagi MHA untuk mendapatkan legitimasi dari pemerintah. Namun, hal tersebut jangan sampai menjadi “pisau bermata dua” yang mana tidak hanya beneficial bagi dasar pelindungan MHA, tetapi juga menjadi “celah” bagi Pemerintah untuk menyepelekan hak-hak tradisional MHA, tak terkecuali perempuan adat.


Kontradiksi Pelindungan MHA dalam UU HAM

Beranjak dari sumber hukum tertinggi sebelumnya, pelindungan terhadap MHA juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM). Dalam peraturan tersebut, negara wajib melakukan upaya penegakan HAM terhadap MHA dengan memperhatikan serta melindungi MHA, khususnya dari segi perbedaan dan kebutuhan mereka. Berdasarkan ketentuan tersebut, negara seakan-akan telah mengakomodasi perbedaan perlakuan yang diterima dan kebutuhan akan adanya payung hukum bagi MHA, khususnya perempuan adat. Nyatanya, gap yang timbul atas das sollen tersebut malah semakin besar dengan penjelasan pasal dan ayat itu sendiri yang berbunyi, 


Hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan hak asasi manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang-undangan.


Pertanyaannya, bagaimana bisa negara melindungi hak-hak MHA termasuk hak perempuan adat di dalamnya dengan landasan hukum dan peraturan perundang-undangan apabila landasannya belum dibentuk dan disempurnakan secara maksimal? Jawabannya bisa, tetapi output pelindungannya juga serupa, yakni tidak maksimal pula.


RUU MHA sebagai 'Obat'

Membicarakan pelindungan maksimal, tentu RUU Masyarakat Adat yang sedari awal ditegaskan untuk segera disahkan merupakan jawaban terbaiknya. Sebagaimana adagium hukum yang berbunyi lex semper dabit remedium, hukum hadir laksana “obat” dalam “menyembuhkan” permasalahan hukum yang sedang terjadi. RUU Masyarakat Adat hadir melalui seperangkat kaidah hukumnya sebagai upaya untuk mewujudkan kepastian hukum yang merata bagi seluruh komponen penyusun masyarakat Indonesia, khususnya MHA dan perempuan adat di dalamnya.

Dalam aturan yang masih berupa draf ini, setidaknya terdapat spesifikasi atas upaya negara, yang dalam hal ini Pemerintah RI, untuk menjamin eksistensi dari MHA melalui tiga cara, yakni:

  1. pengakuan;
  2. perlindungan; dan
  3. pemberdayaan


Ketiga upaya tersebut merupakan “angin segar” bagi MHA, karena setelah puluhan tahun terabaikan akibat ketiadaan langkah konkrit dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya, mereka pada akhirnya mulai diperhatikan. Bahkan, ketiga upaya tersebut juga diwarnai asas kesetaraan gender, yang mana mengakomodasi keresahan para perempuan adat yang hak-haknya sering kali “dinodai” seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya.


Dalam upaya pengakuan terhadap MHA, Pemerintah RI yakni Pemerintah Pusat yang berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah akan melakukan pendataan terhadap tiap komunitas MHA yang masih tumbuh dan berkembang di wilayah RI, dengan catatan:

  1. memiliki komunitas tertentu yang hidup berkelompok dalam suatu bentuk paguyuban, memiliki keterikatan karena kesamaan keturunan dan/atau teritorial; 
  2. mendiami suatu wilayah adat dengan batas tertentu secara turun temurun; 
  3. mempunyai kearifan lokal dan identitas budaya yang sama; 
  4. memiliki pranata atau perangkat hukum dan ditaati kelompoknya sebagai pedoman dalam kehidupan Masyarakat Adat; dan/atau 
  5. mempunyai Lembaga Adat yang diakui dan berfungsi.

Setelah melalui pendataan, tiap anggota komunitas MHA tersebut akan melalui empat tahapan untuk menyelesaikan keseluruhan proses pengakuan, yakni: 


identifikasi → verifikasi → validasi → penetapan


Pelindungan terhadap MHA, tak terkecuali perempuan adat, oleh Pemerintah RI akan berlaku setelah dikeluarkannya penetapan yang merupakan tahap akhir dari proses pengakuan. Adapun, pelindungan tersebut terdiri atas beberapa aspek, yakni:

  1. perlindungan terhadap wilayah adat; 
  2. perlindungan sebagai subyek hukum; 
  3. pengembalian Wilayah Adat untuk dikelola, dimanfaatkan, dan dilestarikan sesuai dengan adat istiadatnya; 
  4. pemberian kompensasi atas hilangnya hak Masyarakat Adat untuk mengelola Wilayah Adat atas izin Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya; 
  5. pengembangan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup; 
  6. peningkatan taraf kehidupan Masyarakat Adat; 
  7. pelestarian kearifan lokal dan pengetahuan tradisional; dan 
  8. pelestarian harta kekayaan dan/atau benda adat.


Terakhir, MHA akan mendapatkan pemberdayaan melalui lima cara setelah sebelumnya telah diakui dan dilindungi, yakni:

  1. peningkatan kualitas sumber daya manusia; 
  2. pelestarian budaya tradisional; 
  3. fasilitasi akses untuk kepentingan Masyarakat Adat; 
  4. usaha produktif; dan 
  5. kerjasama dan kemitraan. 


Berdasarkan ketiga upaya di atas, Pemerintah RI, yang dalam hal ini Pemerintah Pusat bersama dengan Pemerintah Daerah, telah menciptakan peraturan perundang-undangan yang sedemikian rupa ditujukan untuk mengakui, melindungi, dan memberdayakan MHA, tak terkecuali perempuan adat. Oleh karena itu, penundaan terhadap pengesahan draf RUU ini, dengan alasan apapun, hanya akan memperburuk situasi berupa kesenjangan sosial yang timbul dari ketidakadilan yang telah menimpa mereka selama puluhan tahun ini.


Regulasi Internasional tentang MHA

Beralih dari undang-undang yang belum “lahir”, sebenarnya ketentuan mengenai pelindungan terhadap MHA dan perempuan adat di dalamnya telah diatur pada konvensi internasional yakni United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples 2007 (selanjutnya disebut UNDRIP 2007). Dalam UNDRIP 2007, hak-hak MHA, khususnya para perempuan adat, tergambar jelas pada ketentuan yang mengharuskan negara-negara yang tunduk pada konvensi tersebut untuk memperhatikan secara lebih seksama terkait hak-hak dan kebutuhan khusus para perempuan adat dalam konteks pemajuan kondisi ekonomi dan sosial. Penggunaan frasa “effective and specific measures” atau “langkah-langkah yang efektif dan spesifik” menandakan bahwa fokus negara yang tunduk pada konvensi, yang dalam hal ini Indonesia selaku salah satu negara yang ikut menandatangani dan mendukung pengesahan UNDRIP pada kurang lebih 18 tahun silam, seharusnya juga linear dengan perintah yang tertera dalam aturan tersebut.


Bahkan, UNDRIP 2007 sampai membedakan landasan pemberian perhatian terfokus kepada MHA tak terkecuali perempuan adat, yang mana jika pada ketentuan sebelumnya didasarkan pada upaya peningkatan kondisi sosio-ekonomi suatu negara, jaminan atas pemenuhan hak-hak kaum yang termarjinalkan tersebut juga harus tetap digalakkan apapun kondisinya. Selain itu, konvensi ini juga menegaskan terkait kewajiban pemberian pelindungan dan jaminan yang maksimal dari marabahaya berupa kekerasan dan diskriminasi sosial. 


Dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang telah dipaparkan, mulai dari nasional hingga internasional, baik yang sudah berlaku maupun yang belum berlaku alias masih berupa draf, apakah urgensi pengesahan RUU Masyarakat Adat sebagai garda terdepan dalam pelindungan atas hak-hak MHA termasuk perempuan adat di dalamnya masih kurang kuat?


Masih Berdiri dan Menuntut Keadilan

Ketidakadilan terhadap perempuan adat merupakan konsekuensi dari ketiadaan regulasi yang berpihak dan berpandangan keadilan sosial. Dalam negara hukum yang menjunjung keadilan, tidak ada pembenaran atas pengabaian berulang terhadap komunitas yang paling terdampak. Banyak suara-suara yang masih terpinggirkan dan perlu didengar oleh mereka yang di atas. 


Sebagaimana yang tercantum pada sila kelima dasar negara Indonesia, keadilan sosial harus ditegakkan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Mengapa perempuan yang menempati posisi sentral pada tatanan masyarakat adat dan menjadi pelanggeng tradisi justru menjadi kelompok yang termarjinalkan? Masih banyak tanda tanya lainnya yang butuh kejelasan dan payung hukum harus segera direalisasikan untuk melindungi mereka yang tertindas. Mau sampai kapan para elit politik duduk santai di singgasana, sementara jeritan rakyat terhempas angin tanpa jawab?



Daftar Pustaka

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UUD 1945, Preambule, Pancasila.

Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 39 Tahun 1999, LN Tahun 1999 No. 165 TLN No. 3886

Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat.

Peraturan Internasional

United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (ditandatangani 13 September 2007).


Jurnal

Darmawan, A. B., & Virgy, M. A. (2023). Urgensi pengesahan RUU MHA melalui kerangka indigenous environmental justice: Studi kasus pembangunan pabrik semen di Kendeng. Jurnal Pemikiran Sosiologi, 10(2), 63–63. https://doi.org/10.22146/jps.v10i2.82649


Juliani, W. (2025). ADAT KAWIN TANGKAP MASYARAKAT SUMBA SEBAGAI BENTUK NYATA KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP PEREMPUAN: Bride-Napping Tradition by Sumbanese as A Real Form of Sexual Violence Against Woman. Jurnal Globalisasi Hukum, 2(1), 90–108. https://doi.org/10.25105/


Qorry, U., Safitri, D., & Sujarwo, S. (2025). MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM SISTEM PATRIARKI. Jurnal Intelek Insan Cendikia, 2(5), 7819–7826. https://doi.org/10.46306/jabb.v4i1


Rato, D. (2021). PERLINDUNGAN HAM MASYARAKAT HUKUM ADAT YANG BHINNEKA TUNGGAL IKA DI ERA DIGITAL: Majalah Hukum Nasional, 51(2), 155–178. https://doi.org/10.33331/mhn.v51i2.147


Virgy, M. A., Putri, A., Naufal, F. A., & Wardhana, A. (2021). MADANI INSIGHT MENAKAR PERKEMBANGAN RUU MASYARAKAT HUKUM ADAT. https://madaniberkelanjutan.id/wp-content/uploads/2022/07/Madani-Insight-Menakar-Perkembangan-RUU-Masyarakat-Hukum-Adat-Juni-2021_compressed.pdf


Warta Feminis. (2022). Dialog nasional PEREMPUAN AMAN: Perempuan adat mengalami kekerasan berbasis gender. Jurnal Perempuan. https://www.jurnalperempuan.org/warta-feminis/dialog-nasional-perempuan-aman-perempuan-adat-mengalami-kekerasan-berbasis-gender


Website

Afifah, D. (2021, September 9). Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah jalan menuju kesetaraan. Www.djkn.kemenkeu.go.id. https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-lampung/baca-artikel/14208/Pengarusutamaan-Gender-PUG-adalah-Jalan-Menuju-Kesetaraan.html


Laporan

AMAN. (2020). Policy brief RUU masyarakat adat 2020: menjalin benang konstitusi menuju pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Indonesia. Aman.or.id. https://www.aman.or.id/publication-documentation/166



Penyunting: Inez Miriam Nurul Hikmah, Davida Diva Teo Sasmito, Ardhana Zaky Nur Effendi

Editor: Ardhana Zaky Nur Effendi


Disusun oleh Kunci Hukum Indonesia dan Girl Up Universitas Indonesia.