Dalam era usaha kecil dan menengah yang terus berkembang, pemahaman tentang struktur badan usaha menjadi sangat krusial bagi mahasiswa hukum maupun praktisi bisnis. Badan usaha non-badan hukum sering dipilih karena kemudahan pendirian dan biaya yang lebih rendah dibandingkan badan hukum seperti Perseroan Terbatas (PT). Namun, dibalik kemudahan tersebut, terdapat risiko tanggung jawab pribadi yang tinggi karena harta sekutu menjadi jaminan bagi seluruh kewajiban perusahaan.


Artikel ini bertujuan memberikan gambaran ringkas namun komprehensif mengenai bentuk-bentuk badan usaha non-badan hukum, yakni persekutuan perdata, firma, dan persekutuan komanditer. Sehingga, pembaca dapat memahami karakteristik, prosedur pendirian, serta implikasi hukum masing-masing bentuk usaha.


Persekutuan Perdata

Persekutuan Perdata (Maatschap) adalah perjanjian antara dua orang atau lebih untuk mengikatkan diri dan memasukkan sesuatu (barang, uang, atau keahlian) ke dalam persekutuan dengan tujuan membagi keuntungan di antara mereka. Persekutuan Perdata biasanya dijalankan oleh orang-orang yang memiliki profesi yang sama, seperti pengacara, akuntan, atau dokter. Setiap sekutu hanya bertanggung jawab atas perikatan-perikatan yang dibuatnya sendiri dengan pihak ketiga yang mana harta pribadi sekutu tersebut dapat diperkarakan untuk menutup utang yang timbul dari perikatan itu. jika beberapa sekutu bersama-sama mengadakan hubungan hukum dengan pihak ketiga, misalnya menandatangani kontrak atas nama persekutuan, maka sekutu bertanggung jawab sama rata, meskipun kontribusi modal berbeda, kecuali dalam perjanjian diperjanjikan proporsi lain. 


Dalam konteks hukum positif, pengaturan mengenai Persekutuan Perdata diatur dalam Buku III KUH Perdata mulai Pasal 1618 hingga 1652. Dalam hal pendiriannya, Persekutuan Perdata tidak ditentukan dalam bentuk tertentu. Maka dari itu pendirian Persekutuan Perdata bisa didasarkan pada perjanjian secara lisan, tidak harus didasarkan pada perjanjian tertulis seperti akta otentik. 


Ridwan Khairandy dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia mengklasifikasikan persekutuan perdata menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:

  • Persekutuan perdata umum (algehele maatschap

Persekutuan perdata umum adalah persekutuan dimana para sekutunya memasukkan seluruh hartanya atau bagian yang sepadan dengannya. Dalam persekutuan ini tidak ada perincian pemasukan secara detail, sehingga terkadang sulit untuk membagi keuntungan dan kerugian yang dialami oleh persekutuan. Persekutuan sebagaimana di atas, dilarang oleh hukum positif Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1621 KUHPerdata. 


Meskipun begitu, persekutuan perdata umum diperbolehkan apabila yang dimasukkan itu adalah keuntungan (algehele maatschap van wints) sebagaimana diatur dalam Pasal 1621 KUHPerdata. Lebih lanjut, Pasal 1622 KUHPerdata memperbolehkan apabila persekutuan perdata memasukkan seluruh tenaga kerja dengan tujuan mendapatkan keuntungan untuk dibagi kepada semua sekutu persekutuan. 


  • Persekutuan perdata khusus (bijzondere maatschap). 

Persekutuan perdata khusus adalah persekutuan dimana para sekutu memasukkan sebagian benda tertentu atau tenaga kerjanya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1623 KUHPerdata. Persekutuan seperti ini biasanya dibentuk untuk menjalankan usaha tertentu atau penyelenggaraan suatu perusahaan atau pekerjaan tetap. Contoh dari persekutuan perdata khusus ini adalah pengacara yang membentuk kerjasama untuk menjalankan sebuah kantor hukum.


Firma

Merujuk pada Pasal 16 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), firma didefinisikan sebagai persekutuan perdata yang didirikan untuk menjalankan perusahaan dengan nama bersama. Kemudian, Pasal 18 KUHD menjelaskan bahwa pertanggungjawaban sekutu dalam firma bersifat pribadi untuk keseluruhan. Sehingga, setiap anggota firma berhak untuk mewakili firma untuk melakukan perbuatan hukum sepanjang perbuatan tersebut tidak bertentangan dengan anggaran dasar firma dan peraturan perundang-undangan. Dalam hal firma mengalami kerugian, maka kerugian itu ditanggung oleh seluruh anggota firma hingga harta pribadi mereka. 


Dalam hal pendiriannya, Pasal 22 KUHD menyatakan  bahwa firma haruslah didirikan dengan akta otentik. Berbeda dengan persekutuan perdata yang dapat dibentuk hanya berdasarkan lisan. Akan tetapi, ketiadaan akta tersebut tidak boleh dijadikan dalih yang dapat merugikan pihak ketiga. 


Meskipun begitu, Ridwan Khairandy menuturkan bahwa keberadaan akta tersebut bukanlah sebuah keharusan. Lebih dari itu, firma dapat dikatakan sudah berdiri walaupun hanya didasarkan perjanjian secara lisan antar anggota firma. Rudhy Prasetya, juga mengungkapkan bahwa perjanjian pendirian firma adalah bebas bentuk, sehingga perjanjian secara lisan juga dapat menjadi sebab sebuah firma itu berdiri. 


Persekutuan Komanditer

Pasal 19 KUHD mendefinisikan persekutuan komanditer atau perseroan yang dibentuk dengan cara meminjamkan uang sebagai persekutuan yang didirikan antara seseorang atau antara beberapa orang persero yang bertanggung jawab secara tanggung-renteng untuk keseluruhannya, dan satu orang atau lebih sebagai pemberi pinjaman uang. 


Meskipun begitu, beberapa ahli hukum tidak menyetujui definisi tersebut dikarenakan makna sekutu komanditer dan meminjamkan uang adalah berbeda. Hal ini dikarenakan benda yang dimasukkan oleh sekutu komanditer ke dalam persekutuan sudah menjadi kekayaan persekutuan dan tidak dapat ditarik ketika terjadi pailit. Sedangkan, uang yang diperoleh dari hasil meminjam termasuk ke dalam hutang persekutuan dan pemberi pinjaman dapat menagih uang tersebut ketika terjadi pailit. 


Lalu apa definisi persekutuan komanditer yang benar? Definisi persekutuan komanditer yang dirasa penulis paling benar dapat ditemui dalam Pasal 1 Angka 1 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 17 Tahun 2018 Tentang Pendaftaran Persekutuan Komanditer, Persekutuan Firma dan Persekutuan Perdata yang menyatakan bahwa “Persekutuan Komanditer (Commanditaire Vennotschaap) yang selanjutnya disebut CV adalah persekutuan yang didirikan oleh satu atau lebih sekutu komanditer dengan satu atau lebih sekutu komplementer, untuk menjalankan usaha secara terus menerus.” 


Sekutu komanditer atau sekutu pasif adalah sekutu yang hanya memasukan uang atau benda ke dalam kas perseroan sebagai pemasukan dan tidak berwenang dalam melakukan pengurusan atas persekutuan. Dalam hal pertanggungjawaban, sekutu pasif hanya bertanggung jawab sebatas modal (uang atau benda) yang disetor. Sedangkan, sekutu komplementer atau sekutu aktif merupakan yang menjadi pengurus persekutuan. Sekutu inilah yang berwenang atas segala pengurusan dan pengusahaan persekutuan, sehingga apabila persekutuan mengalami kerugian, sekutu aktif bertanggung jawab hingga kekayaan pribadi mereka. 


Persekutuan komanditer secara garis besar hampir sama dengan firma. Perbedaan yang paling mencolok antara persekutuan komanditer dengan firma adalah adanya satu atau lebih sekutu pasif dalam persekutuan komanditer. Sedangkan, dalam firma hanya ada sekutu aktif saja yang merupakan para anggota firma. Sebagaimana firma, persekutuan komanditer juga mewajibkan adanya akta otentik dalam hal pendiriannya. 


Perbandingan Persekutuan Perdata, Firma dan Persekutuan Komanditer.


Jadi, dalam konteks hukum positif Indonesia, terdapat 3 (tiga) badan usaha non-badan hukum, yaitu persekutuan perdata, firma dan juga persekutuan komanditer. Ketiganya memiliki ciri masing-masing baik dari segi tanggung jawab sekutu, dasar hukum dan juga cara pendiriannya. 


Demikian artikel mengenai badan usaha non-badan hukum, semoga bermanfaat!

Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.


Dalam dunia usaha kecil dan menengah, pemahaman tentang badan usaha non-badan hukum sangat penting karena meskipun bentuk usaha ini seperti persekutuan perdata, firma, dan persekutuan komanditer (CV) lebih mudah dan murah untuk didirikan dibandingkan badan hukum seperti PT, namun memiliki risiko tanggung jawab pribadi yang tinggi. Persekutuan perdata merupakan perjanjian kerjasama antar individu untuk memperoleh keuntungan, yang tanggung jawabnya dapat bersifat individual atau kolektif tergantung pada perikatan yang dibuat. Firma adalah bentuk usaha yang dijalankan dengan nama bersama di mana semua anggotanya bertanggung jawab secara pribadi atas kewajiban usaha. Sementara itu, CV terdiri dari sekutu aktif yang mengelola usaha dan bertanggung jawab penuh serta sekutu pasif yang hanya menyetor modal dan bertanggung jawab sebatas modal yang disetor. Ketiganya memiliki dasar hukum dan prosedur pendirian berbeda, namun sama-sama termasuk badan usaha non-badan hukum yang tidak memiliki pemisahan kekayaan antara usaha dan pemiliknya.

Referensi

Buku

Khairandy, Ridwan. Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia. Yogyakarta: FH UII Press, 2014. 

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijke Wetboek], diterjemahkan oleh R. Soebekti dan R. Tjitrosudibio.

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang [Wetboek van Koophandel], dipublikasikan oleh JDIH Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Tentang Pendaftaran Persekutuan Komanditer, Persekutuan Firma dan Persekutuan Perdata. Permenkumham No. 17 tahun 2018.