Fenomena joki dalam pelaksanaan Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) tahun 2025 kembali mencoreng integritas dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Salah satu kasus yang menyita perhatian publik adalah tertangkapnya seorang mahasiswi kedokteran berinisial CAI (19 tahun) yang diduga menjadi joki dalam seleksi masuk perguruan tinggi negeri (PTN). Peristiwa ini menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat, sebab ujian yang seharusnya menjunjung nilai kejujuran dan kompetensi personal, justru dimanfaatkan sebagai ladang kejahatan terorganisir. Skema joki UTBK kini tidak lagi sekadar upaya iseng, melainkan telah menjadi praktik sistematis yang melibatkan berbagai pihak dan instrumen pemalsuan identitas.


Joki Bukan Sekadar Curang, Tapi Kriminal

Secara hukum, tindakan menggunakan atau menjadi joki dalam seleksi masuk perguruan tinggi bukanlah sekadar pelanggaran etika, melainkan tergolong sebagai tindak pidana. Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan bahwa pemalsuan dokumen identitas seperti KTP atau kartu peserta ujian dapat dikenai hukuman pidana hingga enam tahun penjara.  Selain itu, Pasal 378 KUHP tentang penipuan juga dapat digunakan untuk menjerat pelaku yang dengan sengaja mengelabui sistem seleksi guna memperoleh keuntungan pribadi.  Jika tindakan tersebut menggunakan sarana digital atau manipulasi sistem elektronik, pelaku juga dapat dijerat melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 48 ayat (2), yang mengatur tentang peretasan dan manipulasi data elektronik dengan ancaman pidana hingga sembilan tahun penjara.


Siapa yang Bisa Dikenai Sanksi?

Pihak yang dapat dikenai sanksi hukum tidak hanya terbatas pada pelaku yang menjalankan peran sebagai joki. Pengguna jasa (peserta yang dijokikan) juga berpotensi dikenai sanksi pidana apabila terbukti mengetahui dan turut serta dalam praktik kecurangan tersebut. Apabila orang tua turut terlibat dalam pembiayaan atau fasilitasi, keterlibatan mereka pun dapat diproses secara hukum, terutama jika terdapat bukti intensi dan kerja sama yang disengaja. Selain itu, pihak-pihak penyedia jasa joki atau sindikat yang terorganisir dapat dikategorikan sebagai pelaku utama atau turut serta dalam kejahatan, sesuai dengan Pasal 55 dan 56 KUHP.


Penegakan Hukum: Antara Efektif dan Simbolik

Meski demikian, penegakan hukum terhadap kasus joki kerap menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya adalah pembuktian intensi atau niat jahat, terutama pada peserta yang mengklaim “tidak tahu” telah dijokikan. Selain itu, keterbatasan verifikasi biometrik atau kelemahan sistem pengawasan di lapangan kerap dimanfaatkan pelaku. Oleh karena itu, selain penegakan hukum yang tegas, perlu ada pembenahan sistemik terhadap penyelenggaraan seleksi nasional. Pemerintah dan penyelenggara ujian perlu mempertimbangkan penggunaan teknologi pengenalan wajah, verifikasi digital terintegrasi, serta penguatan pengawasan lapangan yang lebih cermat.


Implikasi Hukum Lanjutan: Bisa Dicabut dari Kampus

Dampak hukum dari keterlibatan dalam praktik joki UTBK tidak hanya berhenti pada sanksi pidana. Sanksi administratif seperti pembatalan hasil ujian, pencabutan status kelulusan, dan pemecatan dari kampus dapat diberlakukan. Bahkan dalam beberapa kasus, peserta yang terbukti melakukan kecurangan dicabut haknya untuk mengikuti seleksi nasional selama beberapa tahun ke depan. Hal ini menjadi peringatan bahwa jalan pintas menuju PTN bukan hanya merugikan orang lain, melainkan juga dapat menghancurkan masa depan pelaku itu sendiri.


Jika kamu sudah memahami artikel di atas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.


Fenomena joki dalam UTBK 2025 kembali mencoreng dunia pendidikan tinggi Indonesia, seperti kasus mahasiswi CAI (19 tahun) yang tertangkap sebagai joki. Praktik ini kini menjadi kejahatan terorganisir yang melibatkan pemalsuan identitas dan penyalahgunaan teknologi. Secara hukum, joki dan pengguna jasanya dapat dijerat dengan KUHP dan UU ITE, dengan ancaman pidana hingga sembilan tahun. Tidak hanya pelaku utama, pengguna jasa, orang tua, dan penyedia sindikat juga bisa diproses hukum. Namun, penegakan hukum masih menghadapi tantangan seperti pembuktian niat jahat dan lemahnya sistem verifikasi. Oleh karena itu, diperlukan reformasi sistem seleksi dengan teknologi pengenalan wajah dan pengawasan ketat. Selain sanksi pidana, pelaku juga terancam dicabut dari kampus dan dilarang ikut seleksi nasional, yang dapat merusak masa depan mereka sendiri.

Referensi

Ade P Marboen, "Mahasiswa Jadi Joki Dikeluarkan", ANTARA News, 19 Desember 2014, tersedia pada https://www.antaranews.com/berita/439453/mahasiswa-jadi-joki-dikeluarkan , diakses pada tanggal 11 Mei 2025.

Dinda Sabrina, "Kecurangan UTBK 2025: Lembaga Bimbel Hingga Pegawai Kampus Diduga Terlibat", TEMPO, 30 April 2025, tersedia pada https://www.tempo.co/politik/kecurangan-utbk-2025-lembaga-bimbel-hingga-pegawai-kampus-diduga-terlibat-1294651, diakses pada tanggal 12 Mei 2025.

Ferry Pangaribuan, "Ketentuan Terkait Penipuan Menggunakan Nama Instansi", Artikel KPKNL Lahat, 15 Januari 2024, tersedia pada https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-lahat/baca-artikel/16831/Ketentuan-terkait-Penipuan-Menggunakan-Nama-Instansi.html , diakses pada tanggal 11 Mei 2025.

Maya Citra Rosa, "Mahasiswi Kedokteran Unhas Jadi Joki UTBK, Dijanjikan Rp 2 Juta Jika Calon Mahasiswa Lolos", Kompas.com, 11 Mei 2024, tersedia pada https://www.kompas.com/sulawesi-selatan/read/2025/05/08/193354388/mahasiswi-kedokteran-unhas-jadi-joki-utbk-dijanjikan-rp-2-juta?lgn_method=google&google_btn=onetap, diakses pada tanggal 11 Mei 2025.

Oktariana Paramitha Sandy, "Salah Tangkap Karena Teknologi Pengenalan Wajah Tak Akurat, Pejabat Polisi Digugat", Cyberthreat.Id, 16 Maret 2021, tersedia pada https://cyberthreat.id/read/11265/Salah-Tangkap-karena-Teknologi-Pengenalan-Wajah-Tak-Akurat-Pejabat-Polisi-Digugat , diakses pada tanggal 11 Mei 2025.

Renata Christha Auli, "Pemahaman Pidana Penyertaan Dalam Pasal 55 KUHP", HUKUM ONLINE.COM, 7 Agustus 2023, tersedia pada  https://www.hukumonline.com/klinik/a/pemahaman-pidana-penyertaan-dalam-pasal-55-kuhp-lt6577a8d85574e/, diakses pada tanggal 11 Mei 2025.