Siapa di sini yang kemarin ikutan trend ubah foto menjadi gaya ghibli? Pernah kepikiran gak apakah foto hasil AI bisa didaftarkan hak cipta? Nah, disinilah hukum diuji dalam menghadapi kecanggihan teknologi!


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Hak Cipta merupakan hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang. Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta), hak cipta merupakan hak eksklusif yang terdiri dari hak moral dan hak ekonomi yang dimiliki oleh Pencipta.  


Pencipta dalam Pasal 1 ayat (2)  UU Hak Cipta yaitu “Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi.” Jika mengacu pada ketentuan yang ada dalam pasal tersebut, unsur “Seorang atau beberapa orang” merujuk pada subjek hukum yaitu manusia atau badan hukum.  Lalu, apakah Artificial Intelligence (AI) bisa dianggap sebagai subjek hukum? 


Artificial Intelligence (AI) sendiri merupakan teori dan pengembangan sistem komputer yang mampu melakukan tugas-tugas yang biasanya memerlukan kecerdasan manusia. AI terdiri dari Traditional AI,Generative AI dan Agentic AI. Dalam aplikasi Midjourney, Chatgpt, DALL-E, dan microsoft designer merupakan contoh generative AI dalam  basis text to image. Generative AI sendiri merupakan AI yang menghasilkan konten baru, seperti teks, gambar, dan video, sering kali berdasarkan permintaan pengguna melalui dataset yang sumbernya tidak dapat diketahui dan diperoleh sebagaimana prinsip AI sebagai Black-Box. AI generatif didukung oleh model dasar, seperti model Large Language Model. Dengan demikian, AI bukanlah termasuk unsur subjek hukum yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) UU Hak Cipta sehingga AI tidak bisa disebut sebagai pencipta tetapi hanya alat.-


Selanjutnya, AI sendiri belum mengatur secara spesifik di dalam UU Hak Cipta. berdasarkan Pasal 34 UU Hak Cipta, “dalam hal ciptaan dirancang oleh seseorang dan diwujudkan serta dikerjakan oleh orang lain di bawah pimpinan dan pengawasan orang yang merancang, yang dianggap Pencipta yaitu orang yang merancang ciptaan.” 

Apabila merujuk pada ketentuan dalam pasal tersebut, dapat dianalogikan bahwa berkaitan dengan karya AI, pencipta karya tersebut adalah manusia yang mengarahkan, merancang, atau mengawasi pembuatan karya (human oversight) oleh AI. Sedangkan AI berperan sebagai “alat” bukan sebagai subjek hukum.  

Karya generative AI dapat didefinisikan sebagai ciptaan sebagaimana Pasal 1 ayat (3) UU Hak Cipta mendefinisikan ciptaan sebagai “setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.” dengan unsur sebagai berikut:

  • Setiap hasil karya cipta 


Dalam ciptaan yang dilindungi berdasarkan Pasal 40 ayat (1) UU hak cipta berupa ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan,seni dan sastra seperti film, buku, lagu, dan lukisan. Sebagaimana generative AI menghasilkan hasil karya berupa gambar dari prompt text to image.


  • Diekspresikan dalam bentuk nyata


Ciptaan diekspresikan dalam bentuk nyata yaitu gambar,video,dan lagu yang dihasilkan langsung secara instan setelah perintah oleh generative AI.


  • Dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata


Kreativitas pencipta melalui kemampuan untuk mencipta atau daya cipta, serta hal-hal yang berhubungan dengan berkreasi melalui pencurahan menggunakan prompt, kurasi, merancang, dan memodifikasi melalui interaksi dengan generative AI.

Tetapi perlu diperhatikan bahwa karya yang dihasilkan AI dapat dilindungi dan didaftarkan hak cipta jika ada kontribusi kreatif manusia yang “khas dan pribadi”. Adapun kontribusi yang dimaksud memiliki pengertian “khas dan pribadi” dengan bantuan generative AI melalui perintah (prompt), kurasi dan memodifikasi tanpa adanya unsur mutilasi (pengubahan bentuk secara merusak), modifikasi (mengurangi atau menambahkan bentuk) dan distorsi (penyimpangan makna atau bentuk). Hal ini menimbulkan permasalahan apabila generative AI  yang dihasilkan tanpa adanya masukan kreatif dan tanpa ”human oversight” maka tidak memenuhi unsur “khas dan pribadi”.

Lalu, terdapat potensi karya yang diciptakan AI tersebut sehingga melanggar materi berhak cipta yang ada. Telah banyak kasus atau tuntutan hukum yang telah diajukan ke pengadilan selama beberapa tahun di Eropa terkait penerapan hukum hak cipta bagi pengembang generative AI. 


AI sendiri belum diatur secara spesifik di dalam peraturan perundang-undangan tetapi terdapat 2 basis pengaturan terhadap AI yang digunakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Dewan Pers.


Berdasarkan Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2023 menyatakan bahwa penyelenggaraan kecerdasan artifisial tunduk pada prinsip pelindungan hak kekayaan intelektual sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Peraturan ini mewajibkan pelaku usaha dan penyelenggara sistem elektronik (PSE) bertanggung jawab atas penyelenggaraan kecerdasan artifisial. Sehingga, pelaku usaha atau PSE harus bertanggung jawab atas hasil karya yang dibuat oleh AI.


Ada pun Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/I/2025 Pasal 2 ayat (2), memberikan ketentuan mengenai penggunaan kecerdasan buatan dalam proses jurnalistik harus berada di bawah kendali manusia secara menyeluruh, mulai dari tahap awal hingga akhir. Ketentuan ini menunjukkan pentingnya peran manusia dalam memastikan akurasi, etika, dan akuntabilitas dalam penggunaan AI di ranah pers. Sebagai contoh dari prinsip tersebut, media daring Kompas.ID telah menerapkan tranparansi melalui pencantuman diclaimer pada artikel-artikel yang melibatkan AI dalam penyusunannya.


Lebih lanjut, perseorangan atau badan hukum sebaiknya menjelaskan bahwa karya tersebut dibuat dengan bantuan AI untuk memastikan transparansi dalam proses pendaftaran. Hal ini sejalan dengan prinsip transparansi dalam Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2023 yang menyatakan penyelenggaraan kecerdasan artifisial perlu dilandasi dengan transparansi.



Kesimpulannya

Hasil AI dapat didaftarkan atas nama Perseorangan/Badan hukum JIKA…

  • Adanya kontribusi kreatif yang “khas dan pribadi” dari penciptanya dengan 

Mengarahkan AI dengan prompt atau instruksi spesifik yang menunjukkan visi  “khas dan pribadi”  baik dengan melakukan kurasi, seleksi, dan penyuntingan substansial terhadap output sebagai prinsip orisinalitas yang sifatnya subjektif dan bergantung kepada penguji dalam verifikasi hak cipta tersebut.

  • Bertanggung jawab atas hasilnya dan asal-usul

AI menggunakan banyak asal usul data yang disebut dengan dataset yang sumbernya tidak dapat diketahui dan diperoleh sebagaimana prinsip AI sebagai Black-Box atau artinya, proses kerjanya sangat kompleks dan tidak transparan, bahkan bagi pembuatnya. Sehingga hasil AI dapat berpotensi digugat oleh pencipta gambar aslinya.

  • Transparan dalam pendaftaran 

Dalam pendaftaran AI mencantumkan bahwa AI digunakan sebagai “alat” atau pembantu. Tetapi perlu diingat bahwa di Indonesia belum mengatur terkait pendaftaran hasil karya AI ke dalam UU Hak Cipta maupun peraturan perundang-undangan lainnya.


Pendaftaran hasil karya AI dimungkinkan, namun tetap menjadi perbuatan serta tanggung jawab hukum manusia sebagai penciptanya, dengan catatan memenuhi tiga syarat utama. Penting untuk dicermati bahwa Indonesia belum memiliki regulasi khusus terkait karya dari generative AI, yang masih tergolong fenomena baru dalam era globalisasi. Oleh karena itu, keabsahan dan perlindungan hak cipta terhadap karya tersebut sangat bergantung pada proses verifikasi oleh penguji di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) ke depannya.


👀 Jadi, menurut kamu... apakah karya dari AI layak dapat hak cipta? dan 

📣 Bagaimana menurutmu? Apakah Indonesia butuh regulasi baru yang lebih spesifik soal AI dan hak kekayaan intelektual?

Demikian artikel mengenai Hasil AI apakah bisa didaftarkan Hak Cipta, semoga bermanfaat!


Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis. 


Karya yang dihasilkan oleh Artificial Intelligence (AI) tidak dapat didaftarkan hak cipta atas nama AI karena AI bukan subjek hukum menurut Undang-Undang Hak Cipta; namun, karya tersebut bisa dilindungi hak cipta jika terdapat kontribusi manusia yang khas dan pribadi dalam proses penciptaannya, seperti melalui arahan (prompt), kurasi, atau modifikasi. Dalam hal ini, manusia yang mengarahkan AI dianggap sebagai pencipta, sementara AI hanya sebagai alat. Meskipun Indonesia belum memiliki regulasi khusus terkait karya AI, pendaftaran karya semacam ini dimungkinkan selama memenuhi prinsip orisinalitas, transparansi penggunaan AI, serta tanggung jawab penuh atas hasil dan sumber data oleh manusia atau badan hukum terkait.

Referensi

Ahmad M Ramli, Artificial Intelligence (AI) Subjek hukum atau objek hukum https://www.hukumonline.com/klinik/a/ai-subjek-hukum-atau-objek-hukum-lt670eca701fc74/  Hukumonline.com, 15 Oktober 2024, diakses pada 1 Mei 2025

Ahmad M Ramli, "Landmark Decision" Pengadilan Tentang AI dan Paten https://www.kompas.com/konsultasihukum/read/2023/12/28/102731880/landmark-decision-pengadilan-tentang-ai-dan-paten?page=all  Kompas.com, 28 Desember 2024, diakses pada 1 Mei 2025

Peraturan Dewan Pers 1/Peraturan DP/I/2025 tentang Pedoman Penggunaan Kecerdasan Buatan dalam Karya Jurnalistik

Rita Puspita Sari. “Apa itu LLM? Pengertian dan Contoh Penerapannya”, 7 Mei 2024. Tersedia pada https://www.cloudcomputing.id/pengetahuan-dasar/apa-itu-llm-pengertian diakses pada 10 Mei 2025.

Sanditya Ibnu Hapinra (et.al.). “DABUS: Meninjau Kedudukan Artificial Intelligence sebagai Inventor dari Hukum Indonesia“ Hukumonline.com , 7 November 2023. tersedia pada https://www.hukumonline.com/berita/a/dabus--meninjau-kedudukan-artificial-intelligence-sebagai-inventor-dari-hukum-indonesia-lt6549ec6c4140c/ diakses pada 1 Mei 2025

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5599.

Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial