Bogor, Jawa Barat – Mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) akhirnya bersuara. Setelah dua dekade menyimpan luka, mereka memecah diam. Mereka mengaku mengalami kekerasan, kerja paksa, pemisahan paksa dari anak-anak, hingga penyiksaan yang terjadi selama mereka bekerja di dunia sirkus. Aduan itu dilayangkan langsung kepada Wakil Menteri Hukum dan HAM pada Selasa, 15 April 2025.


“Saya disetrum, dipukuli, bahkan dipasung saat tidur malam karena dianggap akan kabur,” ungkap Ida, salah satu korban, dalam audiensi bersama Wakil Menteri HAM, Mugiyanto. Korban lainnya, Butet, mengaku harus tampil di atas panggung meski dalam kondisi hamil dan harus menyerahkan bayinya setelah lahir. Jeritan mereka, lama tertahan, baru terdengar publik sekarang—dua dekade sejak laporan pertama diterima Komnas HAM pada tahun 1997


Korban menyebut OCI sebagai tempat eksploitasi tersebut berlangsung. Grup sirkus tersebut diketahui sempat tampil dalam rangkaian acara yang dikaitkan dengan Taman Safari Indonesia (TSI). Laporan dari kompas.com juga menunjukkan bahwa ada dugaan keterkaitan historis dan personal antara pendiri OCI dan pengelola TSI, karena itu korban melalui kuasa hukumnya melayangkan somasi sebesar Rp3,1 miliar kepada TSI


Menanggapi tudingan tersebut, dikutip dari laporan terbaru antaranews.com, TSI membantah keterlibatan langsung dalam pengelolaan OCI. Komisaris TSI, Tony Sumampouw, menyatakan bahwa TSI dan OCI adalah dua entitas yang berdiri sendiri secara hukum dan operasional. “Kami tidak pernah mengatur atau bertanggung jawab atas pengelolaan OCI,” tegas Tony dalam keterangannya.


Namun, fakta bahwa nama Taman Safari turut terseret menjadi sorotan publik, terutama karena lokasi pertunjukan OCI sempat berada di area yang diasosiasikan dengan TSI. Bahkan, Komnas HAM telah tiga kali menerima laporan eksploitasi yang sama, yakni pada tahun 1997, 2004, dan terakhir 2024, meskipun tidak semua rekomendasi Komnas HAM ditindaklanjuti.


Wakil Ketua Komnas HAM, Abdul Haris Semendawai, yang dikutip dari detik.com, menyatakan bahwa praktik kekerasan fisik, pelanggaran hak pendidikan, dan eksploitasi perempuan dan anak ditemukan dalam laporan tahun 1997. Namun, lemahnya respons institusional dan sikap diam dari otoritas menyebabkan penderitaan itu terus terjadi. “Banyak rekomendasi tidak digubris. Akibatnya, penderitaan korban berlarut-larut,” tegas Semendawai.


Wakil Menteri HAM, Mugiyanto, mengatakan bahwa negara akan memanggil semua pihak terkait, termasuk TSI dan OCI, untuk dilakukan investigasi lebih lanjut. “Kita harus hadir dalam memastikan pemulihan hak korban dan pencegahan terulangnya peristiwa semacam ini,” tegasnya dalam keterangan resmi.


Penulis: Aisya

Editor : Windi Judithia