Sumber: www.rri.co.id
Dinamika Isu PHK dan Pentingnya Verifikasi Hukum dalam Hubungan Kerja di Indonesia
Beberapa tahun terakhir, isu PHK menjadi sorotan akibat meningkatnya laporan dan pemberitaan terkait penyesuaian tenaga kerja pada sektor industri tertentu. Dalam era media sosial, informasi mengenai PHK sangat mudah viral meskipun belum diverifikasi, sehingga kerap menimbulkan kesalahpahaman publik mengenai skala dan legalitas tindakan yang dilakukan perusahaan. Fenomena ini menegaskan pentingnya membedakan antara PHK massal dengan mekanisme normatif seperti pensiun normal, pensiun dini sukarela, atau berakhirnya PKWT. Istilah “PHK massal” sendiri tidak memiliki batas angka baku dalam peraturan, tetapi secara publik dipahami sebagai pemutusan hubungan kerja dalam jumlah besar pada waktu bersamaan, sehingga persepsi masyarakat seringkali terbentuk hanya dari narasi yang beredar tanpa konteks hukum.
Situasi seperti ini memperlihatkan pentingnya transparansi dan komunikasi yang memadai dari perusahaan terkait setiap proses penghentian hubungan kerja, sekaligus perlunya kehati-hatian media dalam menyampaikan informasi ketenagakerjaan. Informasi yang tidak lengkap dapat memicu keresahan pekerja, mempengaruhi hubungan industrial, dan menimbulkan ketidakpastian bagi masyarakat, seperti contohnya pemberitaan PHK massal di PT Gudang Garam Tbk, yang mana padahal kebanyakan pekerjanya berhenti karena alasan yang bukan PHK. Selain itu, isu PHK sering kali berlanjut menjadi perselisihan hubungan industrial ketika pekerja merasa pemutusan hubungan kerja bertentangan dengan peraturan atau perjanjian kerja. Dalam kondisi seperti ini, penyelesaian wajib ditempuh melalui perundingan bipartit terlebih dahulu, dan apabila gagal barulah dilanjutkan ke mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Penyelesaian ini memastikan bahwa setiap tindakan pengakhiran hubungan kerja memiliki dasar hukum yang jelas dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak pekerja.
Pengertian dan Dasar Hukum PHK
Hubungan kerja merupakan ikatan hukum antara pekerja dan pemberi kerja yang lahir dari perjanjian kerja dan memuat unsur pekerjaan, perintah, serta upah. Meskipun idealnya hubungan kerja berjalan stabil, berbagai faktor seperti kondisi internal perusahaan, tekanan ekonomi, dan perubahan industri dapat memicu perubahan struktur ketenagakerjaan, termasuk Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). UU Ketenagakerjaan sebagaimana diubah melalui regulasi Cipta Kerja menetapkan berbagai jenis PHK, mulai dari efisiensi, pelanggaran, berakhirnya PKWT, pensiun, hingga kesepakatan bersama, yang masing-masing memiliki syarat dan mekanisme berbeda.
Pensiun Normal
Konsep pensiun normal pada dasarnya merujuk pada berakhirnya hubungan kerja ketika pekerja mencapai usia pensiun sebagaimana disepakati dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau PKB. Meskipun undang-undang tidak menentukan satu angka usia pensiun yang bersifat universal, PP 45/2015 memberikan acuan progresif usia pensiun dalam program jaminan pensiun, dimulai dari 56 tahun dan naik bertahap hingga 65 tahun yang kerap dijadikan rujukan perusahaan. Dalam hukum ketenagakerjaan, pencapaian usia pensiun merupakan alasan sah terjadinya pemutusan hubungan kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 154A ayat (1) huruf n, dan untuk keadaan ini perusahaan tidak diwajibkan memberikan pemberitahuan PHK. Mekanismenya berlangsung otomatis berdasarkan klausul internal, dengan pekerja tetap berhak atas manfaat pensiun dari BPJS serta kompensasi sesuai PP 35/2021, antara lain pesangon 1,75 kali, UPMK 1 kali, dan penggantian hak.
Pensiun Dini Sukarela
Pensiun dini merupakan penghentian hubungan kerja yang berlangsung sebelum pekerja mencapai batas usia pensiun sebagaimana disepakati dalam peraturan perusahaan, perjanjian kerja, atau PKB. Meskipun regulasi ketenagakerjaan tidak secara tegas mengatur mekanisme pensiun dini, konsep ini dapat dipahami melalui PP 45/2015 yang menetapkan usia pensiun progresif, 57 tahun sejak 2019 dan meningkat bertahap hingga 65 tahun, sehingga pensiun dini dipahami sebagai penghentian hubungan kerja sebelum batas usia tersebut. Program ini umumnya ditawarkan perusahaan untuk tujuan restrukturisasi atau efisiensi, dengan syarat yang lazim meliputi usia minimal 45–50 tahun, masa kerja tertentu, serta pengajuan permohonan resmi. Pekerja yang memilih pensiun dini tetap berhak memperoleh kompensasi sesuai PP 35/2021, berupa pesangon, penghargaan masa kerja, dan penggantian hak, serta manfaat jaminan sosial melalui JHT dan Jaminan Pensiun yang menjamin keberlanjutan penghasilan pascakerja.
Berakhirnya Masa Kerja
Berakhirnya hubungan kerja tidak selalu identik dengan perselisihan, karena salah satu bentuk pengakhiran hubungan kerja yang bersifat normatif adalah berakhirnya masa kerja yang telah disepakati dalam PKWT. Secara yuridis, berakhirnya masa kerja merujuk pada selesainya hubungan hukum akibat jangka waktu perjanjian habis, yang menurut Pasal 61 ayat (1) huruf b UU Ketenagakerjaan berlaku demi hukum (van rechtswege) tanpa perlu tindakan PHK, sepanjang pekerja memang dipekerjakan dalam PKWT yang sah. Rezim hukum pasca UU Cipta Kerja dan PP 35/2021 memberikan fleksibilitas lebih besar bagi PKWT, memungkinkan durasi hingga lima tahun termasuk perpanjangan, namun fleksibilitas ini juga berpotensi menimbulkan kerentanan bagi pekerja karena menurunkan kepastian kerja. Ketika tanggal kontrak tercapai, secara otomatis berhenti pula hak dan kewajiban kerja utama, meski praktik hubungan industrial yang baik mensyaratkan pemberitahuan sebelumnya. Berakhirnya kontrak kini juga menimbulkan konsekuensi finansial karena pengusaha wajib membayar Uang Kompensasi berdasarkan Pasal 15 PP 35/2021, dihitung proporsional dari masa kerja; kelalaian membayar kompensasi menjadikan tindakan perusahaan sebagai pelanggaran hak pekerja.
Kesimpulan
Keseluruhan uraian di atas menunjukkan bahwa dinamika isu PHK di Indonesia menuntut verifikasi hukum yang cermat karena tidak semua penghentian hubungan kerja dapat serta-merta dikategorikan sebagai PHK massal; sebagian dapat merupakan mekanisme normatif seperti pensiun normal, pensiun dini sukarela, atau berakhirnya PKWT yang berlaku demi hukum dengan konsekuensi administratif maupun finansial tertentu. Di tengah derasnya arus informasi yang sering kali tidak lengkap, akurasi pemberitaan dan transparansi perusahaan menjadi kunci untuk mencegah kesalahpahaman publik dan menjaga stabilitas hubungan industrial. Setiap bentuk pengakhiran hubungan kerja harus diuji berdasarkan dasar hukum, mekanisme, serta pemenuhan hak pekerja, termasuk manfaat jaminan sosial, pesangon, atau uang kompensasi. Maka dari itu, perlindungan bagi pekerja tetap terjamin dan tindakan perusahaan dapat dipertanggungjawabkan secara legal dan etis.
Isu PHK beberapa tahun terakhir sering menimbulkan kesalahpahaman publik karena maraknya pemberitaan yang belum diverifikasi, padahal tidak semua penghentian hubungan kerja merupakan PHK massal banyak yang bersifat normatif seperti pensiun normal, pensiun dini sukarela, atau berakhirnya PKWT yang terjadi otomatis sesuai ketentuan hukum. Mispersepsi ini menegaskan pentingnya akurasi informasi, transparansi perusahaan, serta kehati-hatian media agar tidak memicu kegaduhan dan gangguan hubungan industrial. Pada akhirnya, setiap bentuk pengakhiran hubungan kerja harus dinilai dari dasar hukum, mekanisme, dan pemenuhan hak pekerja agar perlindungan tetap terjamin dan tindakan perusahaan dapat dipertanggungjawabkan secara legal maupun etis.
Referensi
Putusan Pengadilan
Mahkamah Konstitusi, Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023 (2023).
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU Nomor 13 Tahun 2003, LN Tahun 2003 no. 39 TLN no. 4279.
Peraturan Pemerintah tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, PP Nomor 35 Tahun 2021, LN Tahun 2021 no. 45 TLN no. 6647.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, UU Nomor 6 Tahun 2023, LN Tahun 2023 No. 41, TLN No. 6856.
Buku
Uwiyono, Aloysius. Asas-Asas Hukum Perburuhan. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2014
Internet
Auli, Renata Christha. “Usia Pensiun Diatur Berbeda dari Peraturan Pemerintah, Bolehkah?” Hukumonline.com. 9 Januari 2025. Tersedia pada https://www.hukumonline.com/klinik/a/usia-pensiun-diatur-berbeda-dari-peraturan-pemerintah-bolehkah-lt649946d730876/#_ftnref1. Diakses pada tanggal 9 Desember 2025.
Kasim, Umar. “Program Pensiun Dini Secara Sukarela.” Hukumonline.com. 18 Juni 2010. Tersedia pada https://www.hukumonline.com/klinik/a/program-pensiun-dini-secara-sukarela-cl1817/. Diakses pada tanggal 9 Desember 2025.
Kartini, Anisa Prasetya Putri. “Begini Cara Perhitungan Pensiun Dini UU Cipta Kerja.” tempo.co. 25 September 2023. Tersedia pada https://www.tempo.co/ekonomi/begini-cara-perhitungan-pensiun-dini-uu-cipta-kerja-139806. Diakses pada tanggal 9 Desember 2025.
Oktavira, Bernadetha Aurelia. “Perbedaan Jaminan Hari Tua dengan Jaminan Pensiun.” Hukumonline.com. 6 November 2019. Tersedia pada https://www.hukumonline.com/klinik/a/perbedaan-jaminan-hari-tua-dengan-jaminan-pensiun-lt5dbbc64cdb70e/.Diakses pada tanggal 9 Desember 2025.
Tim CNN Indonesia, “Gudang Garam Akhirnya Bersuara soal Isu PHK Massal.”
CNNIndonesia.com. 10 September 2025. Tersedia pada https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20250910104853-92-1272038/gudang-garam-akhirnya-bersuara-soal-isu-phk-massal. Diakses pada tanggal 9 Desember 2025.
Baca Artikel Menarik Lainnya!
Apa Sebenarnya Residivis? Fakta yang Perlu Kamu Ta...
15 April 2025
Waktu Baca: 2 menit
Baca Selengkapnya →
Ketika Perundungan Berujung Kematian : Bagaimana P...
21 October 2025
Waktu Baca: 6 menit
Baca Selengkapnya →
Koperasi Desa Merah Putih: Terobosan atau Ilusi?
03 April 2025
Waktu Baca: 6 menit
Baca Selengkapnya →