Cuaca ekstrim serta badai tropis yang melanda Pulau Sumatera memicu banjir bandang dan longsor hebat di 3 provinsi besar yaitu Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Bencana ini setidaknya memakan ratusan korban jiwa dan ribuan pengungsi dari 44 kabupaten/kota yang terdampak. Jumlah korban tersebut akan terus bertambah seiring berjalannya waktu karena musibah ini tidak hanya menenggelamkan rumah rumah warga sekitar saja, melainkan menyebabkan kerusakan fasilitas publik dan melumpuhkan akses penghubung antar daerah. Hal ini menyebabkan masih banyak masyarakat yang berada di daerah terisolasi akibat dampak banjir yang terjadi.


Namun, dibalik dampak yang ditimbulkan oleh musibah banjir dan longsor yang terjadi, masyarakat dihebohkan dengan penampakan fenomena ribuan gelondongan batang kayu yang ikut terbawa arus banjir sampai menumpuk di dataran rendah. Hal ini diduga telah terjadi praktik deforestasi, pembukaan lahan, dan praktik pertambangan yang memperparah dampak perubahan cuaca ekstrim. Kerusakan ini menimbulkan luka mendalam serta sebuah pertanyaan besar tentang bagaimana pengaturan tata kelola lingkungan yang seharusnya diterapkan dalam konteks pembukaan lahan, dan izin praktik pertambangan?


Kerusakan Ekologis di Balik Bencana Banjir Sumatra


Peristiwa banjir dan longsor di sejumlah wilayah Sumatera yang berujung pada melimpahnya gelondongan kayu ke sungai dan permukiman tidak lahir dalam satu waktu, melainkan sebuah puncak dari rangkaian tindakan pembukaan lahan yang berlangsung bertahun-tahun, seperti penebangan pohon, pembukaan hutan untuk perkebunan atau tambang, serta konversi lahan tanpa memperhatikan fungsi hidrologis kawasan hutan dan kawasan lindung.

Secara faktual, gelondongan kayu yang terbawa arus menunjukkan bahwa sumbernya bisa berasal dari pembalakan sadap legal yang tidak diawasi, pembalakan liar dalam kawasan hutan, atau penimbunan sisa tebangan dari aktivitas perkebunan dan tambang yang tidak melakukan pemulihan atau revegetasi sebagaimana persyaratan izin, praktik semacam ini mempercepat proses terlepasnya massa tanah dan hambatan aliran sungai sehingga bencana hidrometeorologis berubah menjadi bencana besar yang sulit dikendalikan. 


Dalam kerangka hukum, setiap kegiatan yang mengubah bentang alam dan berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan wajib memenuhi kewajiban izin dan analisis dampak lingkungan seperti halnya kewajiban yang diatur dalam perundang-undangan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, termasuk ketentuan mengenai kewajiban penyusunan AMDAL atau UKL-UPL untuk rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan.


Kegagalan memenuhi kewajiban ini, baik karena kelalaian, pembiaran, atau manipulasi dokumen izin, menjadi salah satu pintu masuk utama terjadinya degradasi ekologis yang berujung banjir dan longsor. Secara normatif, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) menempatkan prinsip kehati-hatian, pengelolaan berkelanjutan, serta tanggung jawab pemulihan sebagai pijakan utama, sehingga aktor yang melakukan pembukaan lahan tanpa persetujuan lingkungan dan tanpa rencana pengelolaan rentan menerima sanksi administrasi hingga pidana sesuai ketentuan yang berlaku.


Peraturan pelaksana seperti Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri LHK juga mengatur daftar kegiatan yang wajib AMDAL dan mekanisme persetujuan lingkungan sehingga pembukaan lahan untuk skala besar seharusnya tidak bisa berlangsung tanpa pemeriksaan dampak yang memadai. 

Observasi lapangan dan temuan pasca-bencana di Sumatera menunjukkan adanya pergeseran dari pembukaan lahan yang terencana menjadi pembukaan yang berbasis keuntungan jangka pendek, sering kali memanfaatkan celah perizinan yang lemah atau pengawasan yang tidak konsisten, sehingga ketika curah hujan ekstrim terjadi, risiko longsor dan banjir meningkat drastis, dan gelondongan kayu menjadi bukti fisik nyata dari kegagalan tata kelola ekologis tersebut.



Pengaturan Izin Tambang dan Tata Kelola Pembukaan Lahan menurut Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia


Pengaturan mengenai izin tambang dan pembukaan lahan di Indonesia dibangun atas beberapa pilar hukum yang saling berinteraksi dengan undang-undang kehutanan yang mengatur fungsi kawasan dan larangan perubahan peruntukan tanpa pengukuhan yang sah, undang-undang pertambangan yang mengatur mekanisme perizinan pertambangan serta kewajiban pengelolaan lingkungan bagi pemegang izin, dan undang-undang perlindungan lingkungan yang mewajibkan AMDAL/UKL-UPL dan menetapkan tanggung jawab pemulihan lingkungan.


Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menegaskan bahwa pemanfaatan kawasan hutan harus tunduk pada pengukuhan peruntukan dan rencana tata guna hutan, sehingga pembukaan lahan di kawasan hutan tanpa prosedur dan izin yang benar adalah tindakan yang dilarang dan dapat dikenai sanksi administrasi dan pidana, sedangkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 yang merupakan perubahan atas UU Pertambangan, mengatur bahwa aktivitas pertambangan hanya dapat dilakukan oleh pemegang IUP/IUPK atau izin lain yang relevan dengan ketentuan dan berimplikasi pada kewajiban untuk mengintegrasikan rencana pengelolaan tambang dengan rencana wilayah, serta memenuhi persyaratan persetujuan lingkungan. 


Di samping itu, kerangka hukum perlindungan lingkungan yang diatur oleh UU No. 32 Tahun 2009 menempatkan kewajiban bagi setiap pelaku usaha untuk melakukan analisis mengenai dampak penting terhadap lingkungan hidup seperti daftar kegiatan yang wajib AMDAL atau UKL-UPL diatur lebih rinci melalui peraturan menteri sehingga kegiatan pembukaan lahan skala besar termasuk pertambangan harus melalui evaluasi dampak, konsultasi publik, dan persyaratan mitigasi yang konkret. 


Ketika persyaratan perizinan lingkungan ini dilanggar, regulasi hukum Indonesia dapat memberikan sanksi mulai dari pencabutan izin, kewajiban pemulihan, denda administratif, hingga sanksi pidana kepada setiap pelaku usaha ataupun pihak-pihak yang secara dengan  sengaja terlibat dan mengabaikan kewajiban sesuai yang diatur dalam peraturan perundang undangan.


Namun tidak jarang persoalan yang muncul di lapangan bukan berkaitan dengan kekosongan aturan, melainkan implementasi yang tumpang tindih kewenangan antara kementerian, provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, serta proses perizinan yang bisa dipercepat atau diakali, lemahnya monitoring pasca-izin, serta kapasitas penegakan hukum administratif dan pidana yang tidak selalu memadai untuk menghalangi pembukaan lahan ilegal atau praktik tambang yang merusak. 


Undang-Undang Pertambangan mengandung ketentuan yang memberi tanggung jawab besar kepada pemegang izin untuk melakukan reklamasi dan pasca-tambang, tetapi reklamasi yang formal di dokumen tidak selalu bisa ditegakkan dengan baik di lapangan. Hal ini terjadi karena diduga tidak adanya kontrol implementatif kuat, berupa upaya pengawasan, dan penegakan hukum yang adil serta adanya konflik kepentingan antara tujuan pembangunan ekonomi daerah dan perlindungan lingkungan.


Oleh karena itu, untuk mencegah terulangnya musibah banjir dan arus gelondongan kayu, tidak cukup hanya mengandalkan norma hukum yang berlaku, melainkan yang dibutuhkan adalah penegakan terpadu, transparansi perizinan, publikasi data pemegang izin dan rencana pemulihan, serta peningkatan kapasitas pengawasan administratif dan pidana sehingga kewajiban-kewajiban yang diatur oleh perundang-undangan benar-benar dijalankan dan dipertanggungjawabkan. 


Demikian artikel kajian hukum mengenai Musibah Banjir dan Gelondongan Kayu di Sumatera: Pengaturan Lingkungan Hidup dalam Konteks Pembukaan Lahan dan Izin Tambang, semoga bermanfaat untuk memahami bagaimana rangka norma hukum seharusnya mencegah dan menanggulangi krisis ekologis serupa. 

Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.


Berikut **ringkasan 1 paragraf** yang padat dan menyeluruh: **Bencana banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang menelan ratusan korban dan melumpuhkan puluhan wilayah menunjukkan bahwa kerusakan ekologis di Sumatera bukan sekadar akibat cuaca ekstrem, tetapi puncak dari praktik pembukaan lahan, deforestasi, serta pertambangan yang lemah pengawasannya. Fenomena ribuan gelondongan kayu yang terbawa arus banjir memperkuat dugaan bahwa pembalakan liar, penebangan tidak terawasi, dan kelalaian pemegang izin dalam melakukan pemulihan lingkungan telah memperparah bencana hidrometeorologis. Padahal, kerangka hukum Indonesia—melalui UU Kehutanan, UU Minerba, dan UU PPLH—telah mewajibkan AMDAL, izin lingkungan, reklamasi, serta pengelolaan berkelanjutan. Namun, lemahnya implementasi, tumpang tindih kewenangan, dan pengawasan yang tidak konsisten membuat pembukaan lahan ilegal serta praktik tambang merusak sulit dicegah. Karena itu, pencegahan krisis ekologis serupa membutuhkan penegakan hukum terpadu, transparansi perizinan, serta penguatan pengawasan agar norma lingkungan benar-benar dijalankan dan dipertanggungjawabkan.**

Referensi

Buku

Syahrin, Alvi. Hukum Lingkungan dan Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Indonesia. Jakarta, Kencana, 2020.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 32 Tahun 2009. LN Tahun 2009 No. 140, TLN No. 5059.

Undang-Undang Minerba, UU Nomor 4 Tahun 2009. LN Tahun 2009 No. 4, TLN No. 4959. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba, UU Nomor 3 Tahun 2020. LN Tahun 2020 No. 147, TLN No. 6525.

Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Kehutanan, PP Nomor 23 Tahun 2021. LN Tahun 2021 No. 31.

Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara, PP Nomor 96 Tahun 2021. LN Tahun 2021 No. 215.

Artikel Ilmiah

Sari, Widya. “Krisis Ekologi dan Bencana Hidrometeorologi di Indonesia: Analisis Kerusakan DAS dan Deforestasi.” Jurnal Hukum Lingkungan, Vol. 5, No. 2, 2020, hlm. 145–167.

Gunawan, M. “Evaluasi Perizinan Tambang Pasca UU Minerba 2020 dalam Perspektif Good Environmental Governance.” Jurnal RechtsVinding, Vol. 10, No. 1, 2021, hlm. 33–52.

Pramudya, Aditia. “Keterkaitan Pembukaan Lahan Skala Besar dan Kerentanan Banjir di Sumatra: Kajian Regulasi dan Implementasi.” Journal of Environmental Law Review, Vol. 4, No. 3, 2022, hlm. 201–225.

Latifah, Nur. “Analisis Yuridis Terhadap Mekanisme Perizinan Berbasis Risiko pada Sektor Pertambangan.” Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 19, No. 2, 2022, hlm. 278–296.

Mahendra, Putu. “Tanggung Jawab Korporasi dalam Kerusakan Ekologis Akibat Tambang: Telaah UU 32/2009 dan UU 3/2020. Jurnal Hukum Progresif, Vol. 14, No. 1, 2023, hlm. 89–112.