Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan yang bertujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan mengharapkan keturunan. Pada pelaksanaannya, perkawinan dapat dibatalkan dengan alasan tertentu.


Pengaturan tentang Pembatalan Perkawinan

Warga Negara  Indonesia   yang  beragama  Islam yang   hendak melaksanakan   perkawinan harus memenuhi ketentuan-ketentuan tentang perkawinan yang telah   diatur dalam hukum perkawinan Islam. Oleh  karena  itu  dapat  dikatakan, bahwa  pada  dasarnya  ketentuan-ketentuan mengenai   perkawinan   yang   terkandung dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut  didasarkan  pada  ajaran- ajaran  agama,  sehingga  sah  atau  tidaknya perkawinan,   ditentukan   menurut   hukum masing-masing  agamanya.  Apabila  dalam melaksanakan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat   sahnya   perkawinan,   maka perkawinan   tersebut dapat dibatalkan.


Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada BAB IV Pasal 22 bahwa perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Adapun syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana disebutkan diatas terdapat pada Bab II Pasal 6 Ayat (5) menjelaskan:


1) perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua calon mempelai;

2) untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum berumur 21 (dua puluh satu tahun) harus mendapat izin dari orang tua;

3) dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau  dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud Ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya;

4) dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan, lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya;

5) dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam Ayat (2), (3) dan (4), pasal ini atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam Ayat (1), (2), (3) dan (4) pasal ini;

6) ketentuan tersebut Ayat (1) sampai dengan Ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.


Para Pihak yang dapat Membatalkan Perkawinan

Pasal 23 menjelaskan tentang siapa saja yang berhak melakukan atau mengajukan permohonan pembatalan perkawinan. Pihak-pihak tersebut adalah: Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri, Suami atau istri, Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan. Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) Pasal 16 Undang-Undang ini, serta setiap orang yang memiliki kepentingan hukum secara langsung terhadap suatu perkawinan, dapat mengajukan permohonan hanya setelah perkawinan tersebut diputus. Sesuai dengan ketentuan Pasal 23 di atas, apabila suami atau istri tidak mengetahui atau tidak menyadari adanya pelanggaran dalam perkawinannya, pihak lain yang merasa berhak atau berkepentingan dapat mengajukan permintaan kepada pihak yang berwenang, yaitu Pengadilan Agama setempat, untuk membatalkan perkawinan tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 25 berikut ini. 


Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama yang berwenang di wilayah tempat perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami istri. Pasal 28 menerangkan bahwa pembatalan perkawinan mulai berlaku setelah putusan memiliki kekuatan hukum tetap, dan pembatalan tersebut tidak berlaku surut terhadap hak-hak anak yang telah lahir. Suatu perkawinan dinyatakan batal sejak putusan Pengadilan Agama berkekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat perkawinan dilangsungkan.

Namun, keputusan pembatalan tidak berlaku surut terhadap:

1) anak-anak yang telah lahir dari perkawinan tersebut;

2) suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terkait harta bersama apabila pembatalan didasarkan pada adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;

3) pihak ketiga yang memperoleh hak secara sah dan beritikad baik sebelum putusan pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.


Akibat Hukum jika Pembatalan Perkawinan dikabulkan

Akibat pembatalan perkawinan sebagaimana ketentuan Pasal 28 Ayat (2a) UU No. 1 Tahun 1974 bahwa: “keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut”. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 75 dan 76 KHI. Anak-anak tetap menjadi anak yang “sah” sehingga pembatalan perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak anak mereka dengan sebaik-baiknya meskipun perkawinan mereka telah dibatalkan oleh Pengadilan. Hal tersebut terjadi karena perkawinan merupakan persoalan yang harus tunduk pada ketentuan perundang-undangan. Secara keperdataan perkawinan akan memberikan jaminan perlindungan hukum kepada pihak-pihak yang terkait dengan perkawinan, baik suami, istri, anak maupun pihak ketiga. Perkawinan sebagai suatu perbuatan hukum maka mempunyai akibat hukum dan akibat hukum itu dikehendaki oleh yang bertindak.


Perlindungan   hukum   terhadap   istri  sebagai   akibat   perkawinan   yang   dibatalkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Ayat (2) butir (b) UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap  suami  atau  istri  yang  bertindak  dengan  itikad  baik,  kecuali  terhadap  harta  bersama  bila  pembatalan  perkawinan didasarkan  atas  adanya  perkawinan  lain  yang  lebih  dahulu.  Apabila  perkawinan  didasarkan  pada  itikad  baik  dari  suami dan istri, maka perkawinan tersebut tetap mempunyai akibat hukum yang sah  bagi  suami  dan  istri  serta  terhadap anak-anak  mereka.  Sehingga  putusan hakim  mengenai  batalnya  perkawinan  hanya  mempunyai  akibat  hukum  setelah pembatalan   tersebut.   Sedangkan   sebelum   adanya   pembatalan   perkawinan  tersebut   tetap   dianggap   sebagai   perkawinan   yang   sah.   Hanya   saja   setelah   diputuskan   pembatalan   perkawinan   istri   tidak   mendapat   hak   nafkah   iddah  sebagaimana halnya perceraian.


Tata Cara Pembatalan Perkawinan

Menurut Pasal 38 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, prosedur pengajuan permohonan pembatalan perkawinan mengikuti tata cara pengajuan gugatan perceraian. Dengan demikian, mekanisme yang digunakan pada pembatalan perkawinan pada dasarnya sama dengan prosedur dalam perkara perceraian. Adapun tahapan-tahapan pembatalan perkawinan adalah sebagai berikut:


1) Pengajuan Gugatan

Permohonan pembatalan perkawinan diajukan oleh pihak yang berwenang kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau tempat tinggal suami dan istri.


2) Pemanggilan

Untuk setiap persidangan, pengadilan wajib mengeluarkan surat panggilan kepada para pihak atau kuasa hukum mereka. Panggilan dilakukan oleh juru sita Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Agama. Surat panggilan harus disampaikan langsung kepada pihak terkait, dan jika tidak ditemukan, pengiriman dapat dilakukan melalui surat. Panggilan harus diterima paling lambat tiga hari sebelum sidang dimulai, dan tergugat harus memperoleh salinan gugatan. Jika alamat tergugat tidak jelas, pemanggilan dilakukan melalui papan pengumuman pengadilan serta diumumkan dalam surat kabar atau media lain sebanyak dua kali dengan jarak satu bulan. Untuk tergugat yang tinggal di luar negeri, panggilan disampaikan melalui perwakilan Republik Indonesia setempat.


3) Persidangan

Pengadilan wajib mulai memeriksa perkara pembatalan perkawinan paling lambat 30 hari sejak gugatan diterima. Penentuan hari sidang harus mempertimbangkan jeda waktu antara penerbitan panggilan dan penerimaan panggilan oleh pihak terkait. Untuk tergugat yang berdomisili di luar negeri, sidang pertama ditetapkan paling lambat enam bulan sejak gugatan masuk. Para pihak dapat menghadiri sidang dengan membawa akta nikah dan dokumen terkait, atau diwakili oleh kuasa hukum. Jika tergugat tidak hadir meskipun telah dipanggil secara sah, perkara dapat diperiksa tanpa kehadirannya selama gugatan memiliki dasar hukum. Pemeriksaan perkara dilakukan dalam sidang tertutup, namun pembacaan putusan wajib dilakukan dalam sidang terbuka. Putusan pembatalan berlaku setelah berkekuatan hukum tetap dan dihitung sejak tanggal berlangsungnya perkawinan.


4) Perdamaian

Sebelum menjatuhkan putusan, pengadilan wajib mengupayakan perdamaian antara para pihak. Jika perdamaian tercapai, maka gugatan pembatalan perkawinan tidak dapat diajukan kembali berdasarkan alasan-alasan yang telah diketahui penggugat pada saat perdamaian tersebut dicapai.


Demikian artikel mengenai Prosedur Pembatalan Perkawinan, semoga bermanfaat!

Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.



Pembatalan perkawinan di Indonesia dilakukan apabila suatu perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat sah menurut Undang-Undang Perkawinan, seperti tidak adanya persetujuan mempelai atau izin orang tua. Permohonan dapat diajukan oleh suami, istri, keluarga, atau pihak berkepentingan kepada Pengadilan Agama, dan putusan yang membatalkan perkawinan berlaku setelah berkekuatan hukum tetap tanpa menghapus status sah anak maupun hak pihak beritikad baik. Prosedurnya mengikuti mekanisme gugatan perceraian, mulai dari pengajuan permohonan, pemanggilan, persidangan hingga upaya perdamaian sebelum putusan dijatuhkan.

Referensi

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974. LN Tahun 1974 No. 186 TLN No. 6401.

Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975. LN Tahun 1975 No. 12 TLN No. 3050.

Jurnal

Fahlevi, Elvira D. “Tinjauan Yuridis Pembatalan suatu Perkawinan.” Jurnal Indonesia Sosial Sains 2. No. 5 (2021). Hlm. 747–745. https://doi.org/10.36418/jiss.v2i4.281.

Rahmatillah, Deni, dan A.N Khofify. “KONSEP PEMBATALAN PERKAWINAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1947 Dan KOMPILASI HUKUM ISLAM.” Hukum Islam 17. No. 2 (2017). Hlm. 152–171.

Rusli, Tami. “Pembatalan Perkawinan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.” Pranata Hukum 8. No. 2 (2013).

Turatmiyah, Sri, M. Syaifuddin, dan Arfianna Novera. “Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan dalam Perspektif Hukum Perlindungan Anak dan Perempuan di Pengadilan Agama Sumatera Selatan.” Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM 22. No. 1 (2015). Hlm. 163–179.