Kasus Posisi 

Kasus hilangnya seorang balita bernama Bilqis di Makassar menimbulkan perhatian publik setelah rangkaian peristiwa yang terjadi menunjukkan adanya indikasi kuat tindak pidana perdagangan orang. Bilqis awalnya dilaporkan hilang oleh keluarganya ketika sedang berada di lingkungan rumah. Setelah dilakukan pencarian, terungkap bahwa anak ini dibawa pergi oleh seorang perempuan yang kemudian diduga sebagai pelaku. Perjalanan kasus menjadi semakin kompleks ketika terkuak bahwa Bilqis tidak sekadar dibawa kabur, melainkan diduga telah diperjualbelikan dengan nilai sekitar Rp3 juta. Informasi ini muncul setelah pihak kepolisian menelusuri perpindahan Bilqis dari Makassar hingga ditemukan berada di Jambi.


Dari hasil keterangan awal, pelaku diduga menyerahkan Bilqis kepada pihak lain dengan mekanisme yang menunjukkan adanya transaksi dan perpindahan “kepemilikan” yang jauh melampaui konteks penculikan biasa. Fakta bahwa korban adalah anak berusia di bawah umur membuat tindakan ini semakin memprihatinkan dan memperkuat dugaan bahwa kasus tersebut berkaitan dengan jaringan atau praktik perdagangan anak. Dampak peristiwa ini tidak hanya dirasakan keluarga korban, tetapi juga menggugah keprihatinan masyarakat mengenai kerentanan anak terhadap eksploitasi dan lemahnya pengawasan sosial.


Kasus Bilqis akhirnya ditangani oleh kepolisian dengan pendekatan pidana yang lebih luas, bukan hanya penculikan, tetapi juga kemungkinan penerapan pasal-pasal terkait tindak pidana perdagangan orang. Perkembangan kasus ini memperlihatkan bagaimana eksploitasi terhadap anak dapat terjadi dengan cepat, sistematis, dan melintasi wilayah, sehingga menegaskan perlunya respon hukum yang tegas serta penguatan mekanisme perlindungan anak di tingkat preventif maupun represif.


Kerangka Hukum: UU TPPO & Standar Internasional

Dalam menganalisis dugaan perdagangan anak dalam kasus Bilqis, kerangka hukum utama yang relevan adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO). Pasal 1 angka 1 UU tersebut mendefinisikan perdagangan orang sebagai segala bentuk tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan menggunakan ancaman atau kekerasan, penculikan, penipuan, penyalahgunaan posisi rentan, penjeratan utang, atau pemberian manfaat untuk memperoleh persetujuan pihak yang mengendalikan korban, baik di dalam negeri maupun lintas negara, dengan tujuan mengeksploitasi atau mengakibatkan seseorang tereksploitasi. Definisi ini menegaskan bahwa fokus TPPO tidak hanya pada perpindahan fisik korban, tetapi juga pada cara dan tujuan tindakannya.


Secara internasional, konsep perdagangan manusia dijelaskan oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) sebagai proses perekrutan, transportasi, transfer, penampungan, atau penerimaan individu melalui paksaan, penipuan, atau manipulasi dengan tujuan eksploitasi yang menghasilkan keuntungan bagi pelaku. UNODC menekankan bahwa korban dapat berasal dari segala usia dan latar belakang, termasuk anak-anak, dan tindak pidana ini dapat terjadi di negara mana pun. Pelaku sering memanfaatkan kekerasan, janji palsu, atau lembaga kerja fiktif untuk menjerat korban. Dengan demikian, baik standar nasional maupun internasional memiliki kesesuaian dalam melihat perdagangan manusia sebagai kejahatan terorganisasi yang berorientasi pada eksploitasi dan keuntungan ekonomi.


Tinjauan Menurut UU TPPO

UU TPPO memberikan ketentuan yang sangat komprehensif terkait perbuatan yang dikategorikan sebagai perdagangan orang. Pasal 2 Ayat (1) mengatur bahwa siapapun yang melakukan tindakan perekrutan hingga penerimaan seseorang dengan menggunakan kekerasan, ancaman, penculikan, penipuan, penyalahgunaan kerentanan, atau pemberian imbalan, meskipun mendapat persetujuan dari pihak yang berwenang atas korban, untuk tujuan eksploitasi di wilayah Indonesia, dapat dikenakan pidana penjara minimal tiga tahun dan maksimal lima belas tahun, disertai denda antara Rp120 juta hingga Rp600 juta.


Lebih lanjut, Pasal 3 menetapkan bahwa membawa masuk seseorang ke wilayah Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi, baik di dalam negeri maupun di negara lain, dikenai ancaman pidana yang sama. Pasal 4 memperluas ruang lingkup dengan mengatur bahwa siapapun yang membawa warga negara Indonesia ke luar negeri untuk tujuan eksploitasi juga dapat dijatuhi pidana dengan rentang yang setara.


Pasal 5 menyoroti praktik pengangkatan anak yang disertai pemberian atau janji hadiah dengan intensi eksploitasi, sementara Pasal 6 secara tegas mengatur pengiriman anak dengan cara apa pun yang menyebabkan anak tersebut tereksploitasi, baik di dalam maupun luar negeri. Semua ketentuan ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap anak sebagai kelompok rentan mendapat perhatian khusus dalam struktur hukum TPPO.


Selain itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 juga memperkenalkan ketentuan baru, tepatnya dalam Pasal 455 yang menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau pemberian bayaran/manfaat, meskipun ada persetujuan dari pihak yang mengendalikan orang tersebut, untuk tujuan eksploitasi di wilayah Indonesia, dipidana karena melakukan tindak pidana perdagangan orang. Pelaku dapat dikenai pidana penjara minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun. 


Analisis terhadap Dugaan TPPO dalam Kasus Bilqis

Jika dianalisis berdasarkan unsur-unsur dalam UU TPPO, kasus Bilqis menunjukkan keselarasan yang kuat dengan definisi dan ketentuan pidana yang telah dijelaskan. Pertama, terdapat tindakan penculikan dan pemindahan korban dari satu wilayah ke wilayah lain, yang memenuhi elemen “pengangkutan” dan “pemindahan.” Kedua, perpindahan tersebut disertai dengan transaksi berupa pemberian uang sebesar Rp3 juta, yang mengindikasikan adanya motif ekonomi dan pemanfaatan korban sebagai objek perdagangan. Ketiga, korban adalah seorang balita, yang secara hukum termasuk dalam kategori “posisi rentan” sehingga persetujuan apa pun dari pihak ketiga tidak dapat dianggap sah.


Selain itu, fakta bahwa Bilqis berpindah tangan hingga mencapai wilayah Jambi menunjukkan adanya alur distribusi yang tidak hanya bersifat individual, tetapi berpotensi terhubung dengan rantai perdagangan anak, meskipun skala dan jaringannya masih memerlukan investigasi lebih lanjut oleh aparat penegak hukum. Dengan terpenuhinya unsur perbuatan, cara, dan tujuan seperti yang dipersyaratkan UU TPPO, kasus ini layak diperlakukan sebagai dugaan TPPO, bukan sekadar penculikan. Pendekatan ini penting untuk memastikan pemidanaan sesuai dengan tingkat kejahatan serta membuka akses korban terhadap hak-hak pemulihan yang dijamin undang-undang.


Kasus Bilqis memperlihatkan betapa rentannya anak-anak terhadap eksploitasi dan bagaimana praktik perdagangan orang dapat terjadi dalam skala domestik dengan modus yang semakin beragam. Kerangka hukum nasional melalui UU TPPO dan standar internasional dari UNODC memberikan landasan yang kuat untuk mengidentifikasi elemen-elemen TPPO dalam kasus ini. Melalui analisis unsur hukum dan fakta empiris, terlihat bahwa tindakan pelaku tidak hanya memenuhi kategori penculikan, tetapi juga menunjukkan karakteristik perdagangan anak dengan motif ekonomi dan eksploitasi. Maka dari itu, penanganan kasus ini harus menggunakan perspektif TPPO secara penuh agar perlindungan terhadap korban dimaksimalkan dan hukuman terhadap pelaku mencerminkan beratnya kejahatan yang dilakukan

Referensi

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. UU Nomor 21 Tahun 2007. LN Tahun 2007 No. 58. TLN No. 4720.

Artikel Website

Detik Sulsel. “Dugaan TPPO di Balik Kasus Bilqis Diduga Diculik-Dijual Rp 3 Juta di Makassar.” Detik.com, 10 November 2025. Tersedia pada https://www.detik.com/sulsel/makassar/d-8202521/dugaan-tppo-di-balik-kasus-bilqis-diduga-diculik-dijual-rp-3-juta-di-makassar. Diakses pada tanggal 28 November 2025.

United Nations Office on Drugs and Crime. “Human Trafficking.” UNODC.org. Tersedia pada https://www.unodc.org/unodc/en/human-trafficking/human-trafficking.html. Diakses pada tanggal 28 November 2025.