Jakarta, Kunci Hukum - Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa secara tegas menyatakan bahwa kebijakan pemungutan pajak untuk pedagang daring (e-commerce) di marketplace akan ditunda penerapannya. Kebijakan tersebut baru akan dipertimbangkan apabila perekonomian nasional telah pulih sepenuhnya, ditandai dengan angka pertumbuhan ekonomi mencapai 6 persen atau lebih. Pernyataan ini sekaligus membantah kabar yang beredar mengenai rencana penerapan pajak e-commerce pada awal tahun 2026.


Keputusan yang dikeluarkan oleh Menkeu Purbaya adalah penundaan Pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi penjualan barang bagi pedagang daring yang beroperasi melalui marketplace. Kebijakan ini sebenarnya telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025. Dalam aturan tersebut, rencananya pedagang daring dengan omzet diatas Rp 500 juta per tahun akan dikenakan tarif pajak sebesar 0,5 persen. Mekanisme pemungutan pajak ini ditujukan untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan antara pelaku usaha online dan offline.


Namun, implementasi dari kebijakan ini, yang sempat menuai pro dan kontra, kini resmi ditunda oleh pemerintah. Penundaan ini menjadi angin segar bagi para pelaku usaha, terutama Usaha Kecil dan Menengah yang mengandalkan platform digital untuk pengembangan bisnisnya.


Pernyataan penundaan ini secara langsung disampaikan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa saat ditemui di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, pada Kamis malam, 9 Oktober 2025.


Penegasan dari Menkeu ini menjadi sangat krusial karena sebelumnya sempat muncul kabar dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengenai penundaan penerapan pajak e-commerce hingga Februari 2026. Merespons kabar tersebut, Purbaya dengan tegas membantah informasi tentang rencana penerapan pada tahun 2026.


Enggak (tidak diterapkan pada 2026). Kan saya menterinya,” ujar Purbaya, seperti dikutip dari kompas.com, menegaskan bahwa keputusan final terkait waktu penerapan kebijakan fiskal berada di tangannya. Penegasan otoritas ini menunjukkan peran strategis Menkeu dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan fiskal negara dan kondisi riil perekonomian di lapangan.


Keputusan penundaan ini berlaku sampai waktu yang belum ditentukan, atau hingga tercapainya kondisi perekonomian nasional yang dianggap benar-benar pulih. Menkeu Purbaya secara spesifik menyebutkan patokan angka pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai indikator utama.


“Kita akan jalankan kalau ekonomi sudah recover. Mungkin kita sudah akan recover. Tapi belum recover fully, kan. Let's say ekonomi tumbuh 6 persen atau lebih, baru saya pertimbangkan (realisasi pajak e-commerce)," jelas Purbaya, seperti yang dilaporkan oleh cnnindonesia.com


Ini berarti, meskipun sistem pemungutan pajak di DJP diklaim sudah siap, faktor waktu pelaksanaannya akan sangat bergantung pada capaian pertumbuhan ekonomi yang akan dirilis mendatang. Dengan kondisi ekonomi saat ini yang masih dalam proses pemulihan, pemerintah memilih untuk tidak terburu-buru mengambil langkah yang berpotensi menghambat laju pemulihan tersebut.


Alasan utama dibalik penundaan ini adalah komitmen pemerintah untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi nasional pasca-guncangan global. Pemerintah tidak ingin kebijakan fiskal baru justru menjadi beban tambahan bagi pelaku usaha, khususnya sektor digital yang menjadi motor penggerak pertumbuhan baru.


Purbaya menilai, pelaksanaan pajak e-commerce akan lebih efektif dan diterima oleh masyarakat apabila daya beli sudah kuat dan aktivitas usaha sudah kembali stabil.


Kalau ekonomi tumbuh 6 persen, orang dipajakin juga senang,” kata Purbaya, yang dikutip dari cnbcindonesia.com


Pernyataan tersebut mencerminkan filosofi bahwa pengenaan pajak akan lebih mudah dilakukan jika masyarakat, terutama pelaku usaha, sudah berada dalam kondisi kemakmuran dan keuntungan yang signifikan. Dalam skenario ekonomi tumbuh kuat di atas 6 persen, artinya kondisi bisnis dan daya beli masyarakat sudah jauh lebih baik, sehingga pengenaan pajak diharapkan tidak lagi membebani dan bahkan akan disambut baik karena menandakan kembalinya stabilitas ekonomi yang berkelanjutan. Dalam skenario ini, potensi penerimaan negara dari sektor pajak pun akan meningkat secara alami.


Langkah ini juga menunjukkan sikap responsif pemerintah terhadap aspirasi publik. Penundaan ini diambil setelah adanya penolakan dan perdebatan hangat di kalangan pelaku usaha digital saat skema PPh Pasal 22 ini pertama kali diumumkan beberapa waktu lalu.


Pemerintah melalui Kementerian Keuangan akan terus memantau perkembangan indikator ekonomi makro sebelum memutuskan waktu yang tepat untuk merealisasikan pungutan pajak e-commerce. Prinsip keadilan perpajakan tetap menjadi tujuan akhir, tetapi stabilitas dan pemulihan ekonomi nasional menjadi prioritas utama saat ini. Dengan demikian, pengusaha daring dapat fokus pada peningkatan omzet dan perluasan pasar tanpa khawatir akan tambahan beban pajak di tengah proses pemulihan.


Nama Penulis: Tasya Khoerunnisa Himawan

Nama Editor: Kayla Stefani Magdalena Tobing