Siapa sebenarnya yang kini menentukan arah perjalanan bangsa? Para pejabat yang tercantum dalam konstitusi, atau kekuatan lain yang bergerak senyap melalui pasar, organisasi masyarakat, dan terutama media? Dalam lanskap politik yang kian kompleks, trias politica tampak tak lagi cukup menjelaskan bagaimana kekuasaan bekerja dan bagaimana pengaruh dibentuk. Di titik inilah gagasan quadro politica ala Prof Jimly Asshiddiqie hadir sebagai tawaran yang menggugat cara lama kita melihat sumber dan aliran kekuasaan dalam negara demokratis.


Ia menempatkan media, pasar, dan masyarakat madani sebagai aktor kekuasaan yang harus dipisahkan, diawasi, dan dicegah dari konflik kepentingan layaknya cabang kekuasaan negara. Namun pertanyaannya, apakah kerangka hukum dan institusi pengawas kita sudah cukup kuat untuk menerjemahkan gagasan besar ini ke dalam praktik yang nyata? Pada akhirnya, seluruh diskusi ini bermuara pada satu tanya pokok: mampukah quadro politica benar-benar menata ulang arah kekuasaan dan demokrasi Indonesia?


Quadro Politica sebagai Jawaban atau Sekadar Label Baru


Quadro politica mencoba menggambarkan perubahan struktur kekuasaan yang tak lagi cukup diurai oleh trias politica. Gagasan ini menempatkan media, pasar, dan masyarakat madani sebagai aktor yang memiliki pengaruh setara dalam pembentukan opini dan kebijakan publik. Secara normatif, ia memberi alasan kuat untuk mengatur kepemilikan dan kepengelolaan media agar tidak menjadi instrumen penguatan kekuasaan terselubung.

Namun jika tidak diikuti langkah praktis, istilah ini bisa berhenti sebagai label akademik yang menarik tanpa dampak nyata. Pertanyaan kuncinya adalah bagaimana menerjemahkan konsep makro ini menjadi aturan teknis yang tahan praktik politik transaksional? Tanpa peta implementasi yang jelas, quadro politica berisiko menjadi retorika yang menutupi kontinuitas ketimpangan kekuasaan.


Kekuatan Media di Tengah Persaingan Pasar dan Politik


Media modern berfungsi bukan hanya sebagai penyampai berita tetapi juga sebagai pembentuk agenda dan penentu narasi. Konsentrasi kepemilikan media oleh pelaku bisnis atau aktor politik menimbulkan potensi konflik kepentingan yang serius. Ketika pasar dan politik berkolaborasi dalam struktur kepemilikan, independensi editorial akan tertekan oleh logika keuntungan dan loyalitas politik.

Dampaknya tidak sekadar pada kualitas informasi melainkan juga pada keseimbangan representasi politik dan ruang deliberasi publik. Oleh karena itu pengaturan kepemilikan, transparansi struktur pemegang saham, dan mekanisme blind trust layak menjadi bagian kunci reformasi. Tanpa kontrol yang efektif, media dapat berubah dari pilar demokrasi menjadi alat reproduksi dominasi elit.


Kesiapan Hukum dan Institusi Menghadapi Tantangan


Kerangka hukum Indonesia memiliki bentangan norma yang relevan namun juga celah yang mempersulit penegakan aturan terkait konflik kepentingan media. Regulasi seperti undang-undang penyiaran dan aturan antimonopoli memadai secara tekstual tetapi seringkali lemah dalam implementasi dan sanksi. Institusi pengawas seperti KPI dan KPPU membutuhkan kapasitas teknis dan wewenang yang jelas untuk melakukan audit kepemilikan dan intervensi proaktif.

Aspek penegakan menuntut sinergi antar lembaga serta perlindungan terhadap whistleblower dan jurnalis independen. Tanpa pembaruan legislasi yang memperjelas larangan benturan kepentingan serta mekanisme penjatuhan sanksi, kebijakan hanya akan menjadi alat administratif yang mudah dielakkan. Oleh karena itu, reformasi institusional yang komprehensif dan terkoordinasi menjadi syarat mutlak bagi realisasi quadro politica.


Bahaya Konsentrasi Kekuasaan dan Jalan Menuju Rekonstruksi Demokrasi


Konsentrasi kekuasaan dalam tangan segelintir aktor dapat mereduksi pluralitas suara dan melemahkan legitimasi proses demokratik. Risiko tersebut muncul bukan hanya dari kepemilikan media tetapi juga dari jejaring silang antara korporasi, partai politik, dan lembaga negara. Upaya rekonstruksi harus meliputi pembatasan silang kepemilikan, penguatan public service broadcasting, dan insentif bagi media komunitas.

Pendidikan literasi media serta dukungan finansial untuk jurnalisme independen akan memperluas basis resistensi terhadap narasi tunggal. Hanya dengan kombinasi regulasi, institusi, dan budaya demokrasi yang kokoh quadro politica bisa menjadi sarana nyata menata ulang arah kekuasaan dan memperdalam demokrasi Indonesia.


Kesimpulan


Kesimpulannya, quadro politica menawarkan kerangka pemikiran penting untuk memahami dan menata ulang relasi kekuasaan yang semakin kompleks di Indonesia. Namun gagasan besar ini hanya akan berbuah jika diikuti oleh aturan teknis yang jelas, penguatan kapasitas institusi pengawas, dan mekanisme penegakan yang efektif. Tanpa pembatasan kepemilikan, transparansi struktur korporasi media, dan sanksi terhadap benturan kepentingan, independensi ruang publik akan terus tergerus oleh logika politik dan pasar.


Reformasi hukum dan koordinasi antar lembaga menjadi prasyarat agar quadro politica tidak sekadar retorika akademik tetapi berubah menjadi kebijakan operasional. Selain itu, penguatan jurnalisme independen dan pendidikan literasi media adalah langkah kunci untuk memperluas daya tahan masyarakat terhadap narasi tunggal. Pada akhirnya keberhasilan menata ulang arah kekuasaan dan memperdalam demokrasi bergantung pada komitmen kolektif negara, institusi, dan warga untuk menegakkan aturan dan etika publik secara konsisten.


Demikian artikel mengenai Mampukah Quadro Politica ala Prof Jimly Asshiddiqie Menata Ulang Arah Kekuasaan dan Demokrasi Indonesia?, semoga bermanfaat!

Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum

Quadro politica ala Prof. Jimly Asshiddiqie hadir sebagai kritik atas kerangka trias politica yang dianggap tak lagi mampu menjelaskan kompleksitas kekuasaan modern, di mana media, pasar, dan masyarakat madani kini ikut menentukan arah negara. Gagasan ini menuntut pemisahan dan pengawasan terhadap tiga aktor tersebut layaknya cabang kekuasaan, karena konsentrasi kepemilikan media dan jejaring politik–korporasi berisiko melemahkan independensi publik. Namun tanpa aturan teknis yang jelas, institusi pengawas yang kuat, dan mekanisme penegakan yang tegas, konsep ini berpotensi berhenti sebagai istilah akademik semata. Reformasi regulasi, penguatan kapasitas lembaga seperti KPI dan KPPU, serta dukungan terhadap jurnalisme independen dan literasi media menjadi prasyarat agar quadro politica benar-benar mampu menata ulang relasi kekuasaan dan memperdalam demokrasi Indonesia.

Referensi

Buku

Mochtar, Zainal Arifin dan Dahlan, Muhidin M. Kronik Otoritarianisme Indonesia: Dinamika 80 Tahun Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta: Ea Books, 2025.

Jurnal

Asshiddiqie, Jimly. “Fenomena Regresi Demokrasi:Potret Demokrasi Masa Kini di Indonesia dan Australia.” Jimly Legal Yustisia Journal 1, no. 1 (2023): 1-12. https://jslgjournal.com/jly/article/view/1.  

Evanalia, Sadryna. “Peran Jurnalisme Media Sosial dalam Mewujudkan Demokrasi Indonesia di Era Post Truth.” Jurnal Adhyasta Pemilu 5 no. 1 (2024): 32-43. https://doi.org/10.55108/jap.v5i1.86

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Artikel Webpage

Asshiddiqie, Jimly. “Media Komunikasi Publik dan Pemisahan Empat Cabang Kekuasaan dalam Rangka Menjaga Keutuhan NKRI melalui Media Penyiaran yang Sehat dan Berkualitas.” KPI.go.id, 4 April 2018. Tersedia pada https://www.kpi.go.id/index.php/id/umum/16-kajian/34428-media-komunikasi-publik-dan-pemisahan-empat-cabang-kekuasaan-dalam-rangka-menjaga-keutuhan-nkri-melalui-media-penyiaran-yang-sehat-dan-berkualitas 

JakartaSatu.com. “Respons Mantan Ketua MK soal Pihak yang Keberatan Pemisahan Pemilu.” JakartaSatu.com, 6 Juli 2025. Tersedia pada https://jakartasatu.com/2025/07/06/respons-mantan-ketua-mk-soal-pihak-yang-keberatan-pemisahan-pemilu/ 

Wiryono, Singgih dan Damarjati, Danu. “Jimly: Demokrasi Kita Tak Baik-Baik Saja, Kuantitas Tinggi–Kualitas Rendah.” Kompas.com, 17 April 2025. Tersedia pada https://nasional.kompas.com/read/2025/04/17/15593131/jimly-demokrasi-kita-tak-baik-baik-saja-kuantitas-tinggi-kualitas-rendah