Sumber: hukumonline.com
Reformasi KUHAP Baru, Mengulas Kebaruan di tengah Perkembangan Zaman.
Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru oleh DPR pada akhir November 2025 bukan hanya sekadar ritual legislatif, melainkan sebagai sebuah penanda terhadap perubahan besar dalam kerangka hukum acara pidana Indonesia yang akan efektif serentak dengan KUHP baru pada 2 Januari 2026.
Namun, dalam pengesahannya tersebut terdapat kekhawatiran mendalam yang dirasakan oleh masyarakat luas tentang penegakan hukum yang akan berlaku tersebut, hal ini ditandai dengan adanya pasal-pasal yang dinilai tidak mengimplementasikan sebuah penegakan hukum yang berkeadilan, dan kesetaraan. Pengesahan KUHAP tersebut juga menimbulkan sebuah pertanyaan besar, apakah KUHAP kita memang perlu diperbaharui?
Pengertian KUHAP
KUHAP atau yang biasa kita sebut sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah kerangka hukum formil yang mengatur tata cara penegakan hukum pidana yang meliputi penyidikan, penahanan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan hingga eksekusi putusan. Secara historis Indonesia mengenal KUHAP lama yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, KUHAP ini berhasil menggantikan Herziene Inlandsch Reglement (HIR) yang merupakan produk hukum dari rezim kolonial Belanda.
Pada konteks sejarahnya, KUHAP baru ini merupakan simbol lahirnya kesadaran hukum nasional pasca-kemerdekaan, yakni upaya keluar dari bayang-bayang hukum kolonial. Namun, seiring berjalannya waktu, KUHAP 1981 menghadapi tantangan fundamental yang bersumber dari perubahan sosial, teknologi, dan struktur hukum. Pada dekade 1980-an, sistem peradilan pidana Indonesia belum berhadapan dengan fenomena digitalisasi, yang menggunakan teknologi canggih.
Selain itu KUHAP lama juga belum memiliki pengaturan yang memadai terhadap bukti elektronik, mekanisme penyadapan, metode penyidikan berbasis digital, prosedur forensik modern, hingga perlindungan data pribadi dalam proses peradilan. Akibatnya, banyak aparat penegak hukum terpaksa melakukan “interpretasi kreatif” atau menggunakan dasar hukum sektoral untuk menutupi kekosongan norma, yang sebenarnya berpotensi melanggar prinsip legalitas (asas lex certa dan lex stricta).
Kontroversi Pengesahan KUHAP Baru
Menanggapi permasalahan KUHAP 1981, muncul rancangan untuk merumuskan dan mengesahkan KUHAP baru sebagai upaya dari pembaharuan hukum yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Namun, dibalik perumusannya muncul berbagai kritik yang berangkat dari kegelisahan bahwa reformasi hukum acara pidana seharusnya memperkuat due process of law, namun faktanya KUHAP baru justru dikhawatirkan membuka ruang penyimpangan baru. Kritik paling fundamental adalah dugaan bahwa sejumlah ketentuan dalam KUHAP baru masih mempertahankan pola pikir represif yang selama puluhan tahun dikritik dalam KUHAP lama.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil seperti ICJR, LBH, dan AJI menilai bahwa meskipun KUHAP baru diklaim modern dan selaras dengan KUHP baru, beberapa pasal justru memperluas kewenangan aparat tanpa memperkuat mekanisme check and balance. Kekhawatiran terbesar publik terletak pada potensi peningkatan penahanan yang berlebihan, minimnya penguatan hak tersangka, serta adanya celah yang memungkinkan pembatasan kebebasan sipil melalui proses pidana.
Salah satu isu yang paling disorot publik adalah potensi pelemahan hak atas bantuan hukum sejak awal proses penyidikan. Dalam praktik KUHAP lama saja, tersangka seringkali tidak mendapatkan akses cepat terhadap penasihat hukum meskipun Pasal 54 dan 55 mengatur dengan jelas hak tersebut. Dalam KUHAP baru, publik mempertanyakan apakah perumusan pasal hak pembelaan benar-benar memperkuat posisi tersangka atau justru mengulang masalah lama yang membuka ruang bagi interogasi tanpa pendampingan.
Kritik semacam ini muncul karena perubahan norma tidak serta-merta menjamin perubahan perilaku aparat. Masyarakat sipil menegaskan bahwa tanpa penguatan mekanisme pengawasan eksternal misalnya melalui independent oversight body, hak konstitusional warga rentan hanya menjadi dokumen formal tanpa kekuatan substantif.
Analisis Urgensi Pembaharuan KUHAP
Pertanyaan mengenai seberapa penting pengesahan KUHAP merupakan hal yang harus dapat dijawab secara objektif, sebab meskipun pembaharuan hukum acara pidana merupakan kebutuhan historis dan fungsional, substansi KUHAP baru menuai banyak kontroversi dari berbagai kalangan. Pentingnya pembaharuan KUHAP sebenarnya tidak terbantahkan, sebab KUHAP 1981 sudah terlalu usang untuk mengatur penyidikan digital, bukti elektronik, perlindungan data pribadi, serta kejahatan transnasional yang membutuhkan standar teknis modern.
Hal tersebut didukung dengan perkembangan konstitusional pasca-amandemen UUD 1945 yang mengharuskan hukum acara pidana menempatkan hak warga negara sebagai pusat perlindungan. Artinya, pengesahan pembaharuan KUHAP merupakan keharusan normatif agar sistem peradilan pidana berjalan sesuai prinsip negara hukum. KUHAP baru diharapkan membawa modernisasi mekanisme pembuktian, memperbarui paradigma perlindungan HAM, dan meningkatkan efisiensi penyidikan yang berkeadilan.
Namun, pentingnya pembaharuan tidak secara otomatis menjustifikasi buruknya kualitas dari substansi undang-undang yang disahkan. Salah satu persoalan yang paling mengemuka dalam pengesahan KUHAP baru ini adalah perluasan kewenangan aparat, khususnya penyidik, yang dikhawatirkan menggeser keseimbangan antara kekuasaan negara dan hak individu.
Misalnya saja, ketentuan mengenai penahanan yang memungkinkan perpanjangan lebih fleksibel berpotensi membuka praktik penahanan berlebih tanpa kontrol yudisial yang memadai. Pasal-pasal seperti ketentuan “penundaan pendampingan penasihat hukum” dalam keadaan tertentu dipandang multitafsir dan membuka ruang penyalahgunaan, bertentangan dengan prinsip due process yang seharusnya menjadi roh KUHAP.
KUHAP baru memang menghadirkan beberapa kemajuan normatif, seperti halnya serangkaian pengaturan yang ditujukan terhadap bukti elektronik, pemeriksaan berbasis teknologi, dan penataan ulang hukum acara menjadi lebih relevan dengan dunia digital.. Selain itu, penguatan koordinasi antar lembaga penegak hukum serta upaya harmonisasi dengan KUHP baru juga memberi nilai tambah bagi integrasi sistem peradilan pidana.
Meskipun berbagai ketentuan yang disahkan dalam KUHAP terbaru disebutkan untuk dirancang dengan sedemikian rupa agar menjawab tantangan perubahan zaman yang adaptif, dan progresif. Namun secara objektif terdapat ketimpangan terhadap pasal pasal yang dinilai kurang bisa memberikan keseimbangan terhadap kewenangan aparat penegak hukum dengan hak masyarakat sipil yang seharusnya dilindungi oleh negara.
Maka demikian, pengesahan KUHAP baru merupakan langkah penting dalam proses penegakan hukum yang adil dan progresif, namun bukan berarti sudah ideal. Oleh karena itu, diskursus publik mengenai pasal-pasal yang merugikan harus dijadikan bahan evaluasi, bukan dianggap sebagai penolakan terhadap reformasi. Kritik yang berkembang merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam memastikan bahwa revitalisasi KUHAP benar-benar membawa manfaat bagi rakyat, bukan memperluas kewenangan negara tanpa batas yang jelas.
Demikian artikel mengenai pembahasan KUHAP terbaru, semoga bermanfaat!
Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.
{{summary:0}}
Referensi
Buku
Marzuki, Peter Mahmud. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana, 2021.
Jurnal Ilmiah
Ariani, Ni Putu Eka. “Reformulasi Kebijakan Pemidanaan dalam KUHP Baru: Analisis Kritis terhadap Tujuan Pemidanaan Nasional.” Jurnal Hukum dan Pembangunan 53, No. 2 (2023): 245–263.
Budiono, Anang. “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam KUHP Baru: Pergeseran Paradigma dan Tantangan Implementasi.” Jurnal Rechtsvinding 12, No. 1 (2023): 45–62.
Fadillah, R. Anugerah, dan Ahmad R. Ramadhan. “Kontroversi Pasal Penghinaan Presiden dalam KUHP Baru: Tinjauan Konstitusional dan HAM.” Jurnal Konstitusi 20, No. 3 (2023): 511–532.
Maheswara, I Gede. “Kebijakan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Kesusilaan dalam KUHP Baru.” Jurnal Legislasi Indonesia 21, No. 1 (2024): 77–98.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU Nomor 8 Tahun 1981, sebagaimana diubah oleh UU Nomor 1 Tahun 2023, LN Tahun 2023 No. 3, TLN No. 6841.
Baca Artikel Menarik Lainnya!
Apa itu Sultan Ground dan Hak Apa Saja yang Meleka...
21 May 2025
Waktu Baca: 4 menit
Baca Selengkapnya →
Keracunan MBG: Tanggung Jawab Pelaku Usaha dalam H...
23 September 2025
Waktu Baca: 6 menit
Baca Selengkapnya →
KPK Usut Dugaan Korupsi Jalan di Sumatera Utara: N...
29 June 2025
Waktu Baca: 4 menit
Baca Selengkapnya →