Pengesahan KUHAP baru oleh DPR pada November 2025 menjadi tonggak besar dalam reformasi hukum pidana Indonesia. Revisi ini dipersiapkan sejak lama sebagai konsekuensi dari pengesahan KUHP baru yang akan berlaku pada Januari 2026. KUHAP lama yang telah berusia lebih dari empat dekade dinilai tidak lagi mampu menjawab tantangan hukum modern, terutama terkait perlindungan HAM dan perkembangan teknologi. Pemerintah menilai pembaruan hukum acara pidana ini mendesak, namun sejumlah pihak menilai proses legislasi berlangsung terlalu cepat dan minim partisipasi publik. Kondisi inilah yang membuat KUHAP baru menjadi salah satu UU paling kontroversial tahun 2025.


Beberapa Pasal-Pasal Krusial yang Dianggap Bermasalah

Sejumlah ketentuan dalam KUHAP baru menimbulkan kekhawatiran dari akademisi, advokat, hingga lembaga HAM. Salah satunya adalah perluasan kewenangan aparat dalam penangkapan dan penyadapan yang dinilai dapat membuka ruang penyalahgunaan apabila tidak disertai mekanisme kontrol yang kuat. Beban pembuktian dalam beberapa pasal juga dinilai berpotensi melemahkan posisi tersangka, terutama dalam kasus tertentu yang melibatkan kejahatan teknologi dan tindak pidana khusus. Selain itu, masih terdapat kritik mengenai kurangnya jaminan transparansi dalam proses penyelidikan dan penyidikan, sehingga publik menilai beberapa ketentuan berpotensi menggerus prinsip due process of law.


Bunyi Pasal 5 Ayat (2) :

Penyelidik atas perintah Penyidik dapat melakukan tindakan berupa: 

a. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, Penggeledahan dan Penahanan; 

b. pemeriksaan dan Penyitaan surat; 

c. mengambil sidik jari, melakukan identifikasi, memotret seseorang dan data forensik seseorang; dan 

d. membawa dan menghadapkan seseorang pada Penyidik. 


Berdasarkan Pasal 5 Ayat (2), terdapat sisi positif dari pemberian kewenangan kepada penyelidik untuk melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan surat, hingga pengambilan data forensik atas perintah penyidik dapat mempercepat proses penegakan hukum. Dalam kondisi mendesak, tindakan cepat di lapangan sangat penting agar barang bukti tidak hilang, tersangka tidak melarikan diri, dan proses penyelidikan berjalan lebih efisien. Kewenangan ini juga memperkuat kerja kriminalistik modern karena penyelidik dapat langsung melakukan identifikasi forensik tanpa menunggu penyidik hadir. Dengan adanya perintah hierarkis yang jelas, tindakan penyelidik tetap berada dalam kontrol penyidik sehingga memperlancar koordinasi internal.


Namun dampak negatif yang mungkin terjadi yakni, kewenangan yang sangat luas ini membuka potensi penyalahgunaan upaya paksa, terutama karena penyelidik bukan pejabat utama yang biasanya diberi kewenangan untuk mengeksekusi tindakan tersebut. Tanpa batasan rinci mengenai standar, ruang lingkup, dan dokumentasi perintah penyidik, tindakan seperti penangkapan atau penggeledahan dapat dilakukan tanpa kontrol yang memadai dan berpotensi melanggar hak asasi atau privasi warga. Pengambilan data forensik dan pemotretan seseorang juga dapat menimbulkan risiko profiling bila tidak dibatasi subjeknya secara jelas. Pada akhirnya, akuntabilitas bisa kabur, apakah penyidik atau penyelidik yang bertanggung jawab sehingga celah pelanggaran prosedur semakin besar.


Bunyi Pasal 93 Ayat (1) :

Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 hanya dapat dilakukan berdasarkan surat perintah Penahanan atau penetapan Hakim terhadap Tersangka atau Terdakwa yang melakukan tindak pidana atau melakukan percobaan atau pemberian bantuan terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih,


Berdasarkan pasal tersebut, dampak positif yang bisa terjadi yakni Pengaturan bahwa penahanan hanya dapat dilakukan melalui surat perintah penahanan atau penetapan hakim memberikan batasan bahwa tidak semua tindak pidana dapat langsung membuat seseorang ditahan hanya untuk kasus yang ancaman pidananya lima tahun atau lebih. Ini mempersempit ruang kriminalisasi kasus ringan dan mendorong proporsionalitas penahanan. Selain itu, adanya opsi penetapan hakim tetap membuka ruang kontrol yudisial bagi tersangka yang ingin memastikan legalitas penahanannya. Dari sisi penegak hukum, ketentuan ini memberi fleksibilitas ketika kasus membutuhkan penanganan cepat dan situasi mendesak sehingga penahanan tetap dapat dilakukan tanpa harus menunggu persetujuan hakim terlebih dahulu.


Namun, skema alternatif antara surat perintah penahanan yang dapat dibuat penyidik sendiri dan penetapan hakim menciptakan celah besar bagi penyalahgunaan. Alih-alih memperkuat judicial oversight, aturan ini justru memungkinkan penahanan dilakukan tanpa campur tangan hakim, selama penyidik mengeluarkan surat perintah yang mereka buat sendiri. Hal ini berpotensi menjadikan penahanan lebih mudah, membuka peluang kriminalisasi, serta dapat melanggar prinsip due process of law karena kontrol yudisial menjadi opsional, bukan wajib. Pada akhirnya, aturan ini dapat memperlemah perlindungan hak tersangka dan meningkatkan risiko praktik penahanan sewenang-wenang oleh aparat.


Demikian artikel mengenai Kontroversi KUHAP Baru: Reformasi Hukum Acara Pidana, semoga bermanfaat!

Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.


Kontroversi KUHAP baru muncul karena upaya meningkatkan efektivitas penegakan hukum justru diikuti perluasan kewenangan aparat tanpa pengawasan hakim yang memadai. Banyak aturan memberi aparat ruang bertindak cepat seperti penahanan, penyitaan, dan penggeledahan tetapi batasan dan kontrol yudisialnya lemah atau bersifat alternatif. Akibatnya, KUHAP dinilai belum seimbang antara kebutuhan efisiensi dan perlindungan hak asasi, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan kewenangan dan pelanggaran due process.

Referensi

Jurnal

Adji, Indriyanto Seno. “Problematika Reformasi KUHAP dan Penguatan Due Process of Law.” Jurnal Hukum & Peradilan 11, No. 2 (2024).


Artikel Webpage

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. “Risalah Rapat Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.” DPR.go.id. 20 November 2025. Tersedia pada https://www.dpr.go.id. Diakses pada tanggal 18 November 2025.

ELSAM. “Catatan Kritis atas Revisi KUHAP: Ancaman terhadap Perlindungan Hak Asasi Manusia.” Elsam.or.id. 2025. Tersedia pada https://www.elsam.or.id. Diakses pada tanggal 18 November 2025.

Hukumonline. “Pengesahan RUU KUHAP Baru: Perdebatan, Kritik, dan Implikasi Penegakan Hukum.” Hukumonline.com. 20 November 2025. Tersedia pada https://www.hukumonline.com. Diakses pada tanggal 18 November 2025.