Peluncuran Sputnik I pada tahun 1957 oleh Uni Soviet membuka era baru eksplorasi manusia ke ruang angkasa sekaligus melahirkan persoalan hukum yang belum pernah dihadapi sebelumnya. Aktivitas di luar bumi menimbulkan pertanyaan fundamental mengenai siapa yang berwenang mengatur penggunaan ruang angkasa, bagaimana status hukum atas benda-benda angkasa, serta mekanisme apa yang berlaku untuk mengatur tanggung jawab negara maupun entitas swasta ketika terjadi kerugian lintas batas. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang kemudian melahirkan hukum angkasa (space law) sebagai cabang baru hukum internasional.


Namun, bagaimana sebenarnya konsep dasar hukum angkasa itu dibangun? Apa saja instrumen internasional yang menjadi pijakan utamanya? Dan sejauh mana rezim hukum tersebut mampu menjawab tantangan kontemporer seperti eksploitasi sumber daya, komersialisasi, hingga kolonisasi planet lain?


Konsep Dasar Hukum Angkasa

Hukum angkasa (space law) merupakan cabang baru dari hukum internasional yang lahir sebagai respons terhadap kebutuhan untuk mengatur aktivitas manusia di luar bumi. Ruang lingkupnya meliputi berbagai aspek, mulai dari eksplorasi ilmiah, peluncuran satelit, tanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh benda angkasa, hingga isu-isu kontemporer seperti komersialisasi, eksploitasi sumber daya, dan kolonisasi planet lain.


Menurut Francis Lyall dan Paul B. Larsen, hukum angkasa dipandang sebagai particulate law, yaitu suatu himpunan norma yang bersifat sektoral, dinamis, dan berkembang sesuai dengan kebutuhan komunitas internasional Karakter particulate menandakan bahwa hukum angkasa tidak hadir sebagai satu rezim kodifikatif yang menyeluruh seperti hukum laut atau hukum laut internasional, melainkan terdiri atas “potongan-potongan” aturan hukum yang lahir dari berbagai sumber.


Sumber utama hukum angkasa terbentuk melalui resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), traktat internasional, prinsip-prinsip hukum internasional umum, hingga regulasi domestik yang dibuat oleh masing-masing negara. Keempat sumber ini saling melengkapi dan membentuk kerangka hukum yang bersifat fragmentaris namun adaptif. Dengan sifatnya yang fleksibel, hukum angkasa mampu menyesuaikan diri terhadap dinamika perkembangan teknologi antariksa yang terus bergerak cepat.


Kerangka konseptual ini penting dipahami sebagai landasan untuk melihat perkembangan hukum angkasa dalam praktik. Pada tahap awal di tahun 1960-an, rezim hukum angkasa muncul melalui serangkaian resolusi PBB yang menegaskan prinsip kebebasan eksplorasi dan larangan klaim kedaulatan atas ruang angkasa, sebelum akhirnya diformalkan dalam Outer Space Treaty 1967 beserta traktat-traktat pendukungnya. Oleh karena itu, untuk memahami keberadaan hukum angkasa saat ini, perlu terlebih dahulu meninjau sejarah pembentukan hukum angkasa sebagai fondasi utama bagi rezim hukum internasional di bidang antariksa.


Sejarah Pembentukan Hukum Angkasa

Hukum angkasa lahir melalui dua tahap perkembangan. Pertama, era deklaratif, ditandai dengan lahirnya resolusi-resolusi Majelis Umum PBB, khususnya Resolusi 1962 (XVII) tahun 1963, yang menegaskan prinsip kebebasan eksplorasi ruang angkasa, larangan klaim kedaulatan, kewajiban tanggung jawab negara, serta penggunaan ruang angkasa untuk tujuan damai. Meskipun hanya berupa soft law, resolusi ini meletakkan fondasi konsensus global bahwa ruang angkasa merupakan wilayah bersama umat manusia.


Kedua, era normatif, ketika prinsip-prinsip tersebut diformalkan melalui Outer Space Treaty (OST) 1967, yang dianggap sebagai Magna Charta hukum angkasa. Setelah OST, lahir pula empat traktat tambahan: Rescue and Return Agreement 1968, Liability Convention 1972, Registration Convention 1975, dan Moon Agreement 1979. Kelimanya dikenal sebagai lima traktat utama PBB di bidang hukum angkasa, meskipun efektivitasnya berbeda: OST mendapat ratifikasi luas, sedangkan Moon Agreement hanya didukung sebagian kecil negara.


Selain itu, Committee on the Peaceful Uses of Outer Space (COPUOS) berperan penting sebagai forum negosiasi, penyusunan, dan implementasi norma hukum angkasa sejak 1959. Melalui komite ini, lahir kompromi antara kepentingan negara maju (space powers) yang menekankan kebebasan eksplorasi dengan negara berkembang yang mengutamakan prinsip common heritage of mankind.


Prinsip-Prinsip Fundamental Hukum Angkasa

Outer Space Treaty (OST) 1967 merupakan dasar utama hukum angkasa internasional. Isi traktat ini menegaskan prinsip-prinsip fundamental yang hingga kini menjadi pijakan utama:

1) Kebebasan Eksplorasi dan Penggunaan (Pasal I)

Semua negara bebas menjelajahi dan memanfaatkan ruang angkasa, termasuk bulan dan benda langit lainnya, tanpa diskriminasi, dan demi kepentingan seluruh umat manusia.

2) Larangan Klaim Kedaulatan (Pasal II)

Ruang angkasa tidak dapat dijadikan objek kepemilikan oleh negara manapun melalui klaim kedaulatan, penggunaan, atau pendudukan.

3) Tujuan Damai (Pasal IV)

Penempatan senjata nuklir atau senjata pemusnah massal di orbit bumi maupun benda langit dilarang, menegaskan bahwa ruang angkasa hanya untuk tujuan damai.

4) Astronot sebagai Utusan Umat Manusia (Pasal V)

Astronot dipandang sebagai “envoys of mankind” dan negara-negara berkewajiban memberikan bantuan jika terjadi kecelakaan atau pendaratan darurat.

5) Tanggung Jawab Negara (Pasal VI)

Negara bertanggung jawab penuh atas aktivitas antariksa, baik yang dilakukan oleh badan pemerintah maupun entitas swasta di bawah yurisdiksinya.

6) Tanggung Jawab Internasional atas Kerugian (Pasal VII)

Negara peluncur bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh objek antariksa mereka, baik di bumi maupun di ruang angkasa.

7) Yurisdiksi dan Kontrol (Pasal VIII)

Negara mempertahankan yurisdiksi dan kontrol atas objek antariksa yang diluncurkan, beserta personel yang mengoperasikannya.


Instrumen Regulasi Internasional

Selain Outer Space Treaty (OST) 1967, terdapat empat traktat lain yang melengkapi rezim hukum angkasa internasional. Kelimanya disebut sebagai The Five UN Space Treaties, yang disusun dalam kerangka PBB melalui Committee on the Peaceful Uses of Outer Space (COPUOS).


1) Rescue and Return Agreement (1968)

Perjanjian ini menegaskan kewajiban negara untuk memberikan bantuan kepada astronot yang mengalami kecelakaan, pendaratan darurat, atau keadaan darurat lain di wilayah negara pihak. Selain itu, negara juga wajib mengembalikan astronot ke negara peluncur dan membantu pengembalian benda angkasa yang jatuh ke bumi.


2) Liability Convention (1972)

Konvensi ini memperluas prinsip tanggung jawab negara dalam OST. Negara peluncur memikul:

  • Tanggung jawab mutlak (absolute liability) untuk kerugian yang terjadi di permukaan bumi atau pesawat udara.
  • Tanggung jawab berbasis kesalahan (fault-based liability) untuk kerugian di luar angkasa.
  • Konvensi ini memberikan mekanisme penyelesaian klaim melalui negosiasi diplomatik atau klaim ke PBB.


3) Registration Convention (1975)

Konvensi ini mewajibkan setiap negara peluncur untuk mendaftarkan objek antariksa ke Sekretaris Jenderal PBB dengan informasi meliputi orbit, fungsi, dan data teknis. Tujuannya adalah untuk meningkatkan transparansi dan menghindari sengketa yurisdiksi antarnegara.


4) Moon Agreement (1979)

Perjanjian ini menegaskan bahwa bulan dan benda langit lainnya merupakan “common heritage of mankind”. Eksploitasi sumber daya hanya boleh dilakukan untuk kepentingan bersama umat manusia, dan tidak ada negara maupun entitas swasta yang dapat memiliki bagian dari bulan atau benda langit lainnya. Namun, perjanjian ini kurang efektif karena negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok tidak meratifikasinya.


Secara keseluruhan, traktat-traktat tambahan ini menunjukkan upaya komunitas internasional untuk memperinci aspek teknis dan praktis dari hukum angkasa. Akan tetapi, perbedaan kepentingan politik dan ekonomi antarnegara menyebabkan implementasinya tidak merata, khususnya pada Moon Agreement yang minim dukungan.


Yurisdiksi dan Tanggung Jawab Negara

Salah satu aspek terpenting dalam hukum angkasa adalah pengaturan mengenai yurisdiksi dan tanggung jawab negara. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari prinsip bahwa negara adalah aktor utama dalam hukum internasional, sehingga setiap aktivitas antariksa, baik dilakukan oleh pemerintah maupun entitas swasta tetap berada di bawah tanggung jawab negara peluncur.


1) Yurisdiksi atas Objek dan Personel

Pasal VIII Outer Space Treaty (OST) 1967 menegaskan bahwa negara yang meluncurkan objek antariksa tetap memiliki yurisdiksi dan kontrol atas objek tersebut serta personel yang mengoperasikannya, meskipun berada di luar angkasa. Dengan demikian, satelit, stasiun luar angkasa, maupun wahana antariksa tidak menjadi wilayah tanpa hukum (legal vacuum), tetapi tunduk pada hukum nasional negara peluncur. Ketentuan ini juga berarti bahwa setiap sengketa atau tindak pidana yang terjadi di atas objek antariksa dapat diselesaikan melalui yurisdiksi negara asal.


2) Tanggung Jawab atas Aktivitas Antariksa

Pasal VI OST menyatakan bahwa negara bertanggung jawab penuh atas semua aktivitas antariksa yang dilakukan oleh lembaga pemerintah maupun entitas swasta. Negara tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab dengan alasan bahwa kegiatan dilakukan oleh perusahaan swasta atau badan non-pemerintah. Oleh karena itu, negara wajib melakukan otorisasi dan pengawasan berkelanjutan (continuing supervision) terhadap aktivitas swasta di bidang antariksa.


3) Mekanisme Tanggung Jawab Internasional

Ketentuan ini diperluas dalam Liability Convention 1972, yang menetapkan dua rezim tanggung jawab, yaitu:

  • Absolute liability, negara peluncur bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi di bumi atau terhadap pesawat udara di udara, tanpa perlu pembuktian kesalahan.
  • Fault-based liability, tanggung jawab negara di luar angkasa hanya berlaku apabila terbukti adanya kesalahan (fault) dalam peluncuran atau pengoperasian objek antariksa.

Sebagai contoh, kasus Kosmos 954 (1978) menunjukkan penerapan mekanisme ini, ketika satelit militer Uni Soviet yang membawa reaktor nuklir jatuh di wilayah Kanada dan menimbulkan kerugian lingkungan. Kanada mengajukan klaim berdasarkan Liability Convention, meskipun akhirnya penyelesaian dilakukan secara diplomatis dengan kompensasi sebagian.


5) Implikasi bagi Aktivitas Swasta

Seiring meningkatnya keterlibatan perusahaan swasta dalam eksplorasi antariksa, pengaturan mengenai tanggung jawab negara semakin krusial. Meskipun aktivitas dilakukan oleh entitas komersial, negara tetap menjadi pihak yang bertanggung jawab di forum internasional. Hal ini menimbulkan kesenjangan hukum (legal gap), karena regulasi nasional di beberapa negara, seperti U.S. Commercial Space Launch Competitiveness Act 2015, memberikan keleluasaan besar bagi perusahaan swasta untuk melakukan eksploitasi sumber daya antariksa.


Isu Kontemporer dalam Hukum Angkasa

Meskipun hukum angkasa memiliki dasar kuat melalui Outer Space Treaty 1967 dan traktat-traktat pendukungnya, perkembangan teknologi dan politik global menimbulkan sejumlah tantangan baru yang belum sepenuhnya terjawab, misalnya seperti:

1) Eksploitasi Sumber Daya Antariksa

Negara-negara besar mengesahkan undang-undang nasional yang melegitimasi penambangan asteroid, yang memiliki potensi untuk  bertentangan dengan prinsip non-appropriation dalam OST dan common heritage of mankind dalam Moon Agreement.

2) Komersialisasi dan Swastanisasi

Aktor swasta seperti SpaceX dan Blue Origin terus menerus menjadi semakin dominan, sementara hukum internasional belum menyediakan mekanisme akuntabilitas langsung bagi mereka.

3) Sampah Antariksa (Space Debris)

Jumlah fragmen yang terus meningkat mengancam keberlanjutan eksplorasi, tetapi hingga kini belum ada rezim hukum internasional yang komprehensif mengaturnya.

4) Militarisasi

OST hanya melarang senjata pemusnah massal, tetapi tidak menutup peluang penggunaan ruang angkasa untuk kepentingan militer konvensional.

5) Kolonisasi Planet

Wacana permukiman di Bulan dan Mars menimbulkan pertanyaan hukum mengenai status yurisdiksi dan regulasi di luar bumi, yang belum diatur jelas oleh traktat yang ada.


Demikian artikel mengenai hukum angkasa, semoga bermanfaat!

 

Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.


Hukum angkasa lahir sebagai cabang baru hukum internasional untuk menjawab persoalan yang timbul dari aktivitas manusia di luar bumi, dengan Outer Space Treaty 1967 sebagai fondasi utamanya. Prinsip-prinsip seperti kebebasan eksplorasi, larangan klaim kedaulatan, tujuan damai, serta tanggung jawab negara menjadi pijakan utama dalam mengatur pemanfaatan ruang angkasa. Namun, perkembangan teknologi dan politik global menghadirkan tantangan baru mulai dari eksploitasi sumber daya, komersialisasi, sampah antariksa, hingga kolonisasi planet yang belum sepenuhnya dijawab oleh rezim hukum yang ada. Kondisi ini menegaskan perlunya pembaruan dan penguatan instrumen hukum agar ruang angkasa benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan seluruh umat manusia.

REFERENSI

BUKU

Lyall, Francis, and Paul B. Larsen. Space Law: A Treatise. Farnham: Ashgate, 2009.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

United Nations. Treaties and Principles on Outer Space. New York: United Nations, 2011.

United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space (COPUOS). Resolutions Adopted by the United Nations General Assembly on Outer Space. New York: United Nations, 1961–1979.