Selama hampir sebulan terakhir, kelangkaan BBM terjadi di sejumlah SPBU Swasta. Pada pertengahan September 2025, pernyataan Bahlil (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI) menggemparkan media sosial setelah mengumumkan  skema impor stok Bahan Bakar Minyak (BBM) yang akan dilakukan melalui PT Pertamina (Persero). Pertanyaan tersebut menimbulkan banyak perdebatan, terutama terkait Bagaimana analisis skema ini jika dilihat dari kacamata persaingan usaha?


Kelangkaan BBM SPBU Swasta


Fenomena kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) di sejumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) swasta seperti Shell, BP, dan Vivo menjadi sorotan publik sejak Agustus hingga awal Oktober 2025. Kelangkaan ini terjadi terutama pada produk bensin non-subsidi dan telah dikonfirmasi oleh pemerintah melalui berbagai pernyataan resmi. Perubahan mekanisme impor BBM oleh Kementerian ESDM diduga menjadi penyebab kelangkaan bahan bakar di SPBU swasta. Kebijakan baru ini memangkas masa berlaku izin impor dari yang semula satu tahun menjadi hanya enam bulan, disertai kewajiban evaluasi setiap tiga bulan. Selain itu, badan usaha swasta kini diwajibkan memiliki izin usaha niaga atau pengolahan dan harus melaporkan kegiatan impornya secara rutin. 


Menurut laporan pada berita Katadata (7 Oktober 2025), realisasi kuota impor BBM oleh sejumlah badan usaha swasta seperti Shell, BP-AKR, dan Vivo telah mencapai lebih dari 98% dari batas kuota tahunan yang ditetapkan pemerintah. Kondisi ini menyebabkan beberapa SPBU swasta mulai mengalami keterbatasan stok menjelang akhir tahun. Sebagai respons atas situasi tersebut, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Kementerian Investasi/BKPM mengeluarkan kebijakan sementara yang mengarahkan impor BBM dilakukan melalui PT Pertamina (Persero). Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, menegaskan bahwa kebijakan ini bersifat transisional dan hanya berlaku hingga akhir tahun 2025, sebelum nantinya badan usaha swasta diperbolehkan kembali melakukan impor secara mandiri pada tahun 2026. Menurut pemerintah, skema ini diharapkan dapat menjamin stabilitas pasokan nasional sembari menyiapkan mekanisme impor yang lebih terintegrasi antara Pertamina dan pelaku usaha swasta.


Apakah Skema Impor BBM Satu Pintu melalui Pertamina Merupakan Monopoli?


Penerapan kebijakan impor BBM melalui satu pintu oleh pemerintah, yang mewajibkan seluruh badan usaha swasta membeli BBM impor melalui PT Pertamina (Persero) hingga akhir 2025, menimbulkan perhatian dalam konteks hukum persaingan usaha. Secara normatif, kebijakan ini bersinggungan dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang melarang penguasaan produksi dan pemasaran barang atau jasa oleh satu pelaku usaha secara tidak wajar. Melalui skema tersebut, Pertamina menjadi satu-satunya entitas yang memiliki akses langsung terhadap impor BBM, sementara badan usaha lain hanya berperan sebagai pembeli atau distributor sekunder. Kondisi ini dalam praktiknya membentuk struktur pasar monopoli tunggal di sektor BBM. Namun, dalam UU No. 5 Tahun 1999 Pasal 51 memberikan perkecualian bagi BUMN yang menjalankan cabang produksi penting bagi negara atau yang menguasai hajat hidup orang banyak. 


Pertamina sebagai BUMN energi memiliki mandat konstitusional di bawah Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945, sehingga tindakan penguasaan pasar dapat dibenarkan sepanjang dimaksudkan untuk menjaga kepentingan publik. Dengan demikian, terdapat ketegangan antara prinsip state control dan prinsip fair competition dalam kerangka ekonomi pasar Indonesia. Namun demikian, pengecualian itu tidak bersifat bebas atau absolut. BUMN bisa memiliki hak monopoli dalam ranah yang ditetapkan. Akan tetapi, jika perilaku monopoli itu menyimpang dari tujuan publik atau menimbulkan kerugian persaingan, maka tindakan BUMN tersebut tetap dapat dikaji dan dikontrol. Banyak analisis hukum menyebut bahwa meskipun Pasal 51 memberi “kelonggaran”, BUMN masih terikat prinsip persaingan usaha sehat, terutama ketika mereka menyalahgunakan kekuasaannya (abuse of dominant position) atau menciptakan hambatan masuk (entry barrier) bagi pelaku usaha lain.


Dalam praktik pengawasan, lembaga seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dapat meninjau perilaku BUMN ketika terdapat dugaan pelanggaran persaingan usaha. Sebagai contoh, dalam Putusan KPPU No. 15/KPPU-I/2019, KPPU menjatuhkan putusan terhadap sejumlah maskapai penerbangan (termasuk sebagian merupakan BUMN) dengan pertimbangan bahwa mereka memiliki pasar yang sangat dominan (di atas 95 %) dan bahwa tindakan mereka harus dievaluasi dalam kerangka persaingan usaha sehat.


Kasus tersebut menunjukkan bahwa BUMN tidak bisa sepenuhnya “bebas” dari pengawasan persaingan jika tindakan mereka melampaui batas yang dibenarkan dalam kerangka kepentingan umum. Karena itu, meski Pasal 51 menyediakan ruang untuk monopoli BUMN, interpretasi yuridisnya harus diimbangi dengan prinsip proporsionalitas, transparansi, dan kontrol eksternal agar skema impor satu pintu tidak berubah dari alat stabilisasi menjadi alat monopoli permanen yang merugikan persaingan dan masyarakat.

Selama Agustus hingga awal Oktober 2025, kelangkaan BBM di SPBU swasta seperti Shell, BP, dan Vivo terjadi akibat perubahan kebijakan impor oleh Kementerian ESDM yang memperketat izin dan masa berlaku impor. Menyikapi hal ini, pemerintah menerapkan skema impor satu pintu melalui PT Pertamina (Persero) hingga akhir 2025 untuk menjaga stabilitas pasokan nasional. Namun, kebijakan ini menuai perdebatan karena berpotensi menciptakan struktur pasar monopoli, di mana Pertamina menjadi satu-satunya pelaku yang dapat melakukan impor langsung. Secara hukum, kebijakan ini berada di persimpangan antara pengecualian bagi BUMN dalam Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999 dan prinsip persaingan usaha sehat dalam Pasal 17. Meskipun Pertamina memiliki mandat konstitusional untuk menguasai cabang produksi penting bagi negara, pengawasan oleh KPPU tetap diperlukan agar skema ini tidak disalahgunakan menjadi bentuk monopoli permanen yang merugikan pelaku usaha lain dan konsumen.

Referensi

Jurnal

Fachri, F., dan I. E. Joesoef. “Analisis Pertimbangan KPPU terhadap Pelanggaran Persaingan Usaha Tidak Sehat Dilakukan oleh Perusahaan Penerbangan BUMN (Studi Kasus Putusan No. 15/KPPU-I/2019).” Jurnal Education and Development 9, no. 1 (2021): 75–77.

Fadhilah, Meita. “Penegakan Hukum Persaingan Usaha Tidak Sehat oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam Kerangka Ekstrateritorial.” Jurnal Wawasan Yuridika 3, no. 1 (2019): 55–72.

Ginting, Marshias Mereapul, dkk. “Pengecualian Praktek Monopoli yang Dilakukan oleh BUMN Sesuai Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999.” Transparency: Jurnal Hukum Ekonomi 1, no. 1 (2013): 5-8.

Peraturan Perundang-undangan

Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3817.

Website

Feisal, Rio. “HIPMI Nilai Kebijakan Impor BBM Satu Pintu Sesuai Arahan Presiden.” ANTARA News, 18 September 2025. Tersedia pada https://www.antaranews.com/berita/5118265/hipmi-nilai-kebijakan-impor-bbm-satu-pintu-sesuai-arahan-presiden?utm.Diakses 6 Oktober 2025.

CNN Indonesia. “ESDM Blak-Blakan Alasan Impor BBM Satu Pintu Lewat Pertamina.” CNN Indonesia, 18 September 2025.  Tersedia pada https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20250918160710-85-1275146/esdm-blak-blakan-alasan-impor-bbm-satu-pintu-lewat-pertamina.Diakses 6 Oktober 2025.

Syaharani, Mela. “Duduk Perkara BBM SPBU Swasta Langka, Tawaran Impor Lewat Pertamina Sepi Peminat.” Katadata, Oktober 2025. Tersedia pada https://katadata.co.id/berita/energi/68df52e1b1a3d/duduk-perkara-bbm-spbu-swasta-langka-tawaran-impor-lewat-pertamina-sepi-peminat.Diakses 6 Oktober 2025.