
Sumber: Freepik
Fleksibel Tapi Nggak Aman: Realita Gig Worker di Indonesia
Tahukah kamu bahwa lebih dari 57% pekerja di Indonesia berada di sektor informal atau GIG? Mulai dari ojek online, makeup artist, hingga freelance graphic designer — merekalah penggerak ekonomi harian yang sering tak terlihat, bahkan tanpa memiliki kontrak tetap, BPJS hingga THR.
Pekerja Gig dan Gig Economy
Pekerja gig di Indonesia telah menjadi fenomena yang semakin populer dalam era gig economy ini pada beberapa tahun terakhir. Gig economy sendiri adalah model ekonomi di mana orang bekerja secara lepas (freelance) tanpa terikat kontrak atau melalui kontrak jangka pendek melalui platform digital sehingga bersifat fleksibel. Para pekerja yang dimaksud dalam era ini dikenal dengan sebutan pekerja informal/gig. Gig economy dapat berupa pekerjaan kreatif seperti content creator , desainer grafis, make-up artist, dan pekerjaan kreatif lainnya, serta pekerjaan musiman atau seasonal seperti ojek online (ojol) dan kurir. BPS mencatat pada Agustus 2024 bahwa jumlah pekerja informal di Indonesia mencapai 83,34 juta orang, yang merupakan 59.11%. dari total penduduk bekerja di Indonesia, yaitu 144,64 juta orang. Angka yang pekerja informal ini mengkhawatirkan dengan fleksibilitas yang menyerap pekerja Indonesia tetapi sekaligus mengkhawatirkan dengan kerentanannya.
Masalahnya: Indonesia memiliki banyak sekali pekerja akibat dari bonus demografi. Implikasinya, lapangan kerja secara ideal juga harus naik. Apa yang harus dilakukan pemerintah di tengah fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan Seberapa parah gempuran biaya hidup dan ketidakpastian gaji ini mempengaruhi kerentanan pekerja-pekerja gig yang tidak memiliki manfaat kesehatan atau bantuan dalam bentuk apapun? Pekerja gig pada dasarnya hanyalah merupakan pekerjaan ‘sambilan’ atau part-time yang ditujukan untuk menambah upah. Tetapi, sebagai imbas fenomena PHK sebanyak 24.036 orang yang tercatat sejak 1 Januari - 23 April 2025, terdapat perubahan makna dan penormalisasian pekerja gig sebagai pekerjaan utama.
Apakah Sudah Benar-Benar Dilindungi oleh Hukum?
Pekerja gig sejatinya tidak diatur dan dilindungi berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja sehingga menimbulkan kerentanan akibat ketidakpastian dalam hal pendapatan, masa depan, dan hak-hak pekerja gig. Fenomena tersebut menyebabkan seringkali para pekerja gig melakukan frugal living. Frugal living sendiri dapat diartikan sebagai bagian dari gaya hidup sederhana dan hemat. Hemat di sini adalah kondisi di mana bisa ditekannya pengeluaran sehingga ada sisa pendapatan untuk diprioritaskan pada kebutuhan esensial. Padahal, pekerja gig dituntut untuk bekerja terus menerus dan ketika tidak bekerja, mereka tidak mendapat upah sama sekali meskipun mengalami cedera, sakit, dan aktivitas lain yang membatasi fisiknya. Bahkan, pekerja gig saja tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok ketika bekerja penuh waktu, apalagi merencanakan kebutuhan tidak terduga meskipun telah pekerja gig melakukan double job untuk meningkatkan penghasilan.
Tidak hanya itu, pendapatan pekerja gig juga dipengaruhi dari banyaknya jumlah pekerja informal ini yang diperburuk dengan lemahnya pertumbuhan gaji. Bahkan, menurut Tim Jurnalisme Data Harian Kompas dan BPS, ditemukan fakta bahwa pertumbuhan rata-rata gaji warga cenderung melambat. Hal ini memperparah realitas pekerja gig yang menjadikan pekerjaan utama ditengah harga kebutuhan-kebutuhan naik sebagaimana teori hierarchy of needs Abraham Maslow dengan kebutuhan awal saja tidak dapat dipenuhi bagaimana pekerja gig dapat mengaktualisasikan dirinya.
Pekerja gig menghadapi ketidakjelasan hak-hak mereka di tengah fleksibilitas dalam bekerja dan menentukan target pendapatannya sendiri. Mereka tidak memiliki status hukum apakah sebagai karyawan tetap, mitra, atau pekerja lepas. Dengan begitu, hak-hak pekerja seperti hak cuti, hak upah yang layak, hak atas waktu kerja yang sesuai, hingga hak atas kesempatan dan perlakuan yang sama tidak dapat terpenuhi karena tidak diatur oleh peraturan perundang-undangan. Meskipun ada beberapa regulasi yang menyentuh pekerja gig, seperti Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022 yang mengatur tentang tarif ojol dan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2025 tentang Bantuan Hari Raya Bagi Ojek Online, aturan ini masih terbatas hanya pada pekerja gig di sektor transportasi. Pekerja gig di sektor kreatif dan sektor lainnya masih belum mendapat perhatian yang memadai.
Lebih lanjut, pekerja gig tidak memiliki kepastian masa depan. Ketidakpastian disini diartikan ketika pekerja gig tidak mampu lagi melakukan pekerjaannya maka mereka kehilangan satu-satunya sumber pendapatan tanpa adanya jaminan hari tua untuk masa depan di usia pensiun. Padahal, pekerja gig dengan fleksibilitas dan kemudahannya juga layak mendapat kepastian di usia senja. Akibatnya, mereka terpaksa menabung untuk hari tua di tengah keterbatasan melalui frugal living yang menjadi simbol ketidakadilan sistem ekonomi.
Lantas, Bagaimana Seharusnya?
Ditengah kerentanan tersebut pekerja gig sudah selayaknya diberikan perlindungan atas kerentanan tersebut sesuai dengan asas hukum “Equum et bonum est lex legum” yaitu apa yang adil dan baik adalah hukumnya hukum. Sebagai contoh, Inggris dan Belanda memberikan klasifikasi pekerja gig sebagai “pekerja” dengan tunjangan akses terhadap kesehatan dan jaminan hari tua hingga upah minimum.
Simpulan
Gig economy telah menjadi bagian tak terpisahkan dari struktur ekonomi Indonesia, tetapi pekerja gig masih menghadapi berbagai tantangan, mulai dari ketidakpastian pendapatan, ketidakjelasan status hukum, hingga ketiadaan jaminan sosial. Negara-negara seperti Inggris dan Belanda telah mengambil langkah konkret untuk melindungi pekerja gig, dan Indonesia perlu mengikuti jejak tersebut.
Sudah selayaknya pekerja gig dilindungi sesuai amanat UUD NRI 1945 Pasal 27 Ayat (2) yaitu "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Fungsi negara sebagai welfare state perlu diberikan pengaturan spesifik terhadap status hukum dan perlindungan pekerja gig oleh Pemerintah agar pekerja gig tidak terjebak dalam fenomena frugal living. Indonesia perlu meneladani upaya Pemerintah di Inggris dan Belanda melalui pengakuan status hukum pekerja gig sebagai pekerja, pemberian akses kesehatan melalui BPJS dan jaminan hari tua, serta melakukan pengawasan terhadap aktor-aktor yang berkepentingan dalam menjamin kesejahteraan pekerja gig.
Demikian artikel mengenai Realita Gig Worker di Indonesia, semoga bermanfaat!
Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.
Pekerja gig yang kini mencakup lebih dari 57% angkatan kerja Indonesia merupakan penggerak ekonomi harian yang bekerja tanpa kepastian hukum, kontrak tetap, atau perlindungan sosial seperti BPJS dan THR. Meskipun menawarkan fleksibilitas, realitas pekerja gig justru sarat kerentanan akibat ketidakjelasan status hukum, tidak adanya jaminan pendapatan dan hari tua, serta lemahnya perlindungan dari regulasi yang ada. Di tengah tingginya angka PHK dan melambatnya pertumbuhan gaji, pekerja gig kerap harus menjalani frugal living untuk bertahan hidup. Negara-negara seperti Inggris dan Belanda telah mengakui pekerja gig sebagai pekerja yang berhak atas perlindungan sosial, dan Indonesia perlu mengikuti langkah serupa. Sesuai amanat UUD 1945 Pasal 27 Ayat (2), negara harus menjamin pekerjaan dan penghidupan layak dengan memberikan status hukum, jaminan sosial, serta perlindungan hukum yang konkret bagi pekerja gig.
Referensi
Badan Pusat Statistik. (2024, Agustus). Indikator pasar tenaga kerja Indonesia. Badan Pusat Statistik.
Luthvi Febryka Nola, “Penguatan Pelindungan Bagi Pekerja GIG” https://berkas.dpr.go.id/pusaka/files/info_singkat/Info%20Singkat-XVII-5-I-P3DI-Maret-2025-209.pdf Komisi IX DPR RI 2025.
Mediana, C. (2025) Dari Mitra ke Pekerja, Desakan Pengemudi Ojol yang Terus Bergulir, Kompas.id. PT Kompas Media Nusantara. Available at: https://www.kompas.id/artikel/dari-mitra-ke-pekerja-desakan-pengemudi-ojol-yang-terus-bergulir (Accessed: 21 May 2025).
Surat Edaran Menaker Nomor M/3/HK.04/III/2025 Tentang Bantuan Hari Raya Bagi Ojol.
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022.
Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
Undang-Undang No. 13 Tahun 2023 tentang Ketenagakerjaan.
Qonita Azzahra, “Pekerja Informal Indonesia Per Agustus 2024 Capai 83,8 juta Jiwa”https://tirto.id/pekerja-informal-indonesia-per-agustus-2024-capai-838-juta-jiwa-g5rb tirto.id 5 November 2024.
Baca Artikel Menarik Lainnya!

Mengenal Model Sistem Peradilan Pidana: Indonesia...
12 June 2025
Waktu Baca: 6 menit
Baca Selengkapnya →
Kendaraan Hilang di Tempat Parkir: Tanggung Jawab...
02 June 2025
Waktu Baca: 4 menit
Baca Selengkapnya →