Selama ini, banyak orang mengira hanya individu yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana. Padahal, korporasi juga dapat dikenakan sanksi jika melakukan tindak pidana yang merugikan masyarakat maupun negara. Inilah wajah baru penegakan hukum modern: menempatkan korporasi sebagai subjek pidana sejajar dengan manusia.


Kedudukan Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia


Menurut hukum positif Indonesia, korporasi telah diakui sebagai subjek hukum pidana. Pengakuan ini ditegaskan dalam berbagai peraturan, seperti UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dengan pengaturan ini, korporasi tidak lagi hanya dipandang sebagai pelaku bisnis, tetapi juga dapat dijadikan terdakwa dalam perkara pidana.


Actus Reus Korporasi


Dalam hukum pidana korporasi, perbuatan atau actus reus dapat dibedakan menjadi tiga bentuk. Pertama, do and impact, yaitu ketika korporasi melakukan perbuatan terlarang sekaligus menimbulkan akibat, contohnya pembuangan limbah beracun yang mencemari sungai. Kedua, do without impact, yakni ketika korporasi melakukan perbuatan yang dilarang meskipun tidak menimbulkan akibat nyata, misalnya pelanggaran izin usaha. Ketiga, impact responsibility, yaitu ketika akibat pidana timbul tanpa dapat ditelusuri langsung pada perbuatan individu tertentu, namun tanggung jawab tetap dibebankan pada korporasi, misalnya kebakaran hutan besar akibat kelalaian sistem pengelolaan perusahaan.


Mens Rea Korporasi


Selain actus reus, tindak pidana korporasi juga lahir dari mens rea atau sikap batin korporasi yang terwujud dalam kebijakan, keputusan, maupun pola kerja yang disengaja untuk memperoleh keuntungan. Motif utama kejahatan korporasi biasanya adalah berorientasi pada keuntungan (profit-oriented), seperti menghemat biaya dengan mengabaikan standar keselamatan kerja, memalsukan laporan keuangan untuk menarik investor, atau melakukan pencemaran lingkungan demi efisiensi produksi. Dengan demikian, meskipun korporasi tidak memiliki “niat” seperti manusia, kehendak korporasi direpresentasikan melalui tindakan pengurus atau kebijakan internal yang secara sadar diarahkan untuk memperoleh manfaat ekonomi, meski melanggar hukum.


Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi


Terdapat beberapa teori yang menjadi dasar pertanggungjawaban korporasi. Teori Identifikasi menyatakan bahwa perbuatan pengurus dianggap sebagai perbuatan korporasi. Teori Vicarious Liability menekankan bahwa korporasi dapat bertanggung jawab atas perbuatan bawahannya yang bertindak untuk kepentingan perusahaan. Teori Strict Liability bahkan memungkinkan korporasi langsung dipidana tanpa perlu membuktikan kesalahan individu, selama terbukti menimbulkan akibat yang dilarang undang-undang. Teori-teori ini menjadi dasar normatif bagi hakim dan penegak hukum dalam memutus perkara pidana korporasi.


Ketiadaan Hukum Positif yang Secara Spesifik Mengatur Tindak Pidana Korporasi


Pengaturan tindak pidana korporasi masih menghadapi persoalan mendasar karena KUHP lama hanya mengenal orang (natuurlijke persoon) sebagai pelaku tindak pidana, sehingga tidak secara tegas mengakui korporasi yakni person, legal entity dan entity sebagai subjek hukum pidana. Kekosongan ini kemudian diisi oleh undang-undang sektoral seperti UU Lingkungan Hidup, UU Tipikor, UU TPPU, hingga UU ITE yang memasukkan korporasi sebagai pelaku tindak pidana dengan mekanisme pertanggungjawaban pidana tertentu. Namun, pengaturan tersebut bersifat parsial dan belum memberikan satu sistem yang komprehensif, sehingga sering menimbulkan kerancuan antara pertanggungjawaban korporasi dengan pengurusnya. RKUHP 2023 yang akan berlaku pada 2026 mulai mengakui korporasi sebagai subjek tindak pidana (Pasal 45–50), tetapi sifatnya masih umum dan menunggu implementasi dalam praktik peradilan. Dengan demikian, hingga kini dapat dikatakan bahwa hukum positif Indonesia belum memiliki satu kodifikasi yang secara spesifik mengatur tindak pidana korporasi, melainkan masih berupa pengaturan tambal sulam dalam berbagai undang-undang sektoral.


Demikian artikel mengenai Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, semoga bermanfaat! Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.

Korporasi selain individu juga dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dalam hukum Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam berbagai undang-undang sektoral seperti UU Tipikor dan UU Lingkungan Hidup. Pertanggungjawaban pidana korporasi mencakup actus reus (perbuatan), mens rea (niat atau kebijakan korporasi), serta didukung oleh teori-teori seperti identifikasi, vicarious liability, dan strict liability. Meskipun pengakuan korporasi sebagai subjek hukum pidana semakin kuat, pengaturannya masih parsial karena KUHP lama hanya mengenal individu sebagai pelaku, sehingga mekanisme pertanggungjawaban masih bergantung pada undang-undang sektoral. RKUHP 2023 mulai mengakomodasi korporasi sebagai subjek pidana, namun sifatnya masih umum dan menunggu implementasi praktik peradilan.

Referensi

Jurnal

Alhakim, A. “Kebijakan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Rancangan KUHP dan Undang-Undang Sektoral.” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 1, no. 3 (2019): 326–340.

Kurniawan, Kukuh Dwi & Dwi Ratna Indri Hapsari. “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Menurut Vicarious Liability Theory.” Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM 29, no. 2 (2022): 324–346.

Rodliyah, Rodliyah; Any Suryani; Lalu Husni. “Konsep Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Corporate Crime) dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia.” Journal Kompilasi Hukum 5, no. 1 (2021): 191–206.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 31 Tahun 1999. LN Tahun 1999 No. 140, TLN No. 3874, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. LN Tahun 2001 No. 134, TLN No. 4150.

Undang-Undang Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 32 Tahun 2009. LN Tahun 2009 No. 140, TLN No. 5059.