Gelombang demonstrasi di Indonesia belakangan ini kembali menarik perhatian, dipicu oleh isu tunjangan parlemen, kebijakan penghematan, serta dugaan penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat keamanan. Aksi yang awalnya merupakan ekspresi kebebasan berpendapat dalam beberapa kasus berujung ricuh dan menimbulkan korban. Hal ini memantik respons dari dunia internasional, termasuk Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) yang menekankan pentingnya penghormatan terhadap hak asasi manusia dan penanganan yang proporsional.


Sorotan ini menunjukkan bahwa persoalan domestik suatu negara bisa menjadi perhatian global apabila menyentuh nilai-nilai universal, khususnya HAM, namun juga menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah situasi seperti ini bisa langsung dibawa ke forum internasional atau tetap berada dalam ranah kedaulatan nasional? 


PBB dan Kapasitas Hukumnya


Dalam hukum internasional, subjek hukum adalah pihak yang memiliki hak dan kewajiban berdasarkan aturan internasional. Pada awalnya hanya negara yang diakui sebagai subjek hukum, namun perkembangan global menunjukkan perlunya aktor lain, termasuk organisasi internasional. Salah satu tonggak awalnya adalah berdirinya Liga Bangsa-Bangsa (LBB) pada 1920 melalui Perjanjian Versailles. Namun, perjanjian ini akhirnya gagal mencegah pecahnya Perang Dunia II.


Dari kegagalan tersebut lahirlah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 24 Oktober 1945 dengan jumlah 51 negara anggota. Kini PBB beranggotakan 193 negara dengan enam organ utama sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 Piagam PBB, yaitu Majelis Umum, Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan Sosial, Dewan Perwalian, Mahkamah Internasional, dan Sekretariat. Setiap organ ini memiliki peran penting dalam mewujudkan perdamaian, keamanan, dan kerja sama antarnegara.


Kapasitas hukum PBB ditegaskan dalam Pasal 104 Piagam PBB, yang menyatakan bahwa organisasi ini memiliki kedudukan hukum di wilayah negara anggota untuk melaksanakan tujuan dan fungsinya. Ketentuan tersebut diperkuat oleh General Convention on the Privileges and Immunities of the United Nations (1946), yang menegaskan personalitas hukum PBB dengan tiga kapasitas utama, yaitu membuat kontrak, memiliki serta menjual properti, dan mengajukan perkara ke pengadilan. Dengan dasar ini, PBB bukan hanya forum politik antarnegara, melainkan subjek hukum internasional yang sah dan efektif dalam mendukung penyelesaian konflik global.


Penyelesaian Sengketa Internasional melalui Mekanisme PBB


Dasar hukum penyelesaian sengketa internasional berakar pada Piagam PBB. Pasal 1 ayat (1) menetapkan tujuan “to maintain international peace and security … by peaceful means.” Pasal 2 ayat (3) mewajibkan anggota “to settle their international disputes by peaceful means,” dan Pasal 2 ayat (4) melarang “the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state.” Lebih lanjut, Pasal 33 menegaskan kewajiban pihak yang bersengketa untuk mencari solusi melalui “negotiation, enquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement … or other peaceful means.” Berdasarkan peraturan tersebut, maka PBB memiliki berbagai mekanisme dalam mengelola sengketa internasional:


1) Diplomasi dan Intervensi

a. Preventive diplomacy: mencegah eskalasi konflik.

b. Peacemaking: menghentikan permusuhan melalui diplomasi atau, bila perlu, tindakan militer.

c. Peacekeeping: menjaga perdamaian dengan memisahkan pihak berkonflik.

d. Peacebuilding: rekonsiliasi dan pembangunan pasca konflik.


2) Sanksi dan Tindakan Kolektif

Berdasarkan Bab VII Piagam PBB, Dewan Keamanan dapat menjatuhkan sanksi diplomatik, ekonomi, hingga militer jika suatu negara dianggap mengancam perdamaian internasional.


3) Mekanisme Peradilan melalui Mahkamah Internasional (ICJ)

ICJ, yang berkedudukan di Den Haag, menangani sengketa justiciable, yakni sengketa hukum antarnegara. Yurisdiksi ICJ mencakup penafsiran perjanjian, pelanggaran hukum internasional, hingga ganti rugi. Putusan ICJ bersifat final dan mengikat, meski hanya berlaku bagi negara pihak dalam sengketa.


Lalu yang perlu dipahami juga dalam praktik hukum internasional, sengketa biasanya dibagi menjadi dua jenis, yaitu : 

1) Sengketa hukum (justiciable dispute), yaitu sengketa yang bisa dibawa ke pengadilan karena menyangkut pelanggaran atau perbedaan tafsir terhadap aturan hukum internasional. 

2) Sengketa non-hukum (non-justiciable dispute), yaitu sengketa yang lebih berkaitan dengan kebijakan atau politik sehingga sulit diselesaikan melalui jalur pengadilan, melainkan lebih banyak ditangani lewat negosiasi atau pertimbangan politik.


Apakah Konflik Demonstrasi di Indonesia Bisa Dibawa ke PBB?


Meski mendapat sorotan dari OHCHR, demonstrasi di Indonesia pada dasarnya merupakan isu domestik, bukan sengketa internasional. ICJ hanya menangani perkara antarnegara, sementara demo termasuk dalam ranah internal. PBB juga tidak serta-merta masuk ke urusan dalam negeri kecuali terdapat kondisi tertentu, misalnya: konflik berdampak lintas batas, terjadi pelanggaran HAM berat, atau Dewan Keamanan mengeluarkan resolusi khusus. ICJ hanya menangani sengketa antarnegara, sementara konflik internal tidak memenuhi syarat yuridis sebagai sengketa justiciabel.


PBB juga tidak dapat serta-merta masuk ke ranah internal negara kecuali jika:

1) Konflik tersebut menimbulkan dampak lintas batas yang mengancam perdamaian internasional.

2 Terjadi pelanggaran HAM berat yang masuk dalam yurisdiksi Dewan HAM PBB atau mendapat perhatian Dewan Keamanan.

3) Ada mandat khusus melalui resolusi PBB.


Dengan demikian, perhatian OHCHR atas demo di Indonesia lebih bersifat monitoring dan rekomendasi. PBB baru dapat bertindak lebih jauh jika konflik berkembang menjadi ancaman regional maupun global.


Demikian artikel mengenai Dari Isu Tunjangan hingga Sorotan PBB : Mungkinkah Demonstrasi Indonesia Dibawa ke Forum Internasional? semoga bermanfaat! Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.


Gelombang demonstrasi di Indonesia terkait isu tunjangan parlemen, kebijakan penghematan, dan dugaan kekerasan aparat menarik perhatian dunia internasional, termasuk OHCHR yang menekankan pentingnya penghormatan HAM. Meski demikian, kasus ini tetap tergolong isu domestik dan bukan sengketa internasional yang dapat langsung dibawa ke PBB. Dalam hukum internasional, PBB diakui sebagai subjek hukum dengan kapasitas penuh untuk bertindak, termasuk penyelesaian sengketa melalui diplomasi, sanksi, maupun Mahkamah Internasional (ICJ). Namun, ICJ hanya menangani sengketa antarnegara, sedangkan demonstrasi di Indonesia masih bersifat internal. PBB baru dapat turun tangan apabila konflik berdampak lintas batas, menimbulkan pelanggaran HAM berat, atau ada mandat khusus dari Dewan Keamanan. Karena itu, keterlibatan OHCHR saat ini lebih bersifat monitoring dan rekomendasi, bukan intervensi langsung.

Referensi

Jurnal Ilmiah

Drajat, Harwita Sari. “Peranan Mahkamah Internasional dalam Penyelesaian Sengketa Internasional.” Jurnal Penelitian Ilmu Hukum Legalitas 13, No. 1 (2019). Hlm. 1–10.

Lestari, Komang Ari Yuni. “Peran Organisasi Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa Sebagai Subjek Hukum Organisasi Internasional Dalam Mewujudkan Perdamaian Dunia.” Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha 9, No. 3 (2021). Hlm. 1185–1197.

Marhaeni, Ni Kadek, Dewa Gede Sudika Mangku, Ni Putu Rai Yuliartini, dan Endah Rantau Itasari. “Eksistensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Sebagai Organisasi Internasional Ditinjau Dari Hukum Internasional.” Jurnal Locus Delicti 4, No. 1 (2023). Hlm. 1–13.

Artikel Web

United Nations Human Rights Office of the High Commissioner. “Indonesia: Protests Call for Restraint and Dialogue.” OHCHR.org. 01 September 2025. Tersedia pada: https://www.ohchr.org/en/press-releases/2025/09/indonesia-protests-call-restraint-and-dialogue. Diakses pada 02 September 2025.

Peraturan Internasional

Charter of the United Nations (ditandatangani 26 Juni 1945, mulai berlaku 24 Oktober 1945) Pasal 1(1). United Nations Charter — Full Text. Tersedia pada: https://www.un.org/en/about-us/un-charter/full-text. Diakses pada 4 September 2025.

Charter of the United Nations (diadopsi 26 Juni 1945, mulai berlaku 24 Oktober 1945) Chapter I (Article 2(7)). UN Repertory of Practice, Chapter I — Purposes and Principles. Tersedia pada: https://legal.un.org/repertory/art2_7.shtml?utm_source= accessed . Diakses pada 3 September 2025.

Charter of the United Nations (diadopsi 26 Juni 1945, mulai berlaku 24 Oktober 1945) Chapter XVI (Articles 104–105). UN Repertory of Practice, Chapter XVI — Miscellaneous Provisions. Tersedia pada: https://legal.un.org/repertory/art104_105.shtml. Diakses pada 3 September 2025.